Sunday, September 26, 2010

Padang Bulan

Buku telah menjadi teman saya selama bertahun-tahun. Walaupun tentunya saya belum membaca ratusan ribu buku seperti tokoh-tokoh di Bukuku Kakiku. Hehehe. Tapi memang karena buku, saya menjadi terbiasa membaca dan mengarungi tempat yang entah dimana adanya. Sayangnya, kebiasaan saya membaca buku kini agak terkikis. Blame on twitter, maybe. Hehehe.

Buku terakhir yang saya baca adalah seri pertama dari dwilogi Padang Bulan. Buku yang didesain unik ini adalah karya Andrea Hirata. Sebelumnya ia telah dikenal karena buku tetralogi Laskar Pelangi, karyanya, yang amat sangat meledak di pasaran. Sebenarnya, buku ini tidak tebal-tebal amat, berkisar 250 lembar. Tapi, oh tapi.. entah karena kemampuan membaca saya menurun atau apa, saya butuh waktu sekitar sepuluh hari untuk menamatkannya. L

Seperti yang dikatakan teman saya, buku ini memang tidak se-fenomenal Laskar Pelangi dan adik-adiknya. Tapi, entah kenapa saya suka pemilihan kata dan kalimat-kalimat yang digunakan oleh Hirata. Sangat Melayu dan, tentu saja, menggambarkan keadaan sosial masyarakat Melayu sebenar-benarnya. Dan satu hal juga yang tidak hilang dari serial-serial yang dibuat oleh Hirata, buku-bukunya selalu mengandung harapan, tentang pendidikan dan masa depan. Meski hampir semua tokohnya bernasib kurang baik, boleh dibilang miskin cekek. Tapi selalu ada harapan untuk bisa hidup lebih baik, misalnya dengan kursus Bahasa, pergi ke ibukota, kursus servis antena, atau bahkan sekedar menambah tinggi empat sentimeter.

Saya tidak akan berpanjang-panjang mereview buku pertama dari dwilogi Padang Bulan, karena memang tujuan awalnya bukan itu. Hehe. Saya hanya ingin mengutip bagian yang paling saya suka dari buku berjudul Padang Bulan ini.

Dikisahkan bahwa Ikal sedang sangat rindu dengan A Ling, pujaan hatinya sepanjang hidup berbelas tahun:

“Kupejamkan mata. Kuucapkan nama A Ling lima puluh kali. Kubuka Mata, kulihat sekeliling.

Lampu padam.

Malam diam.

Aku masih rindu. “ (hal. 239)

Cukup sekian dan terima kasih. Selamat malam senin. J

Saturday, September 11, 2010

Ijik Rodok Rompal!

Hey, siapa menteri atau pejabat Departemen Perhubungan atau Pekerjaan Umum yang pernah bilang sarana dan prasarana untuk mudik Lebaran 2010 telah siap-sesiap-siapnya? Sini Pak, Bu, saya bawa kau menyusuri Jalur Pantai Utara Jawa, mungkin mau tahu apa yang saya lalui ketika perjalanan mudik menemui Eyang dan saudara-saudara di kampung jauh.

Perjalanan mudik tahun ini, kemungkinan besar, adalah perjalanan mudik terlama yang pernah saya tempuh. Setidaknya selama dua-puluh tahunan saya pernah mudik. Bayangkan saja, jika perjalanan normal Bandung-Cepu bisa ditempuh dengan 13 jam saja. Maka kali ini, perjalanan Bandung ke daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur itu saya tempuh selama dua-puluh-delapan jam. OH EM JI.

Baiklah, mungkin kesalahan, selain ada pada Bunda Dorce, juga ada pada ibu saya dan saya yang memilih mudik di penghujung Ramadhan – dua hari sebelum Lebaran. Macet dimana-mana, ya risikolah. Tapi jika sampai 28 jam? Itu sudah gila namanyaaaaa. Sintiang.

Apa rupanya yang menjadikan perjalanan mudik itu menjadi begitu lama? Selain kealpaan internal yang telah saya sebutkan tadi, tentunya ada pula kealpaan eksternal. Dan itu adalaaaaahh.. infrastruktur yang tidak mumpuni untuk menanggung beban kendaraan yang begitu banyaknya. Banyak jalanan rusak: bergelombang, bolong-bolong, dan sedang diperbaiki.

Maka saya katakan, bohong besar jika petinggi-petinggi negara ini bilang jalur mudik, terutama Pantura, sudah laik guna. Oh, Pak, Bu.. bohong belakakah itu? Rupanya hanya naik pesawat saja kerjamu itu ya? Atau lebih baik menyalahkan kuantitas pemudik yang begitu banyak dan tumplek-tublek di jalanan itu dalam waktu yang bersamaan?

Perjalanan dari Bandung ke Majalengka saja, kemarin itu, butuh waktu dua belas jam. Macet di sana-sini, Pak, Bu. Jalur yang seharusnya bisa dua arah menjadi hanya satu arah karena kerusakan jalan dan penumpukan kendaraan. Maka itu, di Paseh itu, bis kami berhenti tiga jam. Tanpa maju satu centimeter pun, apalagi satu inch, tidak sama sekali. Malah sang supir bisa mematikan mesin dan berjalan-jalan dulu bertanya-tanya apa rupanya sumber kemacetannya?

Kemacetan itu berakhir pula, Haleluya, Alhamdulillah, ketika kami sampai di Cirebon. Tapi, tunggu dulu, di tol yang konon dimiliki keluarga Bakrie itu, macet pula. Oh, benar-benar jalan bebas hambatan. Brebes, Batang, Purwodadi, semuanya macet. Berjam-jam saja kami duduk diam di bis tanpa bisa melakukan apa-apa. Bisnya diam saja, tidak segera bergerak. Cuma penumpang-penumpang saja angkat pantat karena segera tepos dan penasaran apa pasal yang bikin bis berhenti.

Dan masalahnya rata-rata hampir sama. Jalanan-jalanan itu belum purna diperbaiki. Hingga bis-bis, mobil-mobil, motor-motor harus bersabar berjalan pelan-pelan untuk melaluinya. Dan kadang harus menunggu giliran karena bergantian dari arah yang sebaliknya. Mereka yang lewat situ, terpaksa menunggu, menghela nafas, dan menghentikan lelah demi bertemu sanak saudara yang entah jauh atau dekat. Padahal entah sudah berapa lama mereka menempuh perjalanan itu.

Jalanan itu bergelombang dan bolong-bolong. Seperti jalanan Bandung, yang tak habis kami bicarakan, yang tak bisa dilalui oleh sembarang kendaraan. Karena khawatir terjungkal atau, minimal, ban meletus. Oh, Bapak.. kemanakah waktu setahun yang kau bilang benar bisa digunakan memperbaiki jalur-jalur itu? Sepanjang tahun, sepanjang saya selalu lewat situ, selalu begitu saja. Tak juga baik, tak juga layak, apalagi indah. Sama sekali tidak. Jalur utama Pantai Utara, misalnya jalan baru di Alas Roban, itu juga ndak bagus-bagus amat kok , Pak. Ijik rodok rompal (baca: masih agak somplak).

Masalahnya Pak, Bu, buat saya yang kampunya di Cepu dan mudiknya naik bis, kami tidak bisa milih jalur, yang misalnya kata Bapak jalurnya atau jalannya sudah bagus. Masalahnya, bagi sebagian orang, jalanan itu, yang jelek-jelek, rompal, bergelombang, dan berbatu itu adalah satu-satunya jalan menuju kampung halaman.

Dan oh, kenapa nggak ada kereta langsung menuju Cepu dari Bandung, yang tanpa berhenti dan ganti kereta dulu di Semarang? #uuuuuuuu.

Eh, Pak, Bu, bukan dikorupsi kan itu uang perbaikan jalan? Pasti bukan. #optimis


Cepu, le 11 Septembre 2010.

Mengenang dua puluh delapan jam perjalanan Bandung – Cepu.