Tuesday, November 4, 2014

Narasi Negatif

Kau tahu, kebencian itu bisa membunuh. Bahkan ketika kau tak menginginkannya: menginginkan kebencian itu ataupun mengingingkannya membunuh. Senyatanya, dia kerap tumbuh malu-malu, datang tanpa tak diundang, dan menyulut ke sana kemari dengan semena-mena.

Atau memang itu yang sesungguhnya diharapkan?

Ah, tapi siapa yang ingin diliputi benci? Toh, itu tak benar, ujar norma. Tidak boleh membenci, itu yang kau dengar sejak masih kecil, bukan? Tidak ada yang benar dan sehat dari kebencian, begitu kata si bijak. 

Lalu ketika kau membenci, apa yang akan kau lakukan? Membiarkannya bersarang dan berkelindan hingga mengakar? Atau berbalik membunuhnya perlahan? Tapi bukankah membunuh juga adalah hal yang jahat?

Betapa bencinya karena belajar untuk membenci. Demi suatu alasan yang egois: kewarasan diri. 

Bandung dan Jakarta, le Octobre et Novembre 2014.

Tuesday, October 14, 2014

Suara Sunyi

Siapa masih rutin buka Facebook? Saya! Setiap hari saya masih buka jejaring sosial yang satu itu, meski jarang banget posting –kecuali berbagi tautan, hehehe. Kemarin pas buka, saya lihat ada tautan blog milik senior di kampus (dulu). Beberapa kali memang saya mampir ke catatan pribadinya dan kemarin, di sela tenggat waktu yang bikin puyeng, saya kembali berkunjung. Satu catatannya yang teringat sampai sekarang adalah tentang suara jahat dan suara baik.

Belakangan ini, rasanya sulit sekali bikin hidup jadi positif. Jelaslah, karena ada berbagai alasan yang membuat semua hal negatif tak segera lelah berputar-putar di otak. Layaknya melodi musik, suara-suara jahat itu mengawang di otak bagian belakang. Bolak-balik saja, seperti nggak ada pekerjaan. Dan ia makin bergemuruh ketika ada satu orang lagi yang mengundurkan diri dari kantor, respon negatif, atau hal semacamnya. Dia, yang bergemuruh itu, rajin memanas-manasi saya untuk mundur juga dan menyerah karena lelah tak terkira. “Sudahlah, berhenti saja, apalagi yang kau perjuangkan?” begitu kurang lebih ujarnya. Dan butuh beberapa tarikan napas panjang untuk mengusirnya dan meyakinkan diri jika saya masih sanggup dan memang ingin mencapai destinasi yang ditetapkan sebelumnya. Itupun tak serta merta hilang. Jejaknya masih saja ada dan kerap bertambah dalam di waktu-waktu tertentu.

Lalu, suara-suara baik pun tak kalah ramai ingin ikut serta. Dia datang untuk membantu menyeimbangkan –atau melawan- suara negatif yang sudah hadir duluan. Suara itu hasil sinergi dari logika, rasa nyaman, dan semangat dari dunia luar. “Coba bertahan sedikit lagi. Hingga sampai di garis akhir yang kau damba,” sahutnya ketika suara jahat mulai muncul. Seringnya, suara baik yang menang dan saya kembali bangkit dengan sikap siaga. Seperti Usain Bolt sebelum bertolak mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari di lintasan.

Hingga kini, pergulatan batin –dan suara- itu tak pernah luruh sepenuhnya.

Jakarta, le 12 Septembre 2014 et 14 Octobre 2014

Tuesday, August 5, 2014

Mari Maafkan

Bulan lalu, saya dapat kesempatan untuk mengisi rubrik "Now Honestly" di majalah tempat saya bekerja. Pasalnya, si empunya rubrik sedang melanglang buana ke Eropa untuk menggali ilmu. Setelah dicetak dan dibaca kembali, aneh rasanya membaca tulisan yang biasanya cuma tampil di blog, malah dimuat di majalah. *malu*. Dan karena blog ini sudah tak diperbarui selama beberapa masa, jadi ya saya unggah saja tulisan yang kemarin itu. Hore! 




