Monday, October 3, 2011

Bom Lagi!

Saya ingat ketika itu Goenawan Mohammad menulis tentang seorang perempuan Malaysia yang ingin memeluk agama Hindu, tapi lahir dari ayah beragama Islam. Ia memberi judul "Murtad" pada kolom tetapnya di MBM Tempo. Ia berkeyakinan bahwa seseorang tidak boleh dihalangi untuk menganut agama-agama manapun yang menjadi keyakinannya. Semua tentu setuju, 'kan?

Lalu, di satu paragraf, ia menulis begini:

Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tau dalam agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada keburukan yang ada dalam agama saya.(Mohammad, 2007)
Ah, saya memang bukan ahli agama. Tapi kalimat itu yang betul-betul ingin saya sampaikan pada orang-orang mengenai agama saya. Saya tahu ini mungkin bukan masalah besar, membahas-bahas agama. Tapi bagi beberapa atau, mungkin, banyak orang, hal ini menjadi begitu penting.

Minggu (25/7), saya bangun agak siang, kemudian cek linimasa dan dari situ saya tahu kalau ada pengeboman di sebuah gereja di Kepunton, Solo. Pengeboman terjadi ketika gereja sedang ramai karena umat Kristiani sedang menjalankan ibadahnya. Dhuaarrr dan bom itu menewaskan si pembawa bom. Korban lain adalah puluhan jemaat gereja yang mengalami luka-luka.

Sebal sekali tentu mendengar berita seperti itu. Di Indonesia, bom yang sengaja diledakkan di rumah ibadah memang bukan yang pertama kali. Sudah terjadi beberapa kali dan kerap kali yang diserang adalah tempat ibadah umat Kristiani. Sampai sekarang, argumen yang paling sering digunakan oleh para pengebom adalah jihad. Dan sampai saat ini, saya masih tidak mengerti dimana letak jihad ketika itu melukai orang yang sedang beribadah? Apapun namanya, tentu menyakiti orang adalah salah bukan? Menyakiti hati misalnya. Haha. Gini deh, orang yang melindungi diri saja tetap mendapatkan hukuman ketika ia melukai orang lain yang menyerangnya.

Bahagia Dua


In previous post, I quoted a quote from Kung Fu Panda 2. Then she asked me how I defined happiness. Oh dear, this could be my second post about happiness, but still, I do not know about it, am not a master in that field. I just knew, since a long time, that happiness is a state of mind. Simple yet so complicated. Kadangkala, sesuatu yang sederhana itu malah bisa terlalu rumit. 

Seorang teman pernah berkicau melalui akun Twitter-nya. Ia bilang, saat hidup semakin rumit dan kompleks, kebahagiaan datang dalam bentuk yang semakin sederhana. Pernyataan yang membahagiakan, bagi saya. Bayangkan saja, betapa orang yang setelah dioperasi, akan begitu bahagia ketika ia berhasil kentut, yang kadang membuat orang lain tidak bahagia. Atau betapa orang yang sedang kangen setengah mati, akan bahagia ketika sekedar dikirimi pesan singkat atau mention melalui Twitter. Ketika sedang lapar berat, lalu menemukan makanan. Sesederhana itu mungkin. Tapi ya bukan berarti harus membuat hidup serumit itu untuk meraih bahagia. 

Ada beberapa waktu yang membuat saya begitu bahagia, begitu bungah dan kadang saya terlambat menyadarinya. Setelah lewat masa, baru saya sadar bahwa saya bahagia dengan momen yang telah lalu itu. Bahagia dan bukan sekedar senang. Salah satunya adalah ketika berkumpul dengan kawan-kawan saya. Sekedar ngobrol –ngobrol santai, dengan berbagai macam cemilan dan minuman dingin. Dengan celetukan-celetukan nggak penting yang kocak hingga mata ingin terpejam tapi masih saja ingin saling mengomentari di ruangan yang sesak dengan asap rokok. Tidak melulu harus berlibur di tempat yang jauh, resor yang mewah, dan dengan makanan yang mahal. 

