Friday, January 2, 2015

Kesan Kelana

Apa yang seru dari 2014?

Yang paling terlihat dan terasa, tentu saja tentang perjalanan. Perjalanan fisik yang mengarah pada perjalanan batin tak henti-henti. *supersigh*

Melompat dari ketinggian 233 meter. Sombong bangetlah ini, diekspos melulu, hahaha. Soalnya ini adalah bentuk keberhasilan melawan rasa takut dan ragu. Tinggi banget, coy! Apalagi buat si cupu macam saya. 

233 meter





Beberapa bulan dari Makau, sebenarnya ingin ke Lombok. Tapi apa daya, tidak ada yang mau pergi bersama. Sedangkan untuk saat itu, saya memang belum ingin tamasya sendiri. Rasanya masih ingin berbagi keindahan yang terlihat di depan mata. Lalu, diajak teman yang lagi stres banget untuk pergi ke Bromo. Langsung mengiyakan, dong!

Bromo, Batok, dan Semeru


Sabana yang kering di tengah tahun

Sebelum ke Bromo, kami mengunjungi beberapa tempat wisata di Surabaya dan Batu, seperti museum dan kebun binatang. Seru banget! Tempat-tempat itu dikelola pihak swasta dengan rasa modern. Jadi, sensasinya benar-benar beda dengan yang dikelola pemerintah. Sorry to say that, tapi memang begitu adanya.

Di pengujung tahun, keinginan untuk jalan-jalan makin tak terbendung. Lagipula sudah beberapa tahun belakangan selalu menyempatkan diri melancong ketika libur Natal. Plus, rencana ini sudah lama ditunda. Ada saja halangannya. Akhirnya, tahun ini dipaksakan dan tanpa perencanaan. Bermalam di mana? Lihat nanti saja. Lewat rute mana? Lihat nanti saja. Berapa hari? Lihat nanti saja. Hahaha. Batukaras jadi perjalanan jauh yang mengakhiri tahun ini. Misi utamanya: body rafting di Green Canyon, beberapa kilometer sebelum pantai yang tersohor sebagai lokasi surfing itu.


Brown Canyon karena arus deras

Batukaras lagi setelah empat tahun

Ada beberapa tempat lain yang disambangi tapi undangan liputan. Hehe. Tiga ini yang dilakukan bersama teman-teman baik sejak kuliah.

Semoga tahun ini diberi banyak keberkahan supaya bisa menambah wawasan dan mengunjungi tempat-tempat indah lainnya. Kalau boleh, bareng teman-teman baik pun. :)

Le Jakarta, 2 Janvier 2015




Tuesday, November 4, 2014

Narasi Negatif

Kau tahu, kebencian itu bisa membunuh. Bahkan ketika kau tak menginginkannya: menginginkan kebencian itu ataupun mengingingkannya membunuh. Senyatanya, dia kerap tumbuh malu-malu, datang tanpa tak diundang, dan menyulut ke sana kemari dengan semena-mena.

Atau memang itu yang sesungguhnya diharapkan?

Ah, tapi siapa yang ingin diliputi benci? Toh, itu tak benar, ujar norma. Tidak boleh membenci, itu yang kau dengar sejak masih kecil, bukan? Tidak ada yang benar dan sehat dari kebencian, begitu kata si bijak. 

Lalu ketika kau membenci, apa yang akan kau lakukan? Membiarkannya bersarang dan berkelindan hingga mengakar? Atau berbalik membunuhnya perlahan? Tapi bukankah membunuh juga adalah hal yang jahat?

Betapa bencinya karena belajar untuk membenci. Demi suatu alasan yang egois: kewarasan diri. 

Bandung dan Jakarta, le Octobre et Novembre 2014.

Tuesday, October 14, 2014

Suara Sunyi

Siapa masih rutin buka Facebook? Saya! Setiap hari saya masih buka jejaring sosial yang satu itu, meski jarang banget posting –kecuali berbagi tautan, hehehe. Kemarin pas buka, saya lihat ada tautan blog milik senior di kampus (dulu). Beberapa kali memang saya mampir ke catatan pribadinya dan kemarin, di sela tenggat waktu yang bikin puyeng, saya kembali berkunjung. Satu catatannya yang teringat sampai sekarang adalah tentang suara jahat dan suara baik.