Usai sesi temu singkat, seorang pembaca cakra bilang pada saya, “Maafkan dan lupakan yang telah lalu.” Perkataannya sukses bikin dahi mengernyit. Apa yang harus dimaafkan? Saya merasa tak punya dendam atau pertikaian yang belum usai. Seingat saya, semua yang terjadi di masa lalu telah termaafkan dan sengaja dilupakan. Tapi rupanya, pembaca cakra dan alatnya bisa melihat ke hati saya dengan lebih jelas. Masih ada remah yang belum tuntas dan bikin kaki berat melangkah.
    Perihal maaf-memaafkan ini memang “unik”. Terlambat karena macet, bilang maaf. Lupa janji dengan teman tinggal kirim pesan singkat, “Maaf, saya sibuk luar biasa!”. Kesalahpahaman dengan si dia pun dianggap beres dengan kata sakti itu. Bahkan pengemudi taksi yang tak paham jalan pun enteng bilang maaf, padahal kita lelah dan ingin istirahat saat macet. Yang jadi perhatian adalah: apakah kata itu datang dari hati atau sekadar pamungkas untuk sudahi masalah? Ya, butuh waktu yang tak sebentar memang untuk jadi pemaaf, apalagi pemaaf yang tulus. 
    Buat masyarakat Indonesia yang memang gila teknologi, cara menyampaikan maaf pun bisa jadi perdebatan pelik. Coba saja cek ponsel pintar plus jejaring sosial Anda di waktu Idul Fitri, pasti ramai dengan ucapan maaf. Dan banyak orang yang jengah dengan hal ini. Mereka anggap hal tersebut tak pantas diobral di media sosial. Ingin benar-benar minta maaf? Hubungi satu per satu secara personal. Dengan begitu, prosesnya lebih syahdu dan tulus. Tapi apa mutlak begitu? Baiklah, saya akui kalau saya termasuk yang berpikir seperti itu. Tapi toh bukan berarti dengan pilihan tersebut, perilaku orang lain yang bermaafan secara terbuka di media sosial jadi keliru. Apa yang salah dengan linimasa Twitter, Path, dan Facebook damai dengan kata maaf? Masih jauh lebih baik ketimbang mencaci pilihan orang lain di masa kampanye! Lagipula itu salah satu keuntungan dari teknologi: bikin hidup lebih mudah. 
    Pertemuan dengan pembaca cakra itupun masih teringat hingga kini, padahal kejadiannya sudah lewat dua tahun silam. Ia ingatkan saya untuk introspeksi. Buka sebentar lembaran yang lalu, maafkan si pembuat salah atau sakit hati, maafkan diri sendiri, dan lanjutkan hidup dengan lebih tenang. Lewat media apapun, tak jadi masalah! Mendendam hanya bikin kacau diri sendiri. Lupakan atau tidak? Setelah dapat pelajaran dari kesalahan itu, sebaiknya abaikan saja meski tak mudah terjadi dalam waktu singkat.

Demikianlah. 


Jakarta, le 5 Aout 2014

Saturday, June 14, 2014

Pola Pikir






Kemarin, seorang teman mengunggah satu foto yang berisi kutipan. Jangan khawatir, begitu lebih kurang isinya. Tak perlulah habiskan berjam-jam untuk memikirkan sesuatu yang memang tak bakal ditemukan jawabannya di masa ini. 

Tapi itu adalah pilihan. And I’m not a decision maker. Pilihan-pilihan mudah pun bisa jadi sulit untuk saya yang (sudah tertular) otak ruwet. Pilih kaus biru atau hitam? Singapura atau Thailand untuk perjalanan selanjutnya? Lebih bagus sepatu maroon atau krem? Pakai kemeja atau kaus ke kantor? Lalu apa padanannya, rok atau celana? Celana kain atau jeans? Bungee jumping atau tidak? Pulang ke Bandung minggu ini atau minggu depan? Bicara dengannya atau tidak? Telepon narasumber sore ini atau besok pagi? Makan siang soto atau pecel? Beli laptop atau harddisk eksternal dulu? Dan daftarnya masih terus bertambah. Panjang. Sangat panjang. 