Atau ketika melihat wajah teman-teman saya ketika saya berdiri untuk dua yudisium kemarin itu. Di tengah degup jantung yang berdetak terlalu cepat dan tidak bisa saya kendalikan, saya merasa bahagia bahwa ada wajah-wajah yang saya kenal di ruangan itu. Raut mereka yang ceria, beberapa juga ikut panik, membuat saya yakin bahwa apapun hasilnya saat itu, saya tidak akan limbung sendirian. Kebahagiaan muncul di kali lain, melihat polah sepupu kecil yang bisa berhenti dari nangisnya karena sepotong semangka. Atau dibawakan makanan kegemaran oleh Ibu, ketika saya tidak memesannya. 

Berapa kali kita merasa senang dalam hidup? Dan berapa kali pula kita merasa bahagia sepanjang perjalanan hidup yang tidak terlalu singkat ini? Dicari ke tempat yang paling jauh di ujung dunia pun, bahagia adalah sangat lekat dan dekat, bukan? It’s all about a state of mind and how you manage your feeling, if I can conclude it. Is it? Kadangkala, mungkin manusia perlu sesuatu yang menantang sehingga apapun dibikin rumit dan banyak ‘tapi’. Pun demikian dengan bahagia, ia butuh berapa banyak penyangkalan dan menuntut yang lebih dari yang didapatnya. Padahal sejatinya, si bahagia itu sudah ada sejak awal ketika ia mendapatkan sesuatu itu.

Ah, mari banyak-banyak bersyukur saja. :D

Oh iya, previous post about happiness-nya ada di sini.:D

Saturday, October 1, 2011

Luka


Luka (Sutardji Calzoum Bachri)

Ha ha


Sudah, cukup sebaris saja rupanya Sutardji sampaikan puisinya, jika bisa dibilang begitu. Tapi ah, memang begitu, ia penyair, puisi adalah salah satu produknya. Sudah tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam merangkai kata menjadi puisi. Dan rupanya, Seno Gumira kerap kali mengutip puisi ini. Membekas rupanya. 

Suatu kali, saya bertemu Seno Gumira di kampus saya. Waktu itu sedang ada diskusi tentang buku Nagabumi yang ditulisnya. Ketika sampai ke sesi pemberian hadiah, ia tanyakan itu pada peserta. Bagaimana isi puisi Luka karya Sutardji, yang menjawab benar sepantasnya akan mendapat hadiah. Tapi, ternyata tidak ada yang berhak. Dan kali kedua, saya sedang membaca pengantar yang ditulis Seno Gumira untuk bukunya sendiri, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Ia menuliskan tentang puisi itu lagi. Mungkin Seno gandrung pada puisi itu. Ia selalu menekankan bahwa dari satu puisi pendek, yang selesai dibaca empat detik, bisa muncul berbagai interpretasi. 

Saya juga tidak bisa mengira-ngira, apa maksud Sutardji dengan puisi yang demikian pendek. Belum lagi antara judul dan isinya yang begitu ironis. Apakah ia sedang merasakan luka yang begitu pedih, sehingga tidak sanggup lagi menangis dan hanya bisa tertawa getir? Ataukah ia memang menganggap semua luka adalah komedi, penghibur hati? Ataukah ia mau bilang kalau hal yang lucu pun bisa menjadi luka? Atau sebenarnya tawa adalah luka? Ah. Apa pula yang terjadi pada ia ketika ia sengaja atau tidak sengaja merampungkan puisi satu baris itu? Atau energi dan inspirasinya habis tepat setelah menulis ha-ha itu? Ah. 

Mengenai luka, saya jadi mengingat kutipan dari Kung Fu Panda 2. Alkisah, keluarga Po dihilangkan oleh Shen, si merak kemaruk. Namun nyatanya, Po tetap bisa menguasai 'ilmu' inner peace yang diajarkan oleh Master Shifu di atas semua luka yang ia rasa.

Shen : How did you find peace? I took away your parents, everything, I scarred you for life...
Po    : See that's the thing, Shen, scars heal.
Shen : No they don't... *wounds* heal.
Po    : Oh, yeah... what do scars do? They fade, I guess...
Shen : I don't care what scars do...!
Po    : You should, Shen. You got to let go of the stuff from past - because it just doesn't   matter! The only thing that matters is what you choose to be now. 

So, how to heal the scars? Or wounds? Or maybe that's true, like the wise men said, time heals all wounds?

 Bandung, Le Septembre 2011