Kemarin, seorang teman mengunggah satu foto yang berisi
kutipan. Jangan khawatir, begitu lebih kurang isinya. Tak perlulah habiskan
berjam-jam untuk memikirkan sesuatu yang memang tak bakal ditemukan jawabannya
di masa ini.
Tapi itu adalah pilihan. And
I’m not a decision maker. Pilihan-pilihan mudah pun bisa jadi sulit untuk
saya yang (sudah tertular) otak ruwet. Pilih kaus biru atau hitam? Singapura
atau Thailand untuk perjalanan selanjutnya? Lebih bagus sepatu maroon atau krem? Pakai kemeja atau kaus
ke kantor? Lalu apa padanannya, rok atau celana? Celana kain atau jeans? Bungee jumping atau tidak? Pulang ke Bandung minggu ini atau minggu
depan? Bicara dengannya atau tidak? Telepon narasumber sore ini atau besok pagi? Makan
siang soto atau pecel? Beli laptop atau harddisk eksternal dulu? Dan daftarnya
masih terus bertambah. Panjang. Sangat panjang.
Hidup memang penuh dengan pilihan. Setiap detik, menit, jam,
hari, minggu, bulan, tahun, bahkan hingga bertahun-tahun selanjutnya. Bagi sebagian
orang, memilih adalah bernapas. Mudah, tak perlu dipikirkan. Sebut saja!
Sedangkan bagi saya, pilihan adalah serupa soal Fisika dalam SPMB. Sulit. Nyaris tak terpecahkan. Pikiran sudah
berjalan bahkan sejak pilihan itu masih samar. Plus, memikirkan
akibat-akibatnya atau apa yang mungkin terjadi setelah itu. Padahal seringnya,
keputusan itu hanya dibuat sedetik. Tanpa pemikiran yang sebelumnya sudah
mengular dan berhimpitan di kepala. Dan tak berakibat fatal sama sekali. Ironis.
Atau oksimoron.
Memilih, atau proses menentukan pilihan, itu terlalu
menggelitik untuk ditimbang baik dan buruknya, positif dan negatifnya, atau
benar tidaknya. Pelik, bagi saya.
Misalnya saja tentang masa depan. Kekhawatiran atas hal yang tak pasti menghadapkan kita pada dua pilihan: jalani saja
apa adanya tanpa banyak berpikir atau pikirkan matang-matang agar jelas
pijakan serta arahnya. Yang pertama menggoda untuk dilakoni. Tapi yang
kedua juga jelas bukan tindakan bodoh.
Yang mana yang harus ditempuh?
Bandung, le 14 Juin 2014