Wednesday, July 28, 2010

Jadi Gimana?


Perbincangan bersama beberapa teman, yang mengeluhkan teman yang lain, adalah hal yang rutin dilakukan. Sudah menjadi kebiasaan, seperti itu rupanya. Bergunjing? Bisa dibilang begitu. Daripada disimpan saja dalam hati dan mengerak tak selesai. Lebih baik membaginya dengan teman-teman yang bisa mengerti. Tapi, ya pilih-pilih teman juga untuk bercerita. *anggapan yang keliru, tentunya. :p

Perbincangan mengenai beberapa orang tidak akan ada habisnya. Kadang pembicaraan itu mengenai kebaikan hati, tapi yang sering malah mengenai kekesalan tentang seseorang, yang seperti tak habis-habis. Beragam sifat dan cara pikir masing-masing orang, menjadikan acapkali ada perbenturan. Hingga terkadang bingung sendiri bagaimana sifat dan cara pikir si orang tersebut. Yang kadang, tak masuk di akal saya. Entah kapasitas otak saya yang terlalu kecil atau saya terlalu bebal untuk menerima perbedaan. Atau bisa jadi malah karena alasan yang terakhir, memang orang-orang itulah yang “aneh” dengan cara pandang yang “aneh”. Bolehkah membeli label demikian? Bung Johnny Depp yang aktingnya ciamik itu pernah bilang, “I am doing things that are true to me, the only thing u have a problem is being labeled.”

Ah, interpretasikan saja sendiri ya..

Jika mulut telah sampai berbusa membicarakan kelakuan yang aneh-aneh, tidak jarang malah menjadi beban pikiran. Mengapa demikian? Yang pertama karena memikirkan kenapa ada orang yang berpikir demikian dan memiliki polah demikian. Yang kedua, bagaimana jika polah tersebut merugikan orang lain dan merugikan orang lain? Yang ketiga, yang paling penting, adalah am I one of them? Ketiga hal tersebut memang tidak penting, bisa dibilang begitu. Fungsinya hanya satu, memacu otak supaya berpikir: berpikir tidak penting dan lama-lama malah menjadi beban pikiran. Hahaha. Aneh.

Selama ini, saya berusaha menjadi orang yang apa adanya. Walaupun pada suatu ketika saya dipaksa menjadi orang baik. Tapi toh paksaan itu, seringnya, berasal dari dalam diri saya. Jadi tidak masalah, saya kira. Jadi, saya tetap berupaya menjadi saya.

Nah, masalahnya adalah apakah perilaku-perilaku saya selama ini, ketika saya sedang menjadi saya, merugikan orang lain? Adakah mereka yang di belakang sana, yang tidak terlihar dan tidak tertangkap di radar mata saya, memperbincangkan laku saya, yang mungkin juga menurut mereka adalah hal yang aneh dan di luar batas kewajaran? Apakah mereka menjadikan saya objek yang demikian hingga mengisi pertemuan dan perbincangan mereka, misalnya in negative way. Oh God, memikirkan satu orang yang demikian saja terasa cukup membingungkan.

Tapi ya apa mau dikata, agak tidak mungkin kalau tidak ada satu orang pun yang membenci saya. Bencinya tidak sampai ke ubun-ubun memang, tapi cukup saja dia tidak menyukai polah saya, setitik pun. Tidak bisa juga kita memaksakan semua orang untuk menyukai semua tingkah polah saya. If you’re too blind to see what is wrong with me, maybe you’re deeply in love with me. Hahaha.

Oh, saya jadi ingat ketika masih SMA (baca: masih muda). Setiap hari ada giliran muhasabah. Jadi setiap hari kami diberi kertas kosong berukuran kecil. Setiap hari pula, diundi siapa yang akan kena giliran muhasabah. Kemudian di kertas kosong itu boleh ditulis apa yang disuka dan tidak disuka dari teman yang sedang kena giliran muhasabah. Memang sih, tidak disebutkan siapa yang sebal dengan siapa atau siapa suka dengan senyum manis siapa. Tapi, itu kan teman sekelas, mudah sekali dilacaknya. *tapi nggak penting juga dilacak. Yang penting, tahu apa yang negatif dan positif dari diri saya.* Itu menyenangkan, mengetahui respon orang-orang. Kadang senang karena dipuji, kadang gondok setengah mati karena banyak juga yang jawabannya asal. Atau merasa sedih dan berpikir tak henti jika ada yang bilang sebal. Saya pernah dapat, beberapa masih saya simpan.

