Friday, March 15, 2013

Harus Hilang


I postpone death by living, by suffering, by error, by risking, by giving, by losing. (Anaïs Nin)

Sudah berapa kali kamu mengalami kehilangan? Jepit rambut, uang, telepon genggam, kartu ATM, dompet, tas, komputer jinjing, buku, baju, sepatu, dan bahkan, seseorang. Saya sudah mengalami semuanya. Bagus! Jadi, harusnya sudah terbiasa dengan kehilangan dan tak sedih-sedih amat ketika mengalaminya kembali. Tapi apa memang jadi seperti itu? Apakah jadi numb ketika benda-benda itu tercecer atau orang-orang itu lenyap untuk ke sekian kalinya? Tidak, sama sekali tidak.

 Tetap saja ada sesal dan kesal dalam diri mengapa tidak menjaganya baik-baik, mengapa tidak sempat melihat atau mengucapkan kata-kata perpisahan yang pantas untuk terakhir kalinya? Sounds pathetic? Memang. Apalagi bagi saya terbiasa mengucapkan ‘terima kasih’ (dalam hati, tentunya) untuk barang-barang yang sering saya gunakan, terutama yang over abused. Haha. Oh, dan satu lagi, apalagi kalau barang itu mahal dan tak bisa dibeli semudah menjentikkan jari. Tak bakal nangis-nangis dan peluk-peluk pohon sih tapi rasa dongkol itu yang tak gampang dihilangkan. Antara mengutuki keteledoran diri, mengambinghitamkan ketidakberuntungan, atau menyalahkan diri sendiri tanpa sebab. Apa memang separah itu? Kadang-kadang begitu, saya akui. Yang seringnya lagi, kita tak menyadari di mana hilangnya benda-benda tersebut, diingat-ingat seberapa keras pun tetap tak ingat. Tak juga tahu bagaimana proses hilangnya (jangan ada yang bilang: kalau tahu prosesnya, maka bukan hilang namanya. Zzz.). Dan itulah yang dikatakan teman saya semalam, “Iya, hal yang paling buruk dari kehilangan adalah kamu nggak tahu apa yang terjadi.”

 Sebenarnya, saya juga tak posesif-posesif amat pada barang-barang yang saya miliki. Atau justru seharusnya malah posesif? Tapi kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya perlakuan Ryan Bingham di Up in The Air. Ia bekerja untuk memecat orang, tanpa hati, tanpa pikir panjang, dan hanya menjalankan pesanan dari perusahaan yang tak sampai hati merumahkan pegawainya. Intinya, lelaki tampan yang diperankan oleh George Clooney itu bilang, tak perlulah kita merasa punya intimasi atau rasa memiliki pada benda-benda dan orang-orang di sekitar kita. Agar pundak tetap terasa ringan, tak ada pengikat, dan langkah pun jadi ringan. Hilang satu tentu tak masalah, tak bakal ada kesedihan karena perasaan kosong yang terbawa pergi bersama orang atau benda itu. Ah.

Mau berlaku seperti itu? Tapi akhirnya, ia pun merasa ada sesuatu yang kosong dan harus diisi dengan perasaan memiliki atas benda atau orang. Seperti itulah lebih kurang.

 Jadi, bagaimana? Sudahlah, sepertinya memang selalu harus ada rasa yang hilang bersamaan dengan kehilangan atas sesuatu. Meski sedikit. Meski hanya sepersejuta persen. Deal with it.


Jakarta, le 15 Mars 2013




Tuesday, March 12, 2013

TAKK!*


Anggap saja aku yang sedang menunduk itu. Hihi.

Sudah sedari lama saya tahu kalau saya tak boleh mengandalkan orang lain. Hanya bisa mengandalkan diri yang teledor ini dan, bahkan, ada kalanya orang tua pun tak bisa diandalkan. Apalagi mereka pula yang mengajarkan agar saya tak mengandalkan orang lain dan berdikari. Tapi sialnya, selalu ada kejadian tak diinginkan yang bikin saya merepotkan orang lain. Tak sering memang, tapi cukup bikin saya malu hati karena bikin mereka ikut susah. Hehe. Namun, dari situ justru saya sering disadarkan kalau saya punya teman-teman baik yang masih menganggap saya teman dan mau direpotkan. Ya, minimal satu atau dua di antaranya. Di balik sikap dan sifat yang kadang mengesalkan, pertemanan yang lebih dari lima tahun ini sudah teruji dengan segala kebaikan mereka yang sering tak terduga. 

1.
Tergesa di bandara yang jauh sekali dari rumah. Butuh uang mendadak dalam jumlah lumayan. Terburu waktu. Tak kenal siapapun di sana. Untung ada wi-fi dan e-mail, jadi bisa menghubungi si wartawan ekonomi yang banyak tanya. Dia transfer beberapa menit kemudia. Dan berkat dia, saya bisa pulang. Dan begitu sampai, ada teman yang bersedia menjemput meski ia sedang letih setelah ini itu.

