Cukup sehari saja kubiarkan kakiku bermanja tidak melakukan apapun. Hanya sedikit saja ia terluka, sekarang tinggal lebam yang tersisa. Walaupun masih kurutuki itu si pengendara motor yang melintas tanpa hati-hati di trotoar favoritku. Kupaksakan kakiku menuruni sekian ratus anak tangga di apartemenku ini. Biar kuat, biar sehat, biar lambat, asal selamat.
Pemaksaan pada satu organku ini hanya karena satu tujuan: membeli kue lidah kucing yang juara satu. Kalau diingat, sedih juga karena lidah kucing yang kemarin jatuh itu remuk-redam dan hanya berakhir di perutku. Tak sampai hati jika kubawakan lidah kucing yang seperti remukan kerupuk itu untuk si 1502, yang sudah berikan aku caastangel-nya yang juara satu.
***
Pikiranku menjelajah, menebak-nebak apa yang mungkin terjadi nanti, bagaimana rupa mereka teman-teman baruku. Adakah ini akan menjadi sesuatu yang tidak biasa? Aku selalu senang untuk mengenal orang lain, mungkin juga karena ketertarikanku pada perilaku manusia yang selalu unik dan sulit ditebak. Aku pula berusaha menebak-nebak sketsa wajah teman-teman baruku, padahal aku belum pernah bertemu mereka sama sekali.
Angkutan kota yang kunaiki melewati taman yang rindang dan tiba-tiba pikirku berpindah ke masa lalu. Dia sedang duduk membuat sketsa, sementara aku tidur-tiduran di rumput yang tidak bersih itu dan membaca buku. Sayangnya ingatanku hanya setengah, aku tidak ingat buku apa yang kubaca, tapi kudengar lagu kesukaanku melalui earphone yang terhubung ke ponselku.
I was not supposed to fall in love with you.. *
Aku memencet tombol next untuk menghindari lagu itu. Aku memandang wajahnya, tapi ia tidak menyadarinya. Pandangannya pada buku sketsa berukuran A4 itu tidak beralih sama sekali. Ia tenggelam pada sketsanya, yang entah seperti apa jadinya. Satu jam berlalu.
“Sudah dululah, ayo minum cokelat,” ujar Darda sambil membereskan segala peralatan sketsanya. Kami memang pecinta es cokelat. Tidak absen minuman yang satu itu dalam pertemuan-pertemuan kami. Mungkin itu pula yang menjadikan kami bisa nyambung dalam berbagai pembicaraan. Es cokelat perekatnya.
Drrrrttt.. ponselku bergetar dan membuyarkanku dari lamunan yang tak kuhendaki. Ada pesan masuk melalui satu penyedia layanan messenger. Kulihat siapa pengirimnya. Darda.
Kamu kemana malem ini? Temenin gue minum cokelat di tempat biasa dong ya? :D
Emoticon penyerta pesan itu adalah emoticon favoritku. Dan juga dia. Dia tahu sekali itu. Dan aku tahu sekali itu. Emoticon itu yang menyentil jemariku untuk membalas pesan singkat itu. Sedetik, dua detik, kuurungkan niatku.
Kupencet tombol sign off. I’m signing off from my account, from you. Tapi bisakah semudah itu menarik diri dari Darda, semudah undur diri dari akun messenger itu? Yang pasti tidak semudah turun dari angkutan kota ini. Aku turun perlahan dan melangkahkan kaki sakitku ke apartemenku yang nyaman luar biasa. Kali ini aku pilih lift sebagai penghantarku menuju kamar.
***
Setelah memilih baju yang akan kupakai nanti, aku baringkan diriku sejenak. Kupikir sehelai kaos longgar berwarna abu-abu yang menjuntai hingga lutut cukup pantas untuk pertemuan informal itu. Aku mengecek ponselku yang sejak tadi sore di-setting dalam mode diam, bahkan tanpa getar. Sejuta panggilan tidak terjawab dan beratus pesan singkat singgah di ponsel dengan merek pasaran itu. Itu semua ulah Darda.
Lea, kamu kemana sih? Gue hubungi gada jwbn mulu. Bls si smsnya. Kita kan udh lama gak ketemu. Gak kangen apa? Ini rindu namanya.
