Bulan lalu, saya dapat kesempatan untuk mengisi rubrik "Now Honestly" di majalah tempat saya bekerja. Pasalnya, si empunya rubrik sedang melanglang buana ke Eropa untuk menggali ilmu. Setelah dicetak dan dibaca kembali, aneh rasanya membaca tulisan yang biasanya cuma tampil di blog, malah dimuat di majalah. *malu*. Dan karena blog ini sudah tak diperbarui selama beberapa masa, jadi ya saya unggah saja tulisan yang kemarin itu. Hore!
Usai sesi temu singkat, seorang pembaca cakra bilang pada saya, “Maafkan dan lupakan yang telah lalu.” Perkataannya sukses bikin dahi mengernyit. Apa yang harus dimaafkan? Saya merasa tak punya dendam atau pertikaian yang belum usai. Seingat saya, semua yang terjadi di masa lalu telah termaafkan dan sengaja dilupakan. Tapi rupanya, pembaca cakra dan alatnya bisa melihat ke hati saya dengan lebih jelas. Masih ada remah yang belum tuntas dan bikin kaki berat melangkah.
Perihal maaf-memaafkan ini memang “unik”. Terlambat karena macet, bilang maaf. Lupa janji dengan teman tinggal kirim pesan singkat, “Maaf, saya sibuk luar biasa!”. Kesalahpahaman dengan si dia pun dianggap beres dengan kata sakti itu. Bahkan pengemudi taksi yang tak paham jalan pun enteng bilang maaf, padahal kita lelah dan ingin istirahat saat macet. Yang jadi perhatian adalah: apakah kata itu datang dari hati atau sekadar pamungkas untuk sudahi masalah? Ya, butuh waktu yang tak sebentar memang untuk jadi pemaaf, apalagi pemaaf yang tulus.
Buat masyarakat Indonesia yang memang gila teknologi, cara menyampaikan maaf pun bisa jadi perdebatan pelik. Coba saja cek ponsel pintar plus jejaring sosial Anda di waktu Idul Fitri, pasti ramai dengan ucapan maaf. Dan banyak orang yang jengah dengan hal ini. Mereka anggap hal tersebut tak pantas diobral di media sosial. Ingin benar-benar minta maaf? Hubungi satu per satu secara personal. Dengan begitu, prosesnya lebih syahdu dan tulus. Tapi apa mutlak begitu? Baiklah, saya akui kalau saya termasuk yang berpikir seperti itu. Tapi toh bukan berarti dengan pilihan tersebut, perilaku orang lain yang bermaafan secara terbuka di media sosial jadi keliru. Apa yang salah dengan linimasa Twitter, Path, dan Facebook damai dengan kata maaf? Masih jauh lebih baik ketimbang mencaci pilihan orang lain di masa kampanye! Lagipula itu salah satu keuntungan dari teknologi: bikin hidup lebih mudah.
Pertemuan dengan pembaca cakra itupun masih teringat hingga kini, padahal kejadiannya sudah lewat dua tahun silam. Ia ingatkan saya untuk introspeksi. Buka sebentar lembaran yang lalu, maafkan si pembuat salah atau sakit hati, maafkan diri sendiri, dan lanjutkan hidup dengan lebih tenang. Lewat media apapun, tak jadi masalah! Mendendam hanya bikin kacau diri sendiri. Lupakan atau tidak? Setelah dapat pelajaran dari kesalahan itu, sebaiknya abaikan saja meski tak mudah terjadi dalam waktu singkat.
Demikianlah.
Usai sesi temu singkat, seorang pembaca cakra bilang pada saya, “Maafkan dan lupakan yang telah lalu.” Perkataannya sukses bikin dahi mengernyit. Apa yang harus dimaafkan? Saya merasa tak punya dendam atau pertikaian yang belum usai. Seingat saya, semua yang terjadi di masa lalu telah termaafkan dan sengaja dilupakan. Tapi rupanya, pembaca cakra dan alatnya bisa melihat ke hati saya dengan lebih jelas. Masih ada remah yang belum tuntas dan bikin kaki berat melangkah.
Perihal maaf-memaafkan ini memang “unik”. Terlambat karena macet, bilang maaf. Lupa janji dengan teman tinggal kirim pesan singkat, “Maaf, saya sibuk luar biasa!”. Kesalahpahaman dengan si dia pun dianggap beres dengan kata sakti itu. Bahkan pengemudi taksi yang tak paham jalan pun enteng bilang maaf, padahal kita lelah dan ingin istirahat saat macet. Yang jadi perhatian adalah: apakah kata itu datang dari hati atau sekadar pamungkas untuk sudahi masalah? Ya, butuh waktu yang tak sebentar memang untuk jadi pemaaf, apalagi pemaaf yang tulus.
Buat masyarakat Indonesia yang memang gila teknologi, cara menyampaikan maaf pun bisa jadi perdebatan pelik. Coba saja cek ponsel pintar plus jejaring sosial Anda di waktu Idul Fitri, pasti ramai dengan ucapan maaf. Dan banyak orang yang jengah dengan hal ini. Mereka anggap hal tersebut tak pantas diobral di media sosial. Ingin benar-benar minta maaf? Hubungi satu per satu secara personal. Dengan begitu, prosesnya lebih syahdu dan tulus. Tapi apa mutlak begitu? Baiklah, saya akui kalau saya termasuk yang berpikir seperti itu. Tapi toh bukan berarti dengan pilihan tersebut, perilaku orang lain yang bermaafan secara terbuka di media sosial jadi keliru. Apa yang salah dengan linimasa Twitter, Path, dan Facebook damai dengan kata maaf? Masih jauh lebih baik ketimbang mencaci pilihan orang lain di masa kampanye! Lagipula itu salah satu keuntungan dari teknologi: bikin hidup lebih mudah.
Pertemuan dengan pembaca cakra itupun masih teringat hingga kini, padahal kejadiannya sudah lewat dua tahun silam. Ia ingatkan saya untuk introspeksi. Buka sebentar lembaran yang lalu, maafkan si pembuat salah atau sakit hati, maafkan diri sendiri, dan lanjutkan hidup dengan lebih tenang. Lewat media apapun, tak jadi masalah! Mendendam hanya bikin kacau diri sendiri. Lupakan atau tidak? Setelah dapat pelajaran dari kesalahan itu, sebaiknya abaikan saja meski tak mudah terjadi dalam waktu singkat.
Demikianlah.
Jakarta, le 5 Aout 2014
No comments:
Post a Comment