Passion, what is it?
And what about it?
Setelah melakukan wawancara kerja dua minggu lalu,
pertanyaan ini tidak kunjung mereda dari pikiran saya yang sejumput ini. Sejak
itu, saya mulai berpikir dan mencari-cari apa sebenarnya yang ingin saya
lakukan, apa yang ingin saya capai. Ya, seperti yang mudah diduga, belum ada
keputusan yang pasti dan berani atas perundingan batin ini. Tapi percayalah,
yang saya lakukan tidak seserius kedengarannya. Haha.
***
Jadi, dua minggu lalu saya dipanggil untuk wawancara kerja
di perusahaan asing yang sedang mencoba peruntungannya di Indonesia. Perusahaan
besar sekali, jika di Amerika sana. Sangat familiar pula di kuping orang
Indonesia. Wawancara berlangsung lancar, saya kira. Walaupun saya sempat agak
deg-degan dan, di beberapa bagian, saya menjawab dengan terbata-bata, but it was an exciting experience for me. Pertama kali wawancara kerja,
langsung wawancara dengan Bahasa Inggris, yang mana bukan bahasa utama saya.
Daaaang. Tapi ya sudahlah, lumayan, kalau menurut saya. Dan yang mewawancara
pun mengerti dengan apa yang saya bicarakan kok. Hehehe.
Lalu sampailah saya pada pertanyaan mengenai passion saya. Dia dan saya mengandaikan
bahwa passion saya adalah menulis.
Padahal mungkin nggak juga ya. Saya belum punya karya yang begitu berarti di
dunia penulisan. Jadi wartawan pun masih coba-coba. Tapi mungkin karena
mengetahui bahwa saya lulusan Jurnalistik dan punya
blog-yang-lumayan-sering-diisi, Mas Bos itu meyakini kalau passion saya adalah menulis. Yang mana saya belum yakin juga,
padahal. #kusut
Saya sih yakin dan siap aja di posisi yang ditawarkan itu,
yang mana tidak banyak menulis konten. Dia lalu memastikan,”You sure you won’t be frustrated if you don’t
do the writing, but the people surround you doing it?” Saya jawab sih saya
siap, nggak apa-apa. Lagian apa salahnya mencoba hal yang baru, yang mungkin
tidak berkaitan dengan menulis, tapi masih berkaitan dengan dunia jurnalistik? Sesimpel itu, ketika masih berada di ruang
wawancara.
Dua minggu kemudian, pertanyaan itu membuat saya berpikir
keras dan bikin bingung. Benarkah saya akan bisa jika nyatanya demikian, saya
harus bekerja dan tidak menulis-membuat berita? Lalu saya ingat percakapan saya
dengan teman saya, saya bilang, “Ya mau gimana juga kayaknya cuma nulis yang
kita bisa, setidaknya itu yang paling dekat dengan latar belakang pendidikan
kita.” Dan dia mengiyakan.
Saya juga sempat berbincang melalui layanan messenger dengan
teman yang lain. Dia bilang, “Bisa pasti. Lagian nulis mah bisa dimana aja
kapan aja, Di.” Shoot. Dan saya mengiyakan.
Terus apa? Bingung.
Bandung, le 8 Novembre 2011