Saturday, January 29, 2011

L' Appartemant #004: Berpindah?

Tidak, aku tidak kesepian sepanjang aku punya teman-teman yang mengitariku. Begitulah jawabku setiap teman-temanku bertanya mengapa aku masih mau hidup sendiri padahal aku sudah lulus kuliah, ibuku bisa mengurusi hidupnya sendiri, dan aku punya pekerjaan yang cukup bisa diandalkan. Lagipula aku tidak yakin bahwa pernikahan, jika memang itu yang mereka maksud, adalah jawaban atas kesendirian.

Bagiku, apapun status yang kau emban, kau akan terus sendiri. Setidaknya sampai kau mati nanti. Tidak mungkin orang yang ada di sebelahmu akan menjadi temanmu seumur hidup tanpa menyebabkan sedikit celah yang tidak terisi di setiap hari dan hela nafasmu. Manusia akan selalu sendiri. Percayalah. Dan kalau sudah begitu, teman-temanku hanya akan berkomentar, “Dasar keras kepala, pantas kalau sendiri terus,” diiringi gelak tawa yang kuamini.

Mengenai kesendirian ini, teman baruku di apartemen ini pernah sekali mengunjungiku dan terheran-heran melihat satu pot bunga yang ada di balkonku. Ateira, yang seorang florist, bilang aku memang tidak cocok memiliki hubungan apapun dengan tanaman. Hahaha, aku tertawa terbahak-bahak ketika ia bilang begitu. “Aku memang seperti tidak cocok memiliki hubungan dengan apapun, tidak hanya tanaman!” sejurus dia mendelik, lalu ikut tertawa bersamaku.

Oh, aku merindukan pertemuan dengan penghuni apartemen ini. Tapi sepertinya mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku masih ingat ketika Julian bilang akan pergi ke luar negeri untuk melenggak-lenggok di catwalk dan Kyna begitu sibuk berlatih dengan grup tarinya demi pagelaran bulan depan. Kapan kiranya semua penghuni lantai 15 ini bisa bertemu lagi?

Oh, dan kurasa Ori masih akan sibuk dengan wedding organizer-nya hingga beberapa bulan ke depan. Dan tentunya si Ateira itu akan sibuk wara-wiri di toko bunganya, sementara Kahlua mungkin akan menyambangi politisi-politisi busuk yang baru saja masuk ke penjara karena korupsi. Sedangkan si 1502 sepertinya juga sedang bertapa entah di belahan mana mencari inspirasi untuk novelnya yang baru. Dan aku masih saja di sini, entah untuk apa, entah untuk siapa. Maka ini baru namanya kesepian. Mengingat aku juga masih menghindari pertemuan dengan Darda.

Di masa seperti ini, sudah selang beberapa lama sejak pertemuan terakhir dengan Darda, aku baru bisa merasakan kesepian yang seperti tak hilang.

***

Demi hilangnya semua pikiran-pikiran buruk dan perasaan sepi yang berkepanjangan, aku putuskan untuk mengunjungi kakak ibuku yang berada di 140 km jauhnya dari kota ini. Aku pikir, dengan jauh dari tempat-tempat yang sering kusinggahi, maka segala yang negatif padaku akan hilang barang sejenak. Tak lupa kubawa serta kue lidah kucing juara satu itu untuk Bapak, begitu aku memanggil kakak ibuku, yang sudah kuanggap sebagai pengganti ayahku.

Melihat penampilanku yang begitu kusut, padahal aku tidak merasa demikian, ia bilang,”Sepertinya kamu butuh liburan, Le. Pergi ke pantai saja, seperti biasa.” Ia tidak sedang berbicara dengan lelaki, walaupun ia memanggilku Le, seperti orang Jawa memanggil anak laki-laki mereka. Ia memang suka sekali memanggilku Le, versi singkat dari Lea, karena ia pikir aku lebih maskulin daripada sepupu-sepupu perempuanku yang lain. Dan jelas ia tahu betul bahwa pantai adalah salah satu tempat berlibur favoritku.

“Tidak perlu jauh-jauhlah, yang dekat saja dulu. Yang penting kamu jadi segar lagi,” ujar Bapak sambil mengisi teka-teki silang di koran minggu.

