I'm going to post one of my favorite short story. This one is written by Putu Wijaya. Cukup mengena bagi kita, atau mungkin hanya saya, yang mengalami krisis identitas. Identitas dirikah? Atau bahkan identitas berkebangsaan. Haha. Kebetulan Hari Kebangkitan Nasional baru lewat beberapa hari lalu. Anggaplah itu sebagai news-peg. :))
Bon lire.. :D
BALI
Apa yang menyebabkan seseorang menjadi seorang Bali? Agama? Tanah Kelahiran? Tempat tinggal? Adat istiadat? Perilaku? Cara berpikir? Tindakan? Amal? Kepribadian? Ucapan? Niat?
Aku tidak lagi pergi ke pura. Aku sembahyang menurut caraku sendiri di dalam hati. Aku tidak lagi ke banjar, kalau terdengar suara kentongan, aku hanya membayar denda dengan uang, sebab aku harus setiap hari berada di kantor. Aku tidak lahir dan tinggal di Bali, tetapi seluruh kebijakan lokal Bali seperti desa-kala-patra, karma-pala, rwa bhineda, dan sebagainya, menjiwai hidup dan sepak terjangku.
Apakah aku bukan orang Bali, karena aku tidak memakai kain? Kemana-mana aku memakai celana jins dan sepatu kets. Bicara pun aku tidak lagi pakai bahasa Bali, karena bahasa Indonesia membuatku bisa berhadapan setara dengan siapa saja. Hidupku tidak terbelit upacara, karena tugas-tugasku begitu banyak supaya bisa bertahan hidup. Ketika orang-orang datang ke tetangga, aku tidur untuk menyiapkan tenaga.
Aku tidak bisa menari. Tidak bisa menabuh. Tidak bisa melukis atau membuat patung. Masih berhakkah aku disebut orang Bali?
Bagaimana kalau aku menyebut diriku orang Bali, tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang kulakukan? Yang penting, aku merasa diriku orang Bali? Tak cukupkah menjadi orang Bali hanya dengan merasa diri bali? Bisakan menjadi orang Bali hanya dengan mengatakan bahwa aku ini Bali?
Apakah aku berhenti menjadi orang Bali, ketika orang mencapku bukan Bali? Jadi, bali adalah sebuah cap? Kalau sudah berhasil kena cap, lalu aku akan melekat, apa pun yang dilakukan, apa pun yang dipikirkan?
Atau Bali itu sebuah ideologi? Sikap mental? Sikap jiwa?
Ami tak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Ia tertimbun. Lalu sakit. Dalam sakitnya, ia mengigau.
Aku bukan orang Bali. Aku tidak mau lagi jadi orang Bali. Aku sudah cacad. Aku sudah terkontaminasi. Aku sudah berkhianat. Aku tidak berhak lagi menjadi Bali. Aku sudah asing kepada Bali.
Bila Bali adalah satuan aturan, atau bila bali adalah satuan idiom-idiom hidup yang sudah mati, adat-istiadat yang beku, tata cara yang kaku, aku tidak mau. Aku berhenti menjadi orang Bali.
Keluarga Pak amat bingung. Mereka buru-buru mencari dukun. Ami disangka sudah kena santet. Tapi duku yang mencoba menolong akhirnya kesurupan sendiri dan berteriak-teriak. Ia mengatakan bahwa Bali sedang sakit. Masyarakatnya sedang bingung. Bali sedang menghadapi masa depan yang gelap. Segala sesuatu tentang Bali ternyata sudah berubah dan akan terus berubah. Mencari sesuatu yang Bali saat ini, susah. Semua nilai sedang goyah. Itu semua kata dukun.
Pak Amat membentak dukun yang dianggapnya sudah main sabun.
Kamu dukun palsu, kata Pak Amat. Kamu bukan mengobati, tapi membuat yang sakit tambah parah.
Tapi Bu Amat menanggapi dengan tenang.