Dengan segala kerendahan hati, saya minta maaf jika ada yang tidak suka pada tingkah polah saya selama ini. Dan berikanlah pencerahan, apa yang kamu tidak suka pada saya dan bagaimana saya harus mengurangi atau menghilangkannya? :D

Tulus loh saya bilang begitu. Tapi kalau boleh tetap munafik, supaya tetap terasa Indonesianya, saya mungkin juga punya standar ganda. Untuk beberapa orang, I know that you hate me and I let you to do that. Because, vice versa. I hate you too, darling. Hahaha. Maksudnya, bisa jadi saya benci apa yang kamu lakukan dan saya diam saja, kadang saya hanya harus berjarak dengan kamu. Seperti begitu.

Yang pasti dalam doa, saya selalu berucap bahwa saya tidak ingin menjadi The Hater. I want a be a lover, tapi masalahnya tidak selalu berhasil. Saya akui itu. Boleh juga saya sadari bahwa selama ini, selama saya apa adanya, selama saya baik, berusaha menjadi baik, ataupun buruk, I am not everybody’s sweetheart. If you get what I’m trying to say.

Yang penting sih, kalau saya suka dengan yang pasti-pasti. Kalau kata Coldplay, if you love me, won’t you let me know? So does with the hate. If you hate me, won’t you let me know? Fair enough kan?

So, what’s your decision about me? :D


image from: www.dreamstime.com

Wednesday, July 7, 2010

ERK Without Adrian

Sebenarnya, cerita ini cerita basi. Sudah lama sekali adanya. Bulan lalu, Annelis, Betok, Memet, dan tentunya saya menyempatkan diri menonton pertunjukkan salah satu band favorit kami. Nama band-nya Efek Rumah Kaca. I bet you know this band.

***

Perkenalan saya dengan band ini dimulai dari seorang teman. Saya lupa siapa yang memberi dengar saya lagu-lagu mereka. Belum lagi akses internet luas tanpa batas yang kemudian membuat saya mendapat banyak informasi tentang mereka-mereka ini. Pernah juga menemani beberapa teman mewawancarai mereka. Lagu-lagu mereka pun menghiasi playlist saya.

Perkenalan yang membuahkan impresi baik kemudian membuat saya tertarik untuk menonton performa band yang beranggotakan tiga orang tersebut. Bersama teman-teman, saya mendatangi satu-persatu gig dimana mereka menjadi pengisi acaranya. Kami kejar saja itu acara berbayar murah, kalau gratis kami lebih semangat. Hahaha. Namanya juga mahasiswa. Hampir setiap mereka manggung di Bandung, kalau tidak ada acara yang lebih penting, maka kami sempatkan datang. Mulai dari saling tebak baju apa yang dipake Cholil, sang vokalis. Atau tebak-menebak lagu-lagu yang akan mereka bawakan. Atau bahkan sing along, tidak hanya liriknya yang kami nyanyikan, bahkan vokal latar yang kadang berbeda dengan lagu-lagu pada umumnya. Sambil lihat ekspresi sang bassist, Adrian, membawakan vokal latar tersebut.

***

Kemudian datanglah kabar dari @efekrumahkaca pada bulan lalu. Mereka mengabarkan akan lagi manggung di Bandung. Kabar tersebut disertai keterangan bahwa pertunjukkan tersebut akan menjadi pertunjukkan terakhir ERK di Bandung. Setelah itu, mereka hanya akan fokus melayani tawaran manggung di Jakarta. HELL? Mengapa mereka tega melakukan hal tersebut? *maaf lebay. Biar nggak ngantuk.* Rupa-rupanya mereka membatasi jadwal manggung di luar kota karena sedang fokus pada pengobatan Adrian, si bassist cum backing vocal.

Maka, pada Juni lalu, tanggal 6 kalau tidak salah, kami menyempatkan datang ke PVJ untuk melihat penampilan terakhir mereka di Bandung. Tumben teman-teman saya yang datang kala itu sedikit. Karena memang cuaca sedang tidak bersahabat, hujan terus-menerus sejak pagi. Ketika hujan sedikit reda langsung saja tancap boooiiii..