Belakangan ini, rasanya sulit sekali bikin hidup jadi positif. Jelaslah, karena ada berbagai alasan yang membuat semua hal negatif tak segera lelah berputar-putar di otak. Layaknya melodi musik, suara-suara jahat itu mengawang di otak bagian belakang. Bolak-balik saja, seperti nggak ada pekerjaan. Dan ia makin bergemuruh ketika ada satu orang lagi yang mengundurkan diri dari kantor, respon negatif, atau hal semacamnya. Dia, yang bergemuruh itu, rajin memanas-manasi saya untuk mundur juga dan menyerah karena lelah tak terkira. “Sudahlah, berhenti saja, apalagi yang kau perjuangkan?” begitu kurang lebih ujarnya. Dan butuh beberapa tarikan napas panjang untuk mengusirnya dan meyakinkan diri jika saya masih sanggup dan memang ingin mencapai destinasi yang ditetapkan sebelumnya. Itupun tak serta merta hilang. Jejaknya masih saja ada dan kerap bertambah dalam di waktu-waktu tertentu.

Lalu, suara-suara baik pun tak kalah ramai ingin ikut serta. Dia datang untuk membantu menyeimbangkan –atau melawan- suara negatif yang sudah hadir duluan. Suara itu hasil sinergi dari logika, rasa nyaman, dan semangat dari dunia luar. “Coba bertahan sedikit lagi. Hingga sampai di garis akhir yang kau damba,” sahutnya ketika suara jahat mulai muncul. Seringnya, suara baik yang menang dan saya kembali bangkit dengan sikap siaga. Seperti Usain Bolt sebelum bertolak mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari di lintasan.

Hingga kini, pergulatan batin –dan suara- itu tak pernah luruh sepenuhnya.

Jakarta, le 12 Septembre 2014 et 14 Octobre 2014

Tuesday, August 5, 2014

Mari Maafkan

Bulan lalu, saya dapat kesempatan untuk mengisi rubrik "Now Honestly" di majalah tempat saya bekerja. Pasalnya, si empunya rubrik sedang melanglang buana ke Eropa untuk menggali ilmu. Setelah dicetak dan dibaca kembali, aneh rasanya membaca tulisan yang biasanya cuma tampil di blog, malah dimuat di majalah. *malu*. Dan karena blog ini sudah tak diperbarui selama beberapa masa, jadi ya saya unggah saja tulisan yang kemarin itu. Hore! 




Usai sesi temu singkat, seorang pembaca cakra bilang pada saya, “Maafkan dan lupakan yang telah lalu.” Perkataannya sukses bikin dahi mengernyit. Apa yang harus dimaafkan? Saya merasa tak punya dendam atau pertikaian yang belum usai. Seingat saya, semua yang terjadi di masa lalu telah termaafkan dan sengaja dilupakan. Tapi rupanya, pembaca cakra dan alatnya bisa melihat ke hati saya dengan lebih jelas. Masih ada remah yang belum tuntas dan bikin kaki berat melangkah.
    Perihal maaf-memaafkan ini memang “unik”. Terlambat karena macet, bilang maaf. Lupa janji dengan teman tinggal kirim pesan singkat, “Maaf, saya sibuk luar biasa!”. Kesalahpahaman dengan si dia pun dianggap beres dengan kata sakti itu. Bahkan pengemudi taksi yang tak paham jalan pun enteng bilang maaf, padahal kita lelah dan ingin istirahat saat macet. Yang jadi perhatian adalah: apakah kata itu datang dari hati atau sekadar pamungkas untuk sudahi masalah? Ya, butuh waktu yang tak sebentar memang untuk jadi pemaaf, apalagi pemaaf yang tulus. 
    Buat masyarakat Indonesia yang memang gila teknologi, cara menyampaikan maaf pun bisa jadi perdebatan pelik. Coba saja cek ponsel pintar plus jejaring sosial Anda di waktu Idul Fitri, pasti ramai dengan ucapan maaf. Dan banyak orang yang jengah dengan hal ini. Mereka anggap hal tersebut tak pantas diobral di media sosial. Ingin benar-benar minta maaf? Hubungi satu per satu secara personal. Dengan begitu, prosesnya lebih syahdu dan tulus. Tapi apa mutlak begitu? Baiklah, saya akui kalau saya termasuk yang berpikir seperti itu. Tapi toh bukan berarti dengan pilihan tersebut, perilaku orang lain yang bermaafan secara terbuka di media sosial jadi keliru. Apa yang salah dengan linimasa Twitter, Path, dan Facebook damai dengan kata maaf? Masih jauh lebih baik ketimbang mencaci pilihan orang lain di masa kampanye! Lagipula itu salah satu keuntungan dari teknologi: bikin hidup lebih mudah. 
    Pertemuan dengan pembaca cakra itupun masih teringat hingga kini, padahal kejadiannya sudah lewat dua tahun silam. Ia ingatkan saya untuk introspeksi. Buka sebentar lembaran yang lalu, maafkan si pembuat salah atau sakit hati, maafkan diri sendiri, dan lanjutkan hidup dengan lebih tenang. Lewat media apapun, tak jadi masalah! Mendendam hanya bikin kacau diri sendiri. Lupakan atau tidak? Setelah dapat pelajaran dari kesalahan itu, sebaiknya abaikan saja meski tak mudah terjadi dalam waktu singkat.

Demikianlah. 


Jakarta, le 5 Aout 2014

Saturday, June 14, 2014

Pola Pikir






Kemarin, seorang teman mengunggah satu foto yang berisi kutipan. Jangan khawatir, begitu lebih kurang isinya. Tak perlulah habiskan berjam-jam untuk memikirkan sesuatu yang memang tak bakal ditemukan jawabannya di masa ini. 

Tapi itu adalah pilihan. And I’m not a decision maker. Pilihan-pilihan mudah pun bisa jadi sulit untuk saya yang (sudah tertular) otak ruwet. Pilih kaus biru atau hitam? Singapura atau Thailand untuk perjalanan selanjutnya? Lebih bagus sepatu maroon atau krem? Pakai kemeja atau kaus ke kantor? Lalu apa padanannya, rok atau celana? Celana kain atau jeans? Bungee jumping atau tidak? Pulang ke Bandung minggu ini atau minggu depan? Bicara dengannya atau tidak? Telepon narasumber sore ini atau besok pagi? Makan siang soto atau pecel? Beli laptop atau harddisk eksternal dulu? Dan daftarnya masih terus bertambah. Panjang. Sangat panjang. 

Hidup memang penuh dengan pilihan. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, bahkan hingga bertahun-tahun selanjutnya. Bagi sebagian orang, memilih adalah bernapas. Mudah, tak perlu dipikirkan. Sebut saja! Sedangkan bagi saya, pilihan adalah serupa soal Fisika dalam SPMB. Sulit. Nyaris tak terpecahkan. Pikiran sudah berjalan bahkan sejak pilihan itu masih samar. Plus, memikirkan akibat-akibatnya atau apa yang mungkin terjadi setelah itu. Padahal seringnya, keputusan itu hanya dibuat sedetik. Tanpa pemikiran yang sebelumnya sudah mengular dan berhimpitan di kepala. Dan tak berakibat fatal sama sekali. Ironis. Atau oksimoron. 

Memilih, atau proses menentukan pilihan, itu terlalu menggelitik untuk ditimbang baik dan buruknya, positif dan negatifnya, atau benar tidaknya. Pelik, bagi saya. 

Misalnya saja tentang masa depan. Kekhawatiran atas hal yang tak pasti menghadapkan kita pada dua pilihan: jalani saja apa adanya tanpa banyak berpikir atau pikirkan matang-matang agar jelas pijakan serta arahnya. Yang pertama menggoda untuk dilakoni. Tapi yang kedua juga jelas bukan tindakan bodoh.

Yang mana yang harus ditempuh?

Bandung, le 14 Juin 2014