Tak ada yang salah. Kita semua sedang tumbuh. Bali memang benar ssedang merumuskan dirinya kembali. Menjadi orang Bali sekarang, juga memerlukan perumusan baru. Tapi tidak berarti kalau menurut rumusan itu kamu bukan orang Bali, kamu tidak Bali, karena rumusan itu pun sifatnya temporer.
Ami perlahan-lahan pulih kembali. Bukan karena pertanyaan-pertanyaannya sudah terjawab, tetapi karena terbiasa. Toh, ia tetap tidak tahu apakah ia orang Bali atau bukan. Juga baginya tetap gelap orang Bali itu seperti apa. Ami hanya merasa bahwa ia orang Bali, tak peduli betapa pun keadaannya berbeda dengan segala persyaratannya tentang siapa orang Bali itu.
Aku orang Bali, titik, kata Ami. Aku tidak peduli yang lain-lain.
Bali adalah sebuah konsep. Tidak Bali juga sebuah konsep. Dan konsep-konsep itu berubah. Mungkin karena zamannya berubah, atau karena apresiasi kita yang bergerak. Apa pun yang kulakukan, apa pun yang kupakai, apa pun yang kukatakan, kupercaya sebagai Bali. Dan itu, untuk sementara sudah cukup.
Lalu Ami menikah. Pasangannya bukan orang Bali. Di situ Ami kembali bertanya.
Apakah aku bukan orang Bali lagi, karena aku sudah dikawin oleh bukan orang Bali? Apakah kebalian itu bergerak dan berubah karena pernikahan? Atau konsep Bali itu dian, teguh di tempanya, sekali dia ada. Artinya kemana pun aku pergi, apa pun yang kulakukan, sekali aku orang Bali, semuanya akan tetap Bali? Tak peduli suka atau tidak suka?
Ami kemudian punya anak. Anaknya tidak lagi tinggal di Bali. Bahkan belum pernah pergi ke Bali. Kalau ditanya siapa dia, jawabnya: aku orang Indonesia. Sama sekali tak ada keinginannya untuk dianggap sebagai orang Bali. Bahkan ia tidak pernah tertarik pada Bali. Karena mewarisi bakat dagang dari Ami, lalu ia membuka sebuah bengkel.
Anak itu tumbuh cepat. Dan pada gilirannya, ia pun menikah. Pilihannya orang asing berdarah Belgia. Karena kesulitan atau memang diniatkan, ia kemudian pindah ke Belgia mengikuti istriknya. Di situ ia membuka warung masakan Indonesia. Nama restorannya: Bali.
Masyarakat sekitar, para langganan, sellu mengatakan cucu Ami itu orang Bali. Bukan orang Indonesia. Dan yang bersangkutan tak peduli. Mau disebut apa juga biarin, katanya, asal makan di restoranku.
Pada suatu kali Ami dan Amat mengunjungi anak itu.
Apakah kamu tidak sadar bahwa kamu ini orang Bali, tanya Ami.
Anak itu menggeleng. Tidak.
Kalau begitu kamu benar-benar orang Bali.
Anak itu tetap menggeleng, sekarang tidak mengerti.
Kamu bingung, mengapa kamu kami sebut orang Bali?
Ya
Karena kamu orang Bali.
Anak itu tersenyum. Aku tidak peduli, katanya. Tidak ada yang berubah aku disebut orang Bali atau bukan. Tidak ada yang harus dibantah atau disetujui.
Ami menggeleng. Kamu keliru. Dengan menyebut kamu sebagai orang Bali atau dengan menyadari diri kamu sebagai orang Bali, kamu akan ikut mengusung Bali ke masa depan.
Anak itu tertawa. Aku tinggal di Belgia. Aku tidak peduli.
Ami mengangguk. Dengan menyatakan tidak peduli, kamu juga sudah ikut mengusung Bali ke masa depan.
Jakarta. 30 -7-03
No comments:
Post a Comment