Oh, Darda.. dengan hal apa pula mesti kujawab pesan singkatmu itu. Apakah kau mencoba membalasku atas pertemuan terakhir kita di kafe itu? Apakah benar yang kau rasa di kalimat akhir pesanmu itu? Pesan-pesan standar seperti itu sepertinya tidak pas kau kirimkan di masa seperti ini, di masa setelah pertemuan terakhir kita di kafe itu. Tapi aku ragu kau bisa peka tentang itu.
Berkali-kali kucoba untuk mengetik pesan balasan untuknya. Tapi berkali-kali pula kuhapus pesan itu. Sekali lagi, tak ada pesan kukirimkan untuknya. Lihat saja, sehari-dua hari lagi ia akan menggedor kamarku dengan murka karena tidak ada satupun kabarku minggu ini terkirim padaku. Apalagi jika ia tahu jika aku sempat tertabrak oleh pengendara motor yang kurang berhati-hati itu. Aku sembunyikan ponsel itu ke bawah bantal dan aku berlari kecil ke kamar mandi, mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan penghuni lain di lantai ini dan melarikan diri dari pesan singkat Darda.
***
Ketukan yang tidak terlalu lama di bawah angka 1502 memunculkan seorang lelaki dengan senyum sumringah.
“Hai, eh.. eh tunggu sebentar, ada yang tertinggal,” kesan pertama yang kurang baik, aku lupa membawa lidah kucing yang telah kupersiapkan. Aku berlari ke kamarku sebentar dan ia masih saja menunggu di depan pintunya. Dengan tidak sengaja, aku memberitahukan dari kamar mana aku muncul.
“Hehehe.. tunggu sebentar ya, nanti aku ketuk lagi saja. Udah ada yang datang? Ada yang ketinggalan. Lupa, lupa banget tadi,” ujarku panik sambil berusaha membuka kunci pintu kamarku.
Dan dia, si 1502, masih saja menunggu di sana hingga aku selesai dengan keterlupaanku, masih dengan senyum sumringahnya. “Saya Mardi. Mardi Wisesa. Nama kamu siapa? Bawel ya?”, ujarnya ramah tanpa kesal sedikitpun atas perlakuanku.
“Eh, maaf banget ya barusan, saya terang, bukan bawel. Kalea,” ujarku sambil menahan tawa atas tuduhan yang dialamatkan padaku. Rupanya ia menganggapku cerewet dengan semua yang terjadi dalam waktu sekian menit itu. Nama depanku, Kalea, memang berarti terang dan sama sekali tidak berarti bawel.
Ia mempersilakanku masuk ke ruangan berwarna biru muda itu dan sesaat, ketenangan langsung menyergapku. “Yang lain masih belum datang, baru satu, si wartawan Kahlua,” ujarnya sambil mengenalkanku pada Kahlua. Tipikal wartawan, itu simpulanku setelah memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedikit berantakan. Dan pada detik yang sama aku bersyukur, ternyata ada orang yang gayanya lebih berantakan dariku malam ini.
Belum sempat kami mengobrol banyak, penghuni kamar-kamar lain bermunculan. Beberapa terlambat dari jadwal yang telah ditentukan karena kesibukan mereka masing-masing. Yang datang setelahku adalah Ateira. Wanita bertubuh mungil dan berkulit putih. Dia penyuka bunga, begitu rupanaya. Ia bercerita, bunga berwarna fuschia yang ia bawa untuk pertemuan malam ini berasal dari tokonya.
Setelah Ateira, yang datang adalah seorang laki-laki berpenampilan sederhana namun sedap dipandang. Sedetik aku melihatnya, aku yakin pasti dia bekerja di bidang fashion. Entah kenapa kuyakini itu, hingga akhirnya kami mengobrol. “Hai, gue Julian. Baju lo tuh kurang rame dikit deh,” matanya menyusuri kaos abu-abu yang kukenakan malam itu.
“Gue Kalea. Emang sengaja mau simpel aja soalnya kan nggak keluar apartemen. Kalungnya ketinggalan di depan kaca kamar mandi,” aku menanggapi komentarnya yang blak-blakan sambil terkikik geli. Tuh, benar kan, ia pasti orang fashion deh, ujarku dalam hati.