Dan ia mengingatkanku betapa aku mencintai pantai, walaupun sesungguhnya aku lebih mencintai momen liburan di pantai-pantai itu. Lalu otakku mulai berpikir dan menyusun rencana tentang pantai-pantai yang akan kudatangi. Mungkin juga bisa menambah bahan tulisan untuk bulan depan.

***

Keesokan harinya, di kota yang sama, aku mengunjungi kantor majalah dimana aku bernaung. Sang pemimpin redaksi yang kukenal baik sejak beberapa tahun lalu mengajakku masuk ke ruangannya. Dibalut dress tanpa lengan dengan siluet yang tegas ia tampak berwibawa dan serius, padahal biasanya ia yang mengajak kami untuk berlaku gila.

“Kalea, sudah lama sekali kamu jadi kontributor majalah ini. Gue tahu kalau lo senang-senang aja jadi kontributor, tinggal di Bandung, dan bebas menulis apa saja yang lo mau. Kualitas tulisan lo memang tidak diragukan lagi, walaupun lo malas ikut pelatihan-pelatihan kami,” ujarnya sambil merapikan kertas-kertas di mejanya. Sementara aku hanya tersenyum mendengar sindirannya.

Tepat ketika aku bermain dengan pikiranku untuk berhenti menjadi kontributor dan membangun rumah singgah seperti impianku semasa dulu, ia menyampaikan kata-kata yang agak sulit kucerna.

“Tenang aja, lo nggak bakal pernah gue anak tirikan. Saya, sekali lagi, mau tawarkan posisi yang reporter senior di majalah ini. Kamu hanya perlu meliput hal yang penting saja dan mengawasi beberapa reporter bawahanmu,” dari penggunaan kata ganti itu, aku tahu dia memaksa. Ini semacam perintah.

Ia memberiku waktu untuk berlibur dan menyelesaikan tulisan untuk edisi bulan depan sebagai masa untuk berpikir atas “tawarannya”. Dan aku menyelesaikan pertemuan itu dengan muka tolol.

Jadi reporter senior berarti upah tetap, bisa pergi kesana-kemari tanpa keluar biaya sendiri, dapat fasilitas ini dan itu, akses ke baju-baju bagus, dan ini dan itu. Tapi harus tinggal di ibukota, keluar dari apartemen, meninggalkan Bandung, meninggalkan es cokelat dan lidah kucing juara satu, dan tentu saja jauh dari … Darda. Kepalaku mendadak pusing seperti jika aku terlambat makan. Agak sempoyongan seperti jika aku menambahkan sedikit rhum pada es cokelatku. Ambil, tidak, ambil, tidak, ambil, tidak?


Ah, tapi memangnya apalagi yang mengikatku di kota sejuk itu?

Le 29 Janvier 2011

Kalea Tyaga Bestari

#1505

L' Appartemant #003: Pesan

Cukup sehari saja kubiarkan kakiku bermanja tidak melakukan apapun. Hanya sedikit saja ia terluka, sekarang tinggal lebam yang tersisa. Walaupun masih kurutuki itu si pengendara motor yang melintas tanpa hati-hati di trotoar favoritku. Kupaksakan kakiku menuruni sekian ratus anak tangga di apartemenku ini. Biar kuat, biar sehat, biar lambat, asal selamat.

Pemaksaan pada satu organku ini hanya karena satu tujuan: membeli kue lidah kucing yang juara satu. Kalau diingat, sedih juga karena lidah kucing yang kemarin jatuh itu remuk-redam dan hanya berakhir di perutku. Tak sampai hati jika kubawakan lidah kucing yang seperti remukan kerupuk itu untuk si 1502, yang sudah berikan aku caastangel-nya yang juara satu.

***

Pikiranku menjelajah, menebak-nebak apa yang mungkin terjadi nanti, bagaimana rupa mereka teman-teman baruku. Adakah ini akan menjadi sesuatu yang tidak biasa? Aku selalu senang untuk mengenal orang lain, mungkin juga karena ketertarikanku pada perilaku manusia yang selalu unik dan sulit ditebak. Aku pula berusaha menebak-nebak sketsa wajah teman-teman baruku, padahal aku belum pernah bertemu mereka sama sekali.

