"Gue selalu merasa kalau permasalahan gue nggak serumit milik orang lain. Mereka pasti punya problem yang lebih besar. Jadi, nggak gunanya juga cerita sama mereka dan harusnya masih bisa diselesaikan sendiri,” ujarmu di suatu malam.
Ah, familiar. Agaknya pernyataan itu membawa saya mundur ke beberapa tahun silam. Ketika saya merasa
lebih baik berada di kubus dengan dinding tebal yang dibuat sendiri. Rasanya terlalu egois untuk mengajak orang sekadar mampir dan mendengarkan cerita,
sedangkan mereka punya urusan sendiri yang mungkin lebih berat –seperti yang
kamu bilang. Bukankah mereka pun tak bakal bisa merasa dan berpikir seratus
persen sama dengan apa yang ada di hati dan benak saya? Maka lebih baik, simpan saja dan nikmati kepenatan itu
sendiri, tak perlu menyeret orang pada hal yang tak mereka alami. Belum lagi, perasaan
bersalah segera menghampiri setelah memaksa diri berkisah pada mereka. Terus berlama-lama
seperti itu hingga segala yang negatif mengendap dan hanya bisa menyeruak lewat
tulisan-tulisan yang tak jelas intinya –dan bikin ngakak kalau dibaca sekarang.
Tapi dasar manusia peniru, lebih baik belajar saja dari perilaku orang lain demi bisa bertahan. Lihat saja, ada beberapa orang yang tak ambil pusing jika
teman-temannya telah menanggung problem berat dan tetap mengocehkan tentang perkara
pribadinya. Ada pula mereka yang sengaja
bercerita demi dapat simpati, memaksa orang lain merasa dan berpikir tentang hal
yang ada di dalam dirinya. Kadang pula, ada orang yang hanya mendengar sambil lalu dan tak peduli sama sekali dengan cerita yang telah disampaikan. Atau malah ada pula
yang menaruh perhatian dan menyimak dengan seksama. Namun jika beruntung, ada
juga mereka yang bikin kau berpikir makin keras dan malah bikin nyaman. Ada
saja.
Tapi dunia tak selalu peduli dan kita tak selalu menjadi pusat perhatian. Belum tentu mereka ambil pusing atas celotehan kita yang tak jelas juntrungannya. Kadang saya, kamu, kita, dan kami tak butuh kebijaksanaan apapun. Yang dibutuhkan mungkin hanya seorang atau dua teman (yang cukup dipercaya) untuk duduk bersama, walaupun dia cuma akan duduk diam dengan wajah bosan, konsentrasi buyar, dan kantuk yang tertahan. Dan meski pada akhirnya kita akan selalu sendiri, label makhluk sosial tak bakal bisa hilang begitu saja. Ada yang hakiki dari pertemanan.
Kata orang bijak, bercerita adalah terapi dan eliksir. Adakalanya benar, meski banyak percakapan menarik hampir selalu terjadi di penghujung malam yang malah bikin sakit.
Sharing is caring. No?
Jakarta, Le 25 & 27 Decembre 2013