Perbincangan ringan mengenai apa yang kami lakukan sehari-hari terhenti. Mardi menghampiri pintu yang diketuk oleh siapa itu. Ternyata yang muncul adalah perempuan bernama Kyna. Ia memperkenalkan profesinya sebagai penari. Seperti biasa, aku melakukan kebiasaanku memandangi orang baru dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Mardi, ada asbak nggak?” tanyanya pada Mardi begitu selesai menjelaskan keterlambatannya. Mardi menunjuk asbak yang masih bersih di raknya.
Obrolan kami mengalir menyenangkan. Berpindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kemacetan Kota Bandung, menyumpahi birokrat yang tak becus kerjanya, lagu-lagu yang kami sukai, dan beragam topik lain. Tepat pukul 20.30, pintu kamar Mardi diketuk lagi. Rupa-rupanya Kyna sudah kenal dengan perempuan yang baru datang ini. Ia memperkenalkan diri sebagai Ori, yang langsung mengingatkanku pada Si Sinis Oriana Fallaci. Wartawan skeptis, sinis, dan galak yang pernah mewawancarai pemimpin-pemimpin dunia.
“Kebetulan saya punya WO kecil-kecilan. Nah berhubung bulan depan banyak long weekend jadi banyak yang reserpsi bulan depan, dan sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan,” terang Ori menjelaskan pekerjaannya.
Wow, ini menyenangkan. Fascinating. Berbagai orang dari profesi yang berlainan dan tidak ada yang bekerja di sektor formal. Sektor formal adalah istilahku untuk mereka yang bekerja sejak pukul delapan atau sembilan pagi dan pulang pukul empat atau lima sore. . “Gue juga jadi wartawan mah cuma iseng aja, ya ngisi waktu ajalah,” ungkap Kahlua yang disambut oleh tawa membahana dari penghuni apartemen yang lain.
Selepas tengah malam, meja di ruang tamu Mardi telah penuh dengan toples-toples yang kosong dan hampir kosong. Rupanya pertemuan selama hampir lima jam ini membuat kami tidak terasa menghabiskan tujuh toples yang dibawa masing-masing penghuni kamar. Dan, percayalah, semua kue itu rasanya juara satu dari tiap jenisnya.
Menjelang pukul satu dini hari, kami bersiap-siap kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan menyenangkan. Ini yang aku cari, teman-teman baru dengan pemikiran-pemikiran yang cerkas dan bisa diajak mengobrol tentang apa saja. Sama seperti Darda. Ouch, kenapa masih saja aku pikirkan dia.
Setelah cium pipi kiri, cium pipi kanan, dan berpelukan sambil berjanji untuk sering bertemu, kami pulang dan meninggalkan lagi Mardi dalam kesendirian. Sesaat, ruangan yang tadi ramai itu kini senyap. Dan itu pula aku, di kamar yang berwarna jingga. Aku kembali sepi dan sendirian, tawa-tawa lima menit yang lalu, hilang sudah.
Aku meraih ponselku yang sengaja kutinggalkan di bawah bantal. Pertemuan tadi sangat menyenangkan, bahkan aku tidak ingat sama sekali perihal ponselku, yang biasanya tidak pernah jauh dariku bahkan se-inchi pun. Kyna, Mardi, Julian, Kahlua, dan Ori juga bukan tipe orang yang selalu sibuk dengan ponsel mereka. Hanya sesekali mereka mengecek ponsel mereka, tapi tetap fokus pada pembicaraan-pembicaraan kami. Jarang terjadi yang demikian di masa sekarang ini.
Dan kini aku fokus mengecek pesan-pesan dan panggilan yang masuk. Isinya satu dari ibuku, menanyakan kapan aku akan ke Jakarta menemui kakaknya. Dan sisanya, lebih kurang sekitar seribu pesan, berasal dari Darda. Seribu panggilan juga berasal dari Darda. Aku menghela napas dan membaca satu-satu pesan yang dikirimkannya.
Kalea Tyaga Bestari
Bandung, le 26 Juillet 2010
*lagu Heaven's What I Feel dipopulerkan oleh Gloria Estefan.
No comments:
Post a Comment