2.
Baru ngeh kalau dompet tak dibawa. Pulang ke kosan untuk mengecek. Ternyata nihil! Pulsa tinggal Rp500. Minta tolong teman untuk menghubungi café yang didatangi semalam. Lalu minta isikan pulsa supaya bisa menelepon sana sini. Dua detik kemudian, pulsa bertambah dalam nominal yang lumayan. 

3.
Sudah pasti dompet hilang. Uang di kantong hanya Rp12.000 karena dipakai pulang ke kosan untuk mengecek keberadaan si benda kecil berwarna gelap itu dan ke salah satu mall yang didatangi malam sebelumnya karena berasumsi kalau si dompet tertinggal di sana. Salah besar. Menghubungi teman. Yang satu sedang terjebak di rumah pacarnya, yang satu sedang diburu proposal, dan yang satu bilang akan segera datang dengan sejumlah uang. Akhirnya bisa makan pagi, siang, dan malam. Amin.

4.
Ditransfer pulsa Rp5.000 pukul 2 pagi oleh si wartawan yang nggak pernah ganti baju karena setiap bertemu pakaian yang melekat di badannya selalu sama. Lalu bisa langganan internet bulanan lagi. 

5. 
Lupa ambil uang di malam sebelumnya, padahal besok giliran bayar taksi. Untung ada teman sekantor yang mau membayari dulu. Sampai kantor dengan segar bugar, tak harus jalan kaki atau ngesot.


Daftar masih panjang dan tak selalu tentang uang. Terlalu panjang jika dijabarkan satu-persatu. Tapi pasti akan diingat selalu. Pasti. Terima kasih banyak sekali, teman-teman. Ternyata ada gunanya berteman dengan kalian, meski banyak juga hal menyebalkan yang terjadi bersama kalian. Haha. Tapi seringnya hal menyebalkan itu tereliminasi dengan hal baik yang tak dapat dirunut satu-persatu. Astaga! 

Aku terharu. :')

*Takk (Islandia): Terima kasih.

Jakarta, le 12 Mars 2013


Monday, March 4, 2013

Zzz


Mleduk!

 
Di masa anjungan tunai mandiri (ATM) sedang ramai-ramainya, seorang perempuan melakukan transaksi. Satu menit, dua menit, saya tergelitik untuk mengintip. Oh, ternyata sedang transfer, pantas lama. Bukti transaksi sudah tercetak dan dia masih menghadap mesin ATM itu. Oh, mungkin akan mengambil uang, pikir saya. Satu menit, dua menit, ia tak segera beranjak, tangannya masih sibuk memencet-mencet tombol di mesin itu. Ternyata, ia mengirim uang untuk kedua kalinya. Sigh. Padahal antrian makin mengular, tak hanya saya yang berdiri menunggu di belakangnya.

Di hari setelahnya, saya berencana kembali mengambil uang (boros!). Sialnya, itu adalah jam makan siang yang ramai. Tapi ya, apa boleh buat, saya butuh uang untuk juga makan siang. Di depan saya, seorang perempuan sedang melakukan transaksi. Hingga mesin mengeluarkan bebunyian, ia tak kunjung mengambil kartunya. Padahal di menu penarikan cepat, kartu harus ditarik dulu, baru mesin itu dengan senang hati akan menyerahkan sejumlah uang seperti yang Anda kehendaki. Ia panik. Saya salah karena tak beri ia petunjuk apa-apa sebab seharusnya di layar ATM akan tertulis peringatan untuk mengambil kartu. Ia akhirnya bertanya pada satpam dan dijawab, “Ambil dulu kartunya, Mbak.” Ia malu, ambil kartu, dan ambil uang. Sejeda dua hingga tiga puluh detik, ia tak beranjak padahal transaksinya telah selesai. “Mbak, sudah selesai, ya?” ujar saya yang sudah mau pingsan kelaparan. “Belum, satu lagi,” balas perempuan itu. Rupanya ia masih sibuk dengan dompetnya, merapikan uang yang telah diambilnya, dan mencari-cari kartu ATM lainnya. Lalu, ia sepertinya hanya mengecek saldo (yang ini bukan mengintip, tapi memang tak ada bukti transaksi yang keluar) dan baru selesai setelah di belakang saya ada sekitar empat atau lima orang yang juga mengantri. Padahal, ketika saya berada di belakangnya, hanya ada dua orang yang mengantri.

Di kantor saya, ada berbagai mesin ATM dari bermacam-macam bank, yang paling banyak adalah milik Bank Central Asia. Ada dua di depan kantor cabang bank tersebut dan dua mesin di depan, dekat pintu keluar gedung. Dari dua mesin di depan itu, salah satunya adalah mesin nontunai. Jelas ada sebabnya mesin itu diletakkan di sana, kan? Atau memang tak berasa ketika orang lain yang mengantrinya semakin banyak? Atau memang tak peduli?

Zzz.

Jakarta, le 4 Mars 2013