Sunday, May 30, 2010
Menatap Biru
Pleminary Concert
Just watched the Preliminary Concert “The Golden Sound of Musical Heritage: Bridging the Treasure of Legacy held by KPA 3 last night. They’re lucky, the concert can be held in Gedung Merdeka. Diadakannya konser Preliminary ini adalah tanda akan diselenggarakannya Expand the Sound of Angklung (ESA). ESA di tahun 2010 ini merupakan yang keempat kalinya setelah diadakannya program serupa pada 2002, 2004, dan 2008.
How was the concert?
Sebagai alumnus, saya sih bilang konsernya bagus. Hehehe. Agak narsis ya? Tapi memang bagus. Saya dibuat kagum oleh kemampuan mereka membawakan repertoire-repertoire klasik yang durasinya panjang banget. Dua lagu klasik yang saya suka di konser kali ini adalah Symphony no. 5 Op.67, 1st movement dan Radetzky March, Op.228.
Kami, alumni 24 yang menonton, agak tercengang dengan semakin banyaknya arransemen lagu-lagu klasik yang dibuat arranger-arranger KPA3. But that ‘s smart movement sih. Mengingat, kita memang mesti bereksperimen supaya nggak gitu-gitu aja. And, Ruhe or Heru, big applause for him. He’s 22 years old and can do that kind of magical works. Dan tentu saja, Djiwa Margono, si Djidjiew sang konduktor, yang selalu melakukan tugasnya dengan amat-sangat-keren-sekali. We’re your big fans. Hahaha.
DT ESA 2010 on stage
Kami, si alumni 24 yang sukanya senang-senang, agak bersyukur karena dulu masih banyak lagu-lagu hiburan. Kalau kami masuk di KPA yang sekarang pasti nampak bodohnya. Susah coy, lagu-lagunya. Hehehe.
Yep, balik lagi ke konser semalam. Seperti yang sudah saya bilang, konser semalam itu keren dan bagus. Kekurangannya hanya ada di durasi. Tidak seperti biasanya, konser kali ini memakan waktu hampir empat jam, dimulai pukul 19.40 dan berakhir sekitar 23.15. Biasanya konser hanya berlangsung 2,5 sampai tiga jam saja. Karena durasi yang terlalu lama itu, banyak penonton yang tidak menonton sampai akhir. Sayang banget melhat bangku-bangku kosong yang asalnya berisi. Padahal, di sesi akhir mereka juga menyajikan tontonan yang keren, dipadu dengan tarian-tarian dari berbagai daerah di Indonesia.
Satu hal lagi yang saya suka dari konser tadi malam adalah penampilan dari penyanyi tenor Indonesia, Christopher Abimanyu. Beliau nanyi dua lagu, The Prayer dan Li Biamo Ne Lieti Calici. Lagu yang pertama memang menjadi lagu kesukaan kami. Dibawakan beliau, lagu itu menjadi keren sekali. Di lagu pertama beliau duet dengan alumnus KPA3, Teh Evi. Macam Celine Dion saja suara dia itu. Dan di lagu kedua Christian berduet dengan Binu D. Sukaman, penyanyi soprano dari Batavia Madrigal Singer. Tidak usah diragukan lagi, keduanya menyanyikan Li Biamo dengan sangat ciamik. Berasa lagi nonton opera beneran. Hehehe. Cuma kurang choirnya sih.
Perjalanan sebulan di Eropa nggak akan pernah murah. Apalagi ini untuk 37 orang. We need extra money. Temen saya yang ikut dalam muhibah kebudayaan kali ini bilang, mereka butuh uang sekitar Rp 900 juta. Jadi, selain penampilan yang memukau, semalam juga diadakan pengumpulan dana. Rupanya beberapa sponsor besar belum cukup memenuhi kebutuhan dana yang menggila itu. Namun, sepertinya sih, pemerintah sudah mulai berbaik hati mau mengucurkan sedikit bantuan. Hehehe. (walaupun pasti agak susah. ;p)
Pengumpulan dana, selain dilakukan melalui amplop-amplop yang disediakan panitia, juga dilakukan dengan melelang lagu. Alhamdulillah, satu lagu terjual Rp 3 juta. Hanya dua lagu sih yang dilelang, tapi menurut saya, itu apresiasi dan kepedulian yang sangat besar. And, I desperately realize that I must earn much money to support their event. Jumlah dana yang terkumpul sekitar Rp 15 juta.
