Tuesday, November 8, 2011

Passion?


Passion, what is it? And what about it?

Setelah melakukan wawancara kerja dua minggu lalu, pertanyaan ini tidak kunjung mereda dari pikiran saya yang sejumput ini. Sejak itu, saya mulai berpikir dan mencari-cari apa sebenarnya yang ingin saya lakukan, apa yang ingin saya capai. Ya, seperti yang mudah diduga, belum ada keputusan yang pasti dan berani atas perundingan batin ini. Tapi percayalah, yang saya lakukan tidak seserius kedengarannya. Haha. 

***

Jadi, dua minggu lalu saya dipanggil untuk wawancara kerja di perusahaan asing yang sedang mencoba peruntungannya di Indonesia. Perusahaan besar sekali, jika di Amerika sana. Sangat familiar pula di kuping orang Indonesia. Wawancara berlangsung lancar, saya kira. Walaupun saya sempat agak deg-degan dan, di beberapa bagian, saya menjawab dengan terbata-bata, but it was an exciting experience for me. Pertama kali wawancara kerja, langsung wawancara dengan Bahasa Inggris, yang mana bukan bahasa utama saya. Daaaang. Tapi ya sudahlah, lumayan, kalau menurut saya. Dan yang mewawancara pun mengerti dengan apa yang saya bicarakan kok. Hehehe. 

Lalu sampailah saya pada pertanyaan mengenai passion saya. Dia dan saya mengandaikan bahwa passion saya adalah menulis. Padahal mungkin nggak juga ya. Saya belum punya karya yang begitu berarti di dunia penulisan. Jadi wartawan pun masih coba-coba. Tapi mungkin karena mengetahui bahwa saya lulusan Jurnalistik dan punya blog-yang-lumayan-sering-diisi, Mas Bos itu meyakini kalau passion saya adalah menulis. Yang mana saya belum yakin juga, padahal. #kusut

Saya sih yakin dan siap aja di posisi yang ditawarkan itu, yang mana tidak banyak menulis konten. Dia lalu memastikan,”You sure you won’t be frustrated if you don’t do the writing, but the people surround you doing it?” Saya jawab sih saya siap, nggak apa-apa. Lagian apa salahnya mencoba hal yang baru, yang mungkin tidak berkaitan dengan menulis, tapi masih berkaitan dengan dunia jurnalistik? Sesimpel itu, ketika masih berada di ruang wawancara. 

Dua minggu kemudian, pertanyaan itu membuat saya berpikir keras dan bikin bingung. Benarkah saya akan bisa jika nyatanya demikian, saya harus bekerja dan tidak menulis-membuat berita? Lalu saya ingat percakapan saya dengan teman saya, saya bilang, “Ya mau gimana juga kayaknya cuma nulis yang kita bisa, setidaknya itu yang paling dekat dengan latar belakang pendidikan kita.” Dan dia mengiyakan. 

Saya juga sempat berbincang melalui layanan messenger dengan teman yang lain. Dia bilang, “Bisa pasti. Lagian nulis mah bisa dimana aja kapan aja, Di.” Shoot. Dan saya mengiyakan. 

Terus apa? Bingung. 

Bandung, le 8 Novembre 2011

1 comment:

  1. iya menulis emang bisa dimana aja dan kapan aja, persoalannya apakah waktu tersedia untuk menulis saat kita sudah berhadapan dengan rutinitas kerja? hehehe, gutlak anyway dy:)

    ReplyDelete