I postpone death by living, by suffering, by error, by risking, by giving, by losing. (Anaïs Nin)
Sudah berapa kali kamu mengalami kehilangan? Jepit rambut, uang, telepon genggam, kartu ATM, dompet, tas, komputer jinjing, buku, baju, sepatu, dan bahkan, seseorang. Saya sudah mengalami semuanya. Bagus! Jadi, harusnya sudah terbiasa dengan kehilangan dan tak sedih-sedih amat ketika mengalaminya kembali. Tapi apa memang jadi seperti itu? Apakah jadi numb ketika benda-benda itu tercecer atau orang-orang itu lenyap untuk ke sekian kalinya? Tidak, sama sekali tidak.
Tetap saja ada sesal dan kesal dalam diri mengapa tidak menjaganya baik-baik, mengapa tidak sempat melihat atau mengucapkan kata-kata perpisahan yang pantas untuk terakhir kalinya? Sounds pathetic? Memang. Apalagi bagi saya terbiasa mengucapkan ‘terima kasih’ (dalam hati, tentunya) untuk barang-barang yang sering saya gunakan, terutama yang over abused. Haha. Oh, dan satu lagi, apalagi kalau barang itu mahal dan tak bisa dibeli semudah menjentikkan jari. Tak bakal nangis-nangis dan peluk-peluk pohon sih tapi rasa dongkol itu yang tak gampang dihilangkan. Antara mengutuki keteledoran diri, mengambinghitamkan ketidakberuntungan, atau menyalahkan diri sendiri tanpa sebab. Apa memang separah itu? Kadang-kadang begitu, saya akui. Yang seringnya lagi, kita tak menyadari di mana hilangnya benda-benda tersebut, diingat-ingat seberapa keras pun tetap tak ingat. Tak juga tahu bagaimana proses hilangnya (jangan ada yang bilang: kalau tahu prosesnya, maka bukan hilang namanya. Zzz.). Dan itulah yang dikatakan teman saya semalam, “Iya, hal yang paling buruk dari kehilangan adalah kamu nggak tahu apa yang terjadi.”
Sebenarnya, saya juga tak posesif-posesif amat pada barang-barang yang saya miliki. Atau justru seharusnya malah posesif? Tapi kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya perlakuan Ryan Bingham di Up in The Air. Ia bekerja untuk memecat orang, tanpa hati, tanpa pikir panjang, dan hanya menjalankan pesanan dari perusahaan yang tak sampai hati merumahkan pegawainya. Intinya, lelaki tampan yang diperankan oleh George Clooney itu bilang, tak perlulah kita merasa punya intimasi atau rasa memiliki pada benda-benda dan orang-orang di sekitar kita. Agar pundak tetap terasa ringan, tak ada pengikat, dan langkah pun jadi ringan. Hilang satu tentu tak masalah, tak bakal ada kesedihan karena perasaan kosong yang terbawa pergi bersama orang atau benda itu. Ah.
Mau berlaku seperti itu? Tapi akhirnya, ia pun merasa ada sesuatu yang kosong dan harus diisi dengan perasaan memiliki atas benda atau orang. Seperti itulah lebih kurang.
Jadi, bagaimana? Sudahlah, sepertinya memang selalu harus ada rasa yang hilang bersamaan dengan kehilangan atas sesuatu. Meski sedikit. Meski hanya sepersejuta persen. Deal with it.
Jakarta, le 15 Mars 2013