Jadi, buat yang baca blog ini dan ingin membantu ESA 2010, boleh loh, hubungi saja kpa3@angklung3.info Maaf ya jadi promosi di sini, karena saya tahu dan sangat sadar kalau mereka butuh publikasi untuk mendapatkan dana yang sangat besar. Jangan sampai mereka kelaparan di Eropa sana. Hehe.
Tahun ini, ESA 2010 akan mendatangi tiga negara untuk turut serta dalam festival berskala internasional. Yang pertama, International Festival Folkart Maribor di Slovenia. Selanjutnya, Summa Cum Laude International Youth Festival Vienna di Austria. Yang ketiga, International Folk Festival of Ciudad Real di Spanyol. Festival keempat juga diadakan di Spanyol, yaitu International Folk Festival of Extramadura di Badajoz. Selain turut serta di festival-festival berskala internasional tersebut, biasanya sih ESA 2010 juga melakukan konser-konser kecil di negara-negara yang mereka singgahi.
Semoga berhasil ya teman-teman ESA 2010 KPA ! Our pray always be with you. You do such a great, great, great job. :D
Let this br our pray, just like every child. Need to find a place, guide us with your grace. Give us faith so we’ll be safe. ( The Prayer – Celine Dion and Andrea Bocelli)
Bandung, Le 30 Mai 2010
Friday, May 28, 2010
Souvenir - Pengingat
Seorang teman, yang saya kenal di CCF, menikah sebulan lalu. Tepatnya 11 April 2010. Setelah petualangan yang kesana-kemari dan putus-sambung, akhirnya ia menikah dengan sahabatnya sejak SMP. Gembiranya terpancar, tersenyum sumringah yang sepertinya tidak dibuat-buat. Dengan kebahagiaannya, ia tidak tampak lelah. Padahal seperti tidak habis-habis undangan yang datang dan bersalaman dengannya. Kedua sahabat itu benar-benar menikmati pernikahan-persahabatan mereka.
Teman saya, sang mempelai wanita, wujudkan mimpinya, berada di pelaminan dengan gaun yang layaknya digunakan putri-putri di negeri dongeng. Berwarna lembut dan mengembang di bagian bawahnya. Seperti ada kurungan ayam sebagai rangkanya. Ia pernah bercerita, di kamarnya ada koleksi Barbie yang cukup lengkap. Tentu saja, dilengkapi rumah-rumahan dan printil-printil lainnya yang bernuansa Barbie.
Dan yang paling saya kagum dari pernikahan tadi adalah cenderamata pernikahan mereka. Mereka siapkan beribu benih pohon buah-buahan. Undangan bisa memilih buah apa yang mereka ingin. Pilihannya ada jeruk, mangga, rambutan, jambu, dan beberapa macam lagi. Saya pilih jambu untuk me-recall memori tentang pohon jambu yang ada di depan rumah masa kecil saya. Walaupun saya belum tahu pasti akan ditanam dimana bibit pohon itu. Tapi mereka sudah mengingatkan kami, para undangan, untuk berterima kasih pada bumi, dengan menanam pohon.
Berbagai hal bersimpangan di pikir saya. Jangan-jangan karena sang mempelai pria, kakak kelas saya semasa SMA, bekerja di Kalimantan. Jangan-jangan karena sang ayah mempelai wanita adalah wakil kepala Polda di Kalimantan? Hahahaha. Apa juga bisa jadi alasannya. Yang terpenting mereka ingatkan saya untuk berbuat baik di hari pernikahan saya nanti. Salah satunya dengan pemilihan souvenir yang diberikan pada para undangan.
Ada dua hal yang terlintas di kepala saya ketika memikirkan hal cenderamata ini. Yang pertama, tentu saja, bibit pohon. Seperti yang teman saya telah lakukan. Tapi mungkin saya harus menabung sangat banyak sejak sekarang. Mengingat kau tidak bisa beli bibit pohon hanya dengan Rp 5.000,00. Jikapun tidak pohon, Sansievera sepertinya masuk akal. Tapi sepertinya lebih mahal. Mari saja berdoa saya punya penghasilan yang cukup baik sehingga bisa beri souvenir idaman saya itu.
Selain tetumbuhan, pilihan lainnya adalah tas kain. Bisa dari kanvas atau kain apapun. Apa pula guna tas ini? Simple saja. Reducing plastic bag. Jadi pasti sudah bisa ditebak, saya inginkan banyak orang, terutama teman-teman saya, bawa tas itu kemana mereka pergi. Jika akan beli sesuatu, misalnya dalam jumlah yang melebihi kapasitas tangan, maka gunakan tas kain itu untuk bawa hasil belanja.
Tren Go Green? Sebenarnya tidak. Sudah sejak dulu, Eyang saya ajarkan untuk membawa keranjang belanjaan jika pergi ke pasar. Keranjang merah, biru, atau hijau yang seperti di Supermarket itu. Tapi jikapun itu tren, tentu tidak masalah. Sepanjang itu baik. Begitu bukan? Bukan begitu?
*Selamat menikah Rahma Charliyan dan Dery Partoni. Semoga berbahagia dan bijaksana menjalani hidup. Terima kasih atas pepohonnya. J
edited: Le 28 Mai 2010
Selamat Malam!
Wednesday, May 26, 2010
Bali - Putu Wijaya
I'm going to post one of my favorite short story. This one is written by Putu Wijaya. Cukup mengena bagi kita, atau mungkin hanya saya, yang mengalami krisis identitas. Identitas dirikah? Atau bahkan identitas berkebangsaan. Haha. Kebetulan Hari Kebangkitan Nasional baru lewat beberapa hari lalu. Anggaplah itu sebagai news-peg. :))
Bon lire.. :D
BALI
Apa yang menyebabkan seseorang menjadi seorang Bali? Agama? Tanah Kelahiran? Tempat tinggal? Adat istiadat? Perilaku? Cara berpikir? Tindakan? Amal? Kepribadian? Ucapan? Niat?
Aku tidak lagi pergi ke pura. Aku sembahyang menurut caraku sendiri di dalam hati. Aku tidak lagi ke banjar, kalau terdengar suara kentongan, aku hanya membayar denda dengan uang, sebab aku harus setiap hari berada di kantor. Aku tidak lahir dan tinggal di Bali, tetapi seluruh kebijakan lokal Bali seperti desa-kala-patra, karma-pala, rwa bhineda, dan sebagainya, menjiwai hidup dan sepak terjangku.
Apakah aku bukan orang Bali, karena aku tidak memakai kain? Kemana-mana aku memakai celana jins dan sepatu kets. Bicara pun aku tidak lagi pakai bahasa Bali, karena bahasa Indonesia membuatku bisa berhadapan setara dengan siapa saja. Hidupku tidak terbelit upacara, karena tugas-tugasku begitu banyak supaya bisa bertahan hidup. Ketika orang-orang datang ke tetangga, aku tidur untuk menyiapkan tenaga.
Aku tidak bisa menari. Tidak bisa menabuh. Tidak bisa melukis atau membuat patung. Masih berhakkah aku disebut orang Bali?
Bagaimana kalau aku menyebut diriku orang Bali, tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang kulakukan? Yang penting, aku merasa diriku orang Bali? Tak cukupkah menjadi orang Bali hanya dengan merasa diri bali? Bisakan menjadi orang Bali hanya dengan mengatakan bahwa aku ini Bali?
Apakah aku berhenti menjadi orang Bali, ketika orang mencapku bukan Bali? Jadi, bali adalah sebuah cap? Kalau sudah berhasil kena cap, lalu aku akan melekat, apa pun yang dilakukan, apa pun yang dipikirkan?
Atau Bali itu sebuah ideologi? Sikap mental? Sikap jiwa?
Ami tak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Ia tertimbun. Lalu sakit. Dalam sakitnya, ia mengigau.
Aku bukan orang Bali. Aku tidak mau lagi jadi orang Bali. Aku sudah cacad. Aku sudah terkontaminasi. Aku sudah berkhianat. Aku tidak berhak lagi menjadi Bali. Aku sudah asing kepada Bali.
Bila Bali adalah satuan aturan, atau bila bali adalah satuan idiom-idiom hidup yang sudah mati, adat-istiadat yang beku, tata cara yang kaku, aku tidak mau. Aku berhenti menjadi orang Bali.
Keluarga Pak amat bingung. Mereka buru-buru mencari dukun. Ami disangka sudah kena santet. Tapi duku yang mencoba menolong akhirnya kesurupan sendiri dan berteriak-teriak. Ia mengatakan bahwa Bali sedang sakit. Masyarakatnya sedang bingung. Bali sedang menghadapi masa depan yang gelap. Segala sesuatu tentang Bali ternyata sudah berubah dan akan terus berubah. Mencari sesuatu yang Bali saat ini, susah. Semua nilai sedang goyah. Itu semua kata dukun.