Menunggu beberapa jeda dan penampilan mereka pun dimulai. Dan guess what? Nggak ada Adrian dong. ia digantikan oleh salah satu 'stafnya' ERK. Kami kira, ungkapan ‘acara terakhir sebelum kami fokus pada penyembuhan Adrian’ itu merujuk pada satu penampilan dimana Adrian akan muncul terakhir kalinya di Bandung. Sedikit kecewa. Tapi ya sudahlah, mari nikmati saja. Kami sing along seperti biasa. Teriak-teriak nggak puguh. Melepaskan beban usmas sedikit. *tetep curcol belom usmas. Hehe*

fotonya diambil dari sini

Di tengah-tengah pertunjukkan, kami rasa ada yang aneh. Dan demikian pula dikata Akbar, sang drummer. Ia yang menggantikan posisi Adrian sebagai backing vokal dan, maka itu pula, ia merasa aneh dengan polah itu. Ia bilang, timbre suaranya berbeda dengan Adrian yang agak berat, maka beberapa vokal latar menjadi aneh jika dia yang menyanyikannya. Ada lagu-lagu tertentu yang hanya bisa dijiwai oleh Adrian, dipandang dari sisi vokal dan ekspresi wajah. *tampak ilmiah.* You should listen their song and you’ll know which part when Adrian became a backing vocal. His face always show some effort to produce the right sounds. Hehe. Kocak ngeliatnya. The ambiance of the song jadi berbeda jika dilatari dengan vokal Akbar dan memang sepertinya hanya pas jika dilakukan oleh Adrian.

Rupa-rupanya pengobatan seperti apa yang sedang dilakukan Adrian sehingga mengharuskannya istirahat dari manggung? Nggak taulah, cuma dokter, dia sendiri, dan Bunda Dorce yang tahu. *tepok jidat*.

Salah satu lagu yang dibuat oleh Adrian bertajuk “Sebelah Mata”. Ceritanya tentang orang yang hidup dengan sebelah matanya saja. Nah, usut punya usut, lagu ini didasarkan pada kisah pribadinya. Yaps, selama ini hanya sebelah matanya saja yang berfungsi normal. Sebelah lagi, kemampuan melihatnya sangat terbatas.

Beberapa lama lalu, @efekrumahkaca mengatakan bahwa Adrian menderita Retinitis Pigmentosa yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit tersebut berdasrkan diagnosis dokter-dokter di Indonesia. Berdasarkan keterangan Om Wiki, Retinitis Pigmentosa adalah penyakit genetis yang salah satu gejalanya berkurangnya daya penglihatan di malam hari dan dapat menyebabkan kebutaan.

Namun, cukup lama berselang, di catatan perjalanan Efek Rumah Kaca ketika tour ke negeri jiran Singapura dan Malaysia pada Maret lalu, diagnosa tersebut diralat. Menurut dokter-dokter di Singapura, masalah penglihatan yang dialami Adrian adalah inflammation atau terdapat virus/bakteri di darah dan tidak bekerjanya aliran darah ke mata. Dan berdasarkan catatan perjalanan itu pula, penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan beberapa perawatan.

I have no idea sih yang mana yang bener. Yang penting sih semoga Adrian bisa cepet sembuh dan manggung lagi dan bisa dipertemukan dengan Hilman. Oemji, mereka berdua mirip. Setuju kan temen-temen? Plis setujuuuuuu… :D :D


Bandung, le 6 Juillet 2010

Tuesday, July 6, 2010

L'APPARTEMANT de 1505

Ada hal-hal yang sebaiknya memang dibiarkan mengambang saja. Tidak usah diungkapkan lewat tulisan, pun diejawantahkan melalui lisan. Cukup demikian saja, diposisikan seperti pelampung yang mengapung mengambang di kolam renang, yang kedalamannya bahkan kau tak tahu seberapa benar.

**

Mengapa aku lalu bisa berkata demikian? Bukankah harusnya aku senang semua rasaku telah termuntahkan pada sasaran yang tepat? Bukankah kejadian semalam, yang terjadi hanya sekejap saja, dan mungkin telah kurencanakan berjuta-juta detik dan selaksa waktu dalam lelah hidupku, adalah yang ada aku inginkan? Bukankah yang peristiwa malam tadi adalah semua yang pernah ada dalam pagar mimpiku, yang karenanya aku tersedu menangis bahkan ketika aku tidak menyadarinya? Bukankah begitu?

Tadi malam itu, di sebuah kafe yang tidak terlalu mahal, disertai segelas es cokelat yang juga tidak terlalu mahal, aku bertemu dengan dia. Entah untuk keberapa kalinya? Sejelas-jelasnya, ini bukan kali pertama. Karena di kali pertama yang lalu itu, aku bertemu dengannya bersama rasa yang sama sekali ringan, tidak ada secuil pun rasa yang membelenggu. Dan kali ini, seperti juga seperti pertemuan kedua kami, aku membawa rasa yang begitu berat dan tak tahu apa namanya.