Angkutan kota yang kunaiki melewati taman yang rindang dan tiba-tiba pikirku berpindah ke masa lalu. Dia sedang duduk membuat sketsa, sementara aku tidur-tiduran di rumput yang tidak bersih itu dan membaca buku. Sayangnya ingatanku hanya setengah, aku tidak ingat buku apa yang kubaca, tapi kudengar lagu kesukaanku melalui earphone yang terhubung ke ponselku.

I was not supposed to fall in love with you.. *

Aku memencet tombol next untuk menghindari lagu itu. Aku memandang wajahnya, tapi ia tidak menyadarinya. Pandangannya pada buku sketsa berukuran A4 itu tidak beralih sama sekali. Ia tenggelam pada sketsanya, yang entah seperti apa jadinya. Satu jam berlalu.

“Sudah dululah, ayo minum cokelat,” ujar Darda sambil membereskan segala peralatan sketsanya. Kami memang pecinta es cokelat. Tidak absen minuman yang satu itu dalam pertemuan-pertemuan kami. Mungkin itu pula yang menjadikan kami bisa nyambung dalam berbagai pembicaraan. Es cokelat perekatnya.

Drrrrttt.. ponselku bergetar dan membuyarkanku dari lamunan yang tak kuhendaki. Ada pesan masuk melalui satu penyedia layanan messenger. Kulihat siapa pengirimnya. Darda.

Kamu kemana malem ini? Temenin gue minum cokelat di tempat biasa dong ya? :D

Emoticon penyerta pesan itu adalah emoticon favoritku. Dan juga dia. Dia tahu sekali itu. Dan aku tahu sekali itu. Emoticon itu yang menyentil jemariku untuk membalas pesan singkat itu. Sedetik, dua detik, kuurungkan niatku.

Kupencet tombol sign off. I’m signing off from my account, from you. Tapi bisakah semudah itu menarik diri dari Darda, semudah undur diri dari akun messenger itu? Yang pasti tidak semudah turun dari angkutan kota ini. Aku turun perlahan dan melangkahkan kaki sakitku ke apartemenku yang nyaman luar biasa. Kali ini aku pilih lift sebagai penghantarku menuju kamar.

***

Setelah memilih baju yang akan kupakai nanti, aku baringkan diriku sejenak. Kupikir sehelai kaos longgar berwarna abu-abu yang menjuntai hingga lutut cukup pantas untuk pertemuan informal itu. Aku mengecek ponselku yang sejak tadi sore di-setting dalam mode diam, bahkan tanpa getar. Sejuta panggilan tidak terjawab dan beratus pesan singkat singgah di ponsel dengan merek pasaran itu. Itu semua ulah Darda.

Lea, kamu kemana sih? Gue hubungi gada jwbn mulu. Bls si smsnya. Kita kan udh lama gak ketemu. Gak kangen apa? Ini rindu namanya.

Oh, Darda.. dengan hal apa pula mesti kujawab pesan singkatmu itu. Apakah kau mencoba membalasku atas pertemuan terakhir kita di kafe itu? Apakah benar yang kau rasa di kalimat akhir pesanmu itu? Pesan-pesan standar seperti itu sepertinya tidak pas kau kirimkan di masa seperti ini, di masa setelah pertemuan terakhir kita di kafe itu. Tapi aku ragu kau bisa peka tentang itu.

Berkali-kali kucoba untuk mengetik pesan balasan untuknya. Tapi berkali-kali pula kuhapus pesan itu. Sekali lagi, tak ada pesan kukirimkan untuknya. Lihat saja, sehari-dua hari lagi ia akan menggedor kamarku dengan murka karena tidak ada satupun kabarku minggu ini terkirim padaku. Apalagi jika ia tahu jika aku sempat tertabrak oleh pengendara motor yang kurang berhati-hati itu. Aku sembunyikan ponsel itu ke bawah bantal dan aku berlari kecil ke kamar mandi, mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan penghuni lain di lantai ini dan melarikan diri dari pesan singkat Darda.

***

Ketukan yang tidak terlalu lama di bawah angka 1502 memunculkan seorang lelaki dengan senyum sumringah.

“Hai, eh.. eh tunggu sebentar, ada yang tertinggal,” kesan pertama yang kurang baik, aku lupa membawa lidah kucing yang telah kupersiapkan. Aku berlari ke kamarku sebentar dan ia masih saja menunggu di depan pintunya. Dengan tidak sengaja, aku memberitahukan dari kamar mana aku muncul.

“Hehehe.. tunggu sebentar ya, nanti aku ketuk lagi saja. Udah ada yang datang? Ada yang ketinggalan. Lupa, lupa banget tadi,” ujarku panik sambil berusaha membuka kunci pintu kamarku.

Dan dia, si 1502, masih saja menunggu di sana hingga aku selesai dengan keterlupaanku, masih dengan senyum sumringahnya. “Saya Mardi. Mardi Wisesa. Nama kamu siapa? Bawel ya?”, ujarnya ramah tanpa kesal sedikitpun atas perlakuanku.

“Eh, maaf banget ya barusan, saya terang, bukan bawel. Kalea,” ujarku sambil menahan tawa atas tuduhan yang dialamatkan padaku. Rupanya ia menganggapku cerewet dengan semua yang terjadi dalam waktu sekian menit itu. Nama depanku, Kalea, memang berarti terang dan sama sekali tidak berarti bawel.

Ia mempersilakanku masuk ke ruangan berwarna biru muda itu dan sesaat, ketenangan langsung menyergapku. “Yang lain masih belum datang, baru satu, si wartawan Kahlua,” ujarnya sambil mengenalkanku pada Kahlua. Tipikal wartawan, itu simpulanku setelah memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedikit berantakan. Dan pada detik yang sama aku bersyukur, ternyata ada orang yang gayanya lebih berantakan dariku malam ini.

Belum sempat kami mengobrol banyak, penghuni kamar-kamar lain bermunculan. Beberapa terlambat dari jadwal yang telah ditentukan karena kesibukan mereka masing-masing. Yang datang setelahku adalah Ateira. Wanita bertubuh mungil dan berkulit putih. Dia penyuka bunga, begitu rupanaya. Ia bercerita, bunga berwarna fuschia yang ia bawa untuk pertemuan malam ini berasal dari tokonya.

Setelah Ateira, yang datang adalah seorang laki-laki berpenampilan sederhana namun sedap dipandang. Sedetik aku melihatnya, aku yakin pasti dia bekerja di bidang fashion. Entah kenapa kuyakini itu, hingga akhirnya kami mengobrol. “Hai, gue Julian. Baju lo tuh kurang rame dikit deh,” matanya menyusuri kaos abu-abu yang kukenakan malam itu.

“Gue Kalea. Emang sengaja mau simpel aja soalnya kan nggak keluar apartemen. Kalungnya ketinggalan di depan kaca kamar mandi,” aku menanggapi komentarnya yang blak-blakan sambil terkikik geli. Tuh, benar kan, ia pasti orang fashion deh, ujarku dalam hati.

Perbincangan ringan mengenai apa yang kami lakukan sehari-hari terhenti. Mardi menghampiri pintu yang diketuk oleh siapa itu. Ternyata yang muncul adalah perempuan bernama Kyna. Ia memperkenalkan profesinya sebagai penari. Seperti biasa, aku melakukan kebiasaanku memandangi orang baru dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Mardi, ada asbak nggak?” tanyanya pada Mardi begitu selesai menjelaskan keterlambatannya. Mardi menunjuk asbak yang masih bersih di raknya.

Obrolan kami mengalir menyenangkan. Berpindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kemacetan Kota Bandung, menyumpahi birokrat yang tak becus kerjanya, lagu-lagu yang kami sukai, dan beragam topik lain. Tepat pukul 20.30, pintu kamar Mardi diketuk lagi. Rupa-rupanya Kyna sudah kenal dengan perempuan yang baru datang ini. Ia memperkenalkan diri sebagai Ori, yang langsung mengingatkanku pada Si Sinis Oriana Fallaci. Wartawan skeptis, sinis, dan galak yang pernah mewawancarai pemimpin-pemimpin dunia.

“Kebetulan saya punya WO kecil-kecilan. Nah berhubung bulan depan banyak long weekend jadi banyak yang reserpsi bulan depan, dan sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan,” terang Ori menjelaskan pekerjaannya.

Wow, ini menyenangkan. Fascinating. Berbagai orang dari profesi yang berlainan dan tidak ada yang bekerja di sektor formal. Sektor formal adalah istilahku untuk mereka yang bekerja sejak pukul delapan atau sembilan pagi dan pulang pukul empat atau lima sore. . “Gue juga jadi wartawan mah cuma iseng aja, ya ngisi waktu ajalah,” ungkap Kahlua yang disambut oleh tawa membahana dari penghuni apartemen yang lain.

Selepas tengah malam, meja di ruang tamu Mardi telah penuh dengan toples-toples yang kosong dan hampir kosong. Rupanya pertemuan selama hampir lima jam ini membuat kami tidak terasa menghabiskan tujuh toples yang dibawa masing-masing penghuni kamar. Dan, percayalah, semua kue itu rasanya juara satu dari tiap jenisnya.

Menjelang pukul satu dini hari, kami bersiap-siap kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan menyenangkan. Ini yang aku cari, teman-teman baru dengan pemikiran-pemikiran yang cerkas dan bisa diajak mengobrol tentang apa saja. Sama seperti Darda. Ouch, kenapa masih saja aku pikirkan dia.

Setelah cium pipi kiri, cium pipi kanan, dan berpelukan sambil berjanji untuk sering bertemu, kami pulang dan meninggalkan lagi Mardi dalam kesendirian. Sesaat, ruangan yang tadi ramai itu kini senyap. Dan itu pula aku, di kamar yang berwarna jingga. Aku kembali sepi dan sendirian, tawa-tawa lima menit yang lalu, hilang sudah.

Aku meraih ponselku yang sengaja kutinggalkan di bawah bantal. Pertemuan tadi sangat menyenangkan, bahkan aku tidak ingat sama sekali perihal ponselku, yang biasanya tidak pernah jauh dariku bahkan se-inchi pun. Kyna, Mardi, Julian, Kahlua, dan Ori juga bukan tipe orang yang selalu sibuk dengan ponsel mereka. Hanya sesekali mereka mengecek ponsel mereka, tapi tetap fokus pada pembicaraan-pembicaraan kami. Jarang terjadi yang demikian di masa sekarang ini.

Dan kini aku fokus mengecek pesan-pesan dan panggilan yang masuk. Isinya satu dari ibuku, menanyakan kapan aku akan ke Jakarta menemui kakaknya. Dan sisanya, lebih kurang sekitar seribu pesan, berasal dari Darda. Seribu panggilan juga berasal dari Darda. Aku menghela napas dan membaca satu-satu pesan yang dikirimkannya.


Kalea Tyaga Bestari
Bandung, le 26 Juillet 2010

*lagu Heaven's What I Feel dipopulerkan oleh Gloria Estefan.

L' Appartemant #002: Yang Tidak Seperti Biasa

Masih ada jeda waktu beberapa saat menjelang undangan makan malam yang diberikan oleh sang 1502. Dan sejak kutemukan setoples kue kering darinya di depan kamarku, aku masih saja bertanya-tanya, bagaimana ia? Adakah ia orang yang baik dan ramah? Atau ia akan mengundangku makan dan kemudian membunuhku, seperti psikopat di film-film yang kutonton? Ah, mana mungkin di apartemen seperti ini ada psikopat.

Setelah membersihkan diriku dengan air hangat yang disediakan apartemen ini, aku segera bersiap. Aku akan mencari apa yang layak dibawa untuk pertemuan nanti. Aku, sesungguhnya, tidak sabar untuk bertemunya, sang pemilik kamar 1502. Bagaimana ya suasana makan malam nanti? Apakah hanya aku yang diundang dan kita akan beradu gelas champagne dengan menyesap keasaman dari anggur yang telah difermentasikan ditemani lilin-lilin yang menyala romantis? Atau akan ada kegaduhan karena seisi apartemen ini diundang? Apapun, tak masalah. Aku inginkan teman baru di lingkungan yang baru ini.

“Yang penting, kamu bisa keluar dari comfort zone, membuat comfort zone baru, atau sekedar meluaskan comfort zone dari yang selama ini ada,” begitu ujar seorang pemateri di kampusku dahulu.

Kata-kata itu masih sering terngiang di telingaku hingga kini. Hingga lima tahun terlewat setelah aku mendengar kalimat itu pertama kalinya. Itulah yang kujadikan patokan selama ini. Aku selalu melangkah dan terus melangkah pergi kesana-kemari. Entah pula itu suatu bentuk eskapisme dari kenangan-kenangan yang tak ingin kukenang. Atau memang aku pembosan yang mudah kehilangan hati pada segala sesuatu. Tapi sudah bertahun-tahun ini aku belum kehilangan hati padanya.