Pak Amat membentak dukun yang dianggapnya sudah main sabun.
Kamu dukun palsu, kata Pak Amat. Kamu bukan mengobati, tapi membuat yang sakit tambah parah.
Tapi Bu Amat menanggapi dengan tenang.
Tak ada yang salah. Kita semua sedang tumbuh. Bali memang benar ssedang merumuskan dirinya kembali. Menjadi orang Bali sekarang, juga memerlukan perumusan baru. Tapi tidak berarti kalau menurut rumusan itu kamu bukan orang Bali, kamu tidak Bali, karena rumusan itu pun sifatnya temporer.
Ami perlahan-lahan pulih kembali. Bukan karena pertanyaan-pertanyaannya sudah terjawab, tetapi karena terbiasa. Toh, ia tetap tidak tahu apakah ia orang Bali atau bukan. Juga baginya tetap gelap orang Bali itu seperti apa. Ami hanya merasa bahwa ia orang Bali, tak peduli betapa pun keadaannya berbeda dengan segala persyaratannya tentang siapa orang Bali itu.
Aku orang Bali, titik, kata Ami. Aku tidak peduli yang lain-lain.
Bali adalah sebuah konsep. Tidak Bali juga sebuah konsep. Dan konsep-konsep itu berubah. Mungkin karena zamannya berubah, atau karena apresiasi kita yang bergerak. Apa pun yang kulakukan, apa pun yang kupakai, apa pun yang kukatakan, kupercaya sebagai Bali. Dan itu, untuk sementara sudah cukup.
Lalu Ami menikah. Pasangannya bukan orang Bali. Di situ Ami kembali bertanya.
Apakah aku bukan orang Bali lagi, karena aku sudah dikawin oleh bukan orang Bali? Apakah kebalian itu bergerak dan berubah karena pernikahan? Atau konsep Bali itu dian, teguh di tempanya, sekali dia ada. Artinya kemana pun aku pergi, apa pun yang kulakukan, sekali aku orang Bali, semuanya akan tetap Bali? Tak peduli suka atau tidak suka?
Ami kemudian punya anak. Anaknya tidak lagi tinggal di Bali. Bahkan belum pernah pergi ke Bali. Kalau ditanya siapa dia, jawabnya: aku orang Indonesia. Sama sekali tak ada keinginannya untuk dianggap sebagai orang Bali. Bahkan ia tidak pernah tertarik pada Bali. Karena mewarisi bakat dagang dari Ami, lalu ia membuka sebuah bengkel.
Anak itu tumbuh cepat. Dan pada gilirannya, ia pun menikah. Pilihannya orang asing berdarah Belgia. Karena kesulitan atau memang diniatkan, ia kemudian pindah ke Belgia mengikuti istriknya. Di situ ia membuka warung masakan Indonesia. Nama restorannya: Bali.
Masyarakat sekitar, para langganan, sellu mengatakan cucu Ami itu orang Bali. Bukan orang Indonesia. Dan yang bersangkutan tak peduli. Mau disebut apa juga biarin, katanya, asal makan di restoranku.
Pada suatu kali Ami dan Amat mengunjungi anak itu.
Apakah kamu tidak sadar bahwa kamu ini orang Bali, tanya Ami.
Anak itu menggeleng. Tidak.
Kalau begitu kamu benar-benar orang Bali.
Anak itu tetap menggeleng, sekarang tidak mengerti.
Kamu bingung, mengapa kamu kami sebut orang Bali?
Ya
Karena kamu orang Bali.
Anak itu tersenyum. Aku tidak peduli, katanya. Tidak ada yang berubah aku disebut orang Bali atau bukan. Tidak ada yang harus dibantah atau disetujui.
Ami menggeleng. Kamu keliru. Dengan menyebut kamu sebagai orang Bali atau dengan menyadari diri kamu sebagai orang Bali, kamu akan ikut mengusung Bali ke masa depan.
Anak itu tertawa. Aku tinggal di Belgia. Aku tidak peduli.
Ami mengangguk. Dengan menyatakan tidak peduli, kamu juga sudah ikut mengusung Bali ke masa depan.
Jakarta. 30 -7-03