Sepulang dari pertemuan kedua itu, dimana aku juga memesan es cokelat untuk teman mengobrol kami, telah kurencanakan semua yang terjadi malam tadi itu. Rencana yang berubah-ubah seiring adanya pertemuan ketiga-keempat-kelima-keenam-ketujuh-keseratus-keseribu-dan hingga aku hilang hitungan.

Setelah rangkaian yang demikian merantai itu, aku janjikan pada diriku bahwa akan ada saatnya aku berbicara seserius hukum Fisika untuk membicarakan semua rasa yang ada pada aku. Seserius campuran kimia yang mungkin salah takaran. Aku janjikan itu. Dan mungkin memang benar tadi malam adalah masa yang setepatnya. Dan kini, aku gamang, justru karena janjiku yang telah terucap.

***

Mengingat segelas es cokelat yang kusedot dikit demi sedikit itu juga membuat hatiku perih karena ia lama-lama habis. Dan mengingat ia, yang bersamaku semalam, juga membuatku sedih karena ia lama-lama hilang. Ironisnya, aku sadari itu, sejak pertemuan kedua kami.

Maka pagi ini, berselang berapa waktu atas pertemuan yang samar itu, aku rebahkan diriku saja di kasur dengan kenyamanan tingkat tinggi ini. Aku ingin bergelung saja dengan selimut yang menghangatkanku hingga aku merasakan aman. Sedikit saja kubuka mata untuk melihat jam di dinding kamarku yang sudah kusam. Warnanya kumaksudkan jingga, sebagai hasil googling. Katanya warna yang jingga itu berikan semangat yang menyala di setiap hariku.

Inginnya aku tidak mengingat kejadian semalam itu. Ketika aku duduk berhadapan dengannya dan menceritakan kehidupan kami masing-masing, yang semakin lama semakin kabur dengan idealisme yang kami miliki dahulu. Perbincangan dengannya menjadi suatu perbicangan yang kutunggu di setiap waktuku. Berbincang dengannya bisa memakan waktu berjam-jam dengan jeda sunyi yang bisa dimaafkan tapi tetap menyenangkan.

Tapi ketika aku bangun dari tidur semalam itu, semuanya seperti film yang diputar mundur. Seperti aku bisa mengingat semua percakapan kami sejak detik pertama kami bertemu. Detik berikutnya, di pagi yang cerah-ceria itu, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuka mata.

Untungnya hari ini aku tidak memiliki kewajiban apapun. Aku bebas menentukan apa yang kulakukan sepanjang hari. Dan yang kupilih adalah tidak melakukan apa-apa, selain bermain dengan pikiranku sendiri dan gulang-guling di kasur berseprai biru ini. Sesekali saja aku menuju kamar kecil dan mengambil air mineral di dapur super-mini di apartemenku ini. Beruntung perutku tidak lapar sama sekali, maka aku tidak perlu keluar dari kamar ini untuk membeli pengganjal perut.

Satu jam, dua jam, tiga jam, lima jam, delapan jam, dan hingga sore hari pun aku masih tidak keluar dari sangkarku yang senyap ini. Bahkan tidak ada celoteh bintang opera sabun dari televisi atau sejernih suara dari penyanyi kesukaanku. Aku tidak menyetel lagu riang, bahkan lagu sedih pun tak rela kunyalakan. Aku berdiam saja, berdamai dengan sepi, dan tentu berdamai dengan memori tadi malam.

***

Tadi malam, malam yang penuh dengan es coklat, adalah malam yang biasa saja sebenarnya. Menjadi tidak biasa ketika aku memintanya untuk mendengarkan aku berbicara, menyerocos tanpa henti, tanpa jeda, dan tanpa peduli.

Aku nggak tau apa yang ada di aku. Yang aku tahu ada hal-hal yang berubah, terutama di aku, sejak kita ketemu kedua kalinya. Kalau nggak salah waktu kita janjian di tempat minum kopi deket rumahku itu. Dan, ya aku nggak tau juga kenapa semuanya berubah di aku. Mungkin aku suka kamu. Maybe I’m falling in love with you. Mungkin aku sebel sama kamu. Aku juga nggak tau pasti. …”

Sejeda kemudian kuteruskan racauanku.

“Tenang aja, kamu nggak perlu bilang apa-apa. Kamu nggak berkewajiban untuk menjawab apa yang aku bilang sekarang ini. Yang pasti aku merasa nyaman sama kamu. Aku seneng cerita-cerita semua hal sama aku. Tapi beneran, kamu santai aja. Aku nggak maksain apa-apa. Aku sih ngarepnya kita bisa temenan aja kayak biasanya. Klise banget kan ya aku? Ya tapi gitu deh. ..”