Hidup memang penuh dengan pilihan. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, bahkan hingga bertahun-tahun selanjutnya. Bagi sebagian orang, memilih adalah bernapas. Mudah, tak perlu dipikirkan. Sebut saja! Sedangkan bagi saya, pilihan adalah serupa soal Fisika dalam SPMB. Sulit. Nyaris tak terpecahkan. Pikiran sudah berjalan bahkan sejak pilihan itu masih samar. Plus, memikirkan akibat-akibatnya atau apa yang mungkin terjadi setelah itu. Padahal seringnya, keputusan itu hanya dibuat sedetik. Tanpa pemikiran yang sebelumnya sudah mengular dan berhimpitan di kepala. Dan tak berakibat fatal sama sekali. Ironis. Atau oksimoron. 

Memilih, atau proses menentukan pilihan, itu terlalu menggelitik untuk ditimbang baik dan buruknya, positif dan negatifnya, atau benar tidaknya. Pelik, bagi saya. 

Misalnya saja tentang masa depan. Kekhawatiran atas hal yang tak pasti menghadapkan kita pada dua pilihan: jalani saja apa adanya tanpa banyak berpikir atau pikirkan matang-matang agar jelas pijakan serta arahnya. Yang pertama menggoda untuk dilakoni. Tapi yang kedua juga jelas bukan tindakan bodoh.

Yang mana yang harus ditempuh?

Bandung, le 14 Juin 2014

Friday, January 10, 2014

Kilas 2013

Just go!

Kata apa yang pantas disematkan pada 2013 yang telah berlalu? Sayangnya, kamus bahasa saya tak menemukan kata yang pas. Tapi seperti layaknya momen, ada saja naik dan turun, bahagia dan sedih, panas dan dingin, marah dan tawa, dan rasa-rasa lainnya. Tapi, jika ditelusuri dan diingat-ingat lagi, sepertinya lebih banyak saya rasa bingung. Harus banget ditulis? Harus ah!


Banyak hal -terlalu banyak- yang terjadi di tahun itu dan itu cukup menguras emosi serta pikiran. Tahun kemarin, apalagi di akhir tahun, sepertinya jadi “ujian” untuk lebih dewasa (?). Hahaha. Atau bisa juga sebagai peringatan untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Sayangnya, hal itu tetap tak saya lakukan. Saya lebih memilih untuk tetap bingung, memikirkan dan merasakannya setengah-setengah, berkelahi dengan diri sendiri, tanpa keputusan apa-apa, tanpa tahu apa yang sebenarnya saya inginkan. Oke, ini adalah masalah hubungan personal. Hahaha, ternyata ada bakat curcol.

Lalu, ada apa dengan pekerjaan? Makin nggak jelas juga. Antara gitu-gitu aja atau makin parah. Yang pasti sih karena kurang konsentrasi. Kenapa? Nggak tahu juga, mungkin sih karena poin pertama itu. Jadi, kalau boleh menilai diri sendiri dan ada rapornya, nilainya pasti merah meski saya tetap berusaha untuk lakukan sebaik yang saya bisa. Padahal, satu-satunya komitmen saya hanya untuk hal ini. Hahaha. Ya sudahlah.

Tahun lalu, saya menjadi pembenci, sangat negatif. Sumpah serapah pada pekerjaan, merusak relasi antarpersonal, membelenggu pertemanan, dan bahkan, membenci dan menenggelamkan diri sendiri. Gawat-segawat-gawatnya. Tapi menjadi positif itu pilihan ‘kan? Di sela rasa yang tak karuan itu, saya berupaya keras untuk tetap “hidup”. Setidaknya ketika bersama teman-teman yang sudah selalu baik. Bersyukur sekali atas kehadiran mereka-mereka itu. :)

Ah, mungkin cuma kurang vakansi.

Selalu saja ada yang seru di setiap tahun. Selain hal-hal negatif di atas, untungnya masih ada yang menyenangkan di tahun lalu. Teman yang masih bisa diajak bercerita, kebahagiaan mereka, kejadian tak terduga, outing kantor, dan liburan (sembari kerja) menjelang ulang tahun. Setidaknya masih ada yang bikin ma vie en rose. Hamdallah!


Dan mantra di awal tahun tak bakal pernah berubah: tahun ini pasti akan lebih menyenangkan dari tahun lalu. Haqqul yakin!


Jakarta, le 10 Janvier 2014