Maka, makan malam di penghujung minggu ini, semoga akan menjadi hal pertama yang menyenangkan selepas aku memutuskan pindah ke apartemen ini dua minggu yang lalu. Dan pikiran-pikiran tidak penting atas apa yang terjadi malam lalu di kafe itu bisa terhempaskan secepat-cepatnya.

Setelah berkaca selama setengah jam dan berganti beberapa baju, aku putuskan untuk segera mencari buah tangan untuk prosesi makan malam itu. Sehelai syal melingkari leherku, cuaca Bandung sekarang sedang tidak mudah ditebak. Siang hari panas menggigit kulit hingga pedih, sedangkan malam hari dingin hingga ke tulang.

***

Secara refleks, aku melangkahkan kakiku ke café langgananku. Dan secara refleks pula, seperti dihipnotis, aku memesan es cokelat. Seperti biasa, seperti biasa ketika aku bertemu ia di sini. Seperti biasa, seperti biasa ketika aku bertukar pengalaman dengannya hingga lupa waktu. Seperti biasa. Yang kuyakin menjadi tidak lagi biasa setelah peristiwa lusa kemarin. Memikirkan hal itu, es cokelat yang biasanya manis, pahit, dan creamy, menjadi tidak berasa apapun. Es cokelat ini pun tidak seperti biasa.

Kutinggalkan es cokelat yang masih setengahnya itu begitu saja. Baru kali ini aku menyesal mengangsurkan uang dua puluh ribuan pada penjaga kasir karena es cokelat yang kupesan tadi. Pikiranku langsung sibuk mencari café mana yang juga menyediakan es cokelat ciamik selain café ini. Selain café yang biasa kudatangi dengan dia. Ah, mungkin penghuni 1502 tahu, mengingat ia bisa menemukan caastangel yang rasanya luar biasa.

***

Toko kue yang kudatangi ini adalah toko kue juara satu, versi ibuku. Sebelum ia berpindah ke kampung halamannya, ia sering mengajakku ke toko ini. Ketika aku sedang tidak ada di rumah, ibu akan pergi sendirian dan membeli beberapa kue untuk kukudap ketika aku datang nanti. Sekarang sudah tidak ada ibu, ia memutuskan menjual rumahnya di sini dan pindah ke kampung halamannya yang seperti musim kemarau sepanjang tahun.

Kupilih kue kesukaanku, kue lidah kucing. Ada-ada saja makanan yang dibuat orang Belanda ini, pikirku, tapi rasanya memang enak. Semoga aku tidak tergoda untuk menghabiskannya sendirian di kamar. Ini untuk perjamuan makan malam nanti. Ini untuk bakal calon teman-temanku, siapa tahu dengan mereka akan ada yang berubah. Yang tidak seperti biasa.

Beruntung sore ini belum hujan, aku menikmati berjalan di trotoar jalan ini. Salah satu trotoar yang berukuran lebar dan masih digunakan sesuai fungsinya di Bandung ini. Salah satu dari sedikit trotoar yang berukuran lebar dan masih digunakan sesuai fungsinya di Bandung ini, kukoreksi kalimatku.

Daaaaaarrrrr.. kue kesukaanku terhempas ke lantai trotoar. Remuk.

Dan juga aku. Ada yang menabrak kakiku hingga aku kehilangan keseimbangan. Tumbukkan yang cukup keras hingga sakitnya membuatku mengerang. Ini dia yang tidak seperti biasa. Baru kali ini aku ditabrak motor di trotoar yang lebar dan masih digunakan sesuai fungsinya di Bandung ini. Harus kukoreksi pula rupanya kalimatku tadi.

Masih beruntung orang yang menabrakku mau bertanggung jawab, mengantarkanku ke rumah sakit terdekat. Itupun setelah didesak oleh orang-orang yang melihat kejadian itu. Biarlah.

Harus kubeli lagi kue lidah kucing juara satu itu. Harus. Untuk menjadikan segalanya tidak seperti biasa. Aku pun harus segera sembuh agar bisa bertemu dengan penghuni 1502. Agar aku selanjutnya bisa mendapati yang tidak biasa itu. Atau pertemuan itu tidak akan terjadi untukku? Dokter, aku bergantung padamu sekarang.


Kalea Tyaga Bestari

Bandung, le 11 Juillet 2010.