Dia, yang duduk di seberangku, hanya terpaku. Mungkin ia kaget dengan segala yang aku katakan. Ia, mungkin, seperti aku sendiri, tidak pernah menyangka bahwa aku benar-benar bisa mengatakan hal yang demikian itu. Mata bulatnya seperti menyelidik, berusaha menggali apa yang sebenar-benarnya aku rasakan. Ia menebak-nebak seberapa jujur perkataanku barusan. Aku memandangnya sejenak, rambut, mata, kerah baju, hingga kaos berkerah warna berwarna biru tua yang sudah sering ia pakai. Aku sedetik terkesima dan kembali ke dunia nyata.

“Oke, aku mau pulang dulu. Kamu nggak usah anter aku nggak papa. Aku lagi pengen naik taksi aja. Hehe. Nanti kalau sudah sampai kamar, kamu kasih kabar ya. Salam buat si pacar. See you when I see you yaaa.. “

Aku tidak memberinya kesempatan untuk berbicara sepatah kata pun. Entah apa pula yang berada di pikirannya. Biar saja jika ia bilang aku agak aneh. Sudah selesai saja perjuangan menyusun kata sejak setriliun detik dan selaksa waktu itu. Sudah saja. Dan aku meraih jaket merah tebal kesayanganku yang tersampir di kursi sebelahku. Aku meletakkan uang sebesar dua gelas es cokelat yang kupesan. Dan demikian saja, aku berjalan keluar kafe yang masih ramai itu.

Penjaga apartemenku yang ramah itu masih di sana. Setia menunggu hingga pukul dua belas nanti. Kulemparkan senyum padanya dan tentu ia sampaikan senyumnya juga padaku. Ia perempuan yang baik. Hanya itu saja pikiranku tentangnya malam itu. Sisanya, ketika aku memilih menaiki tangga hingga sampai ke lantai dimana kamarku berada, kupenuhi pikirku dengan kejadian di kafe tadi. Perjalanan yang hanya lima menit, kukalikan tiga jadi lima belas menit.

Ternyata aku tidak tenang. Ternyata masih ada yang mengganjal di hatiku biarpun setelah semuanya terucapkan. Mungkin ini yang namanya penyesalan. Mungkin seharusnya aku tidak katakan apa-apa padanya.

Sampai di kamar, aku tidak berganti baju. Tidak mencuci muka dan tidak sikat gigi. Juga tidak minum air putih. Aku rasa lelah sekali dan langsung tertidur. Hingga pagi ini. Dan masih di kamar ini hingga sore ini. Bahkan jendela pun tidak kubuka barang seinchi. Aku kacau.

***

Aku masih mengulang kejadian di café itu dalam ingatanku hingga kusadari hariku telah beranjak malam. Harus ada yang kumakan, pikirku. Maka aku beranjak mencuci muka, menyikat gigi, dan menyisir rambut. Tak berjarak jauh dari apartemenku ada yang berjualan mie ayam yang enak sekali. Aku putuskan seporsi mie ayam pangsit yang akan mampir di perutku.

Kubuka pintu dan siapa ini yang menaruh satu toples kue kering di depan pintuku? Oh, mungkin tetangga baru. Betapa baiknya ia, seperti apa wujudnya ia? Apakah ia setampan pemain sepakbola dari Eropa yang kemarin kulihat posternya? Atau ia hanya wartawan yang berpakaian asal-asalan? Siapalah dia yang penting kue kering ini.

"castangel paling enak di dunia ini tentunya tidak gratis, malam minggu nanti bila tak ada acara, makan malamlah di kamarku. sekadar membuktikan bahwa setidaknya ada lima kue kering lagi yang mungkin lebih enak dari castangelku,

salam hangat, Kamar 1502.”

Kubaca pesan yang mengiringinya. Kubuka toples itu dan kucoba kue itu. Aku kembali ke kamar, melupakan sejenak tentang ia, tentang aku, tentang tadi malam, dan tentang mie ayam. Dan terus mengunyah kue yang enak itu.

Dengan suasana hati yang membaik, aku mengambil spidol, menulis berapa kata, dan menuju pintu kamar 1502.

"Undangan diterima dengan senang hati. Sampai berjumpa di suasana hati yang lebih baik. Terima kasih caastangel-nya. Makanan paling nikmat hari ini.

1505"


Bandung, le 5 Juillet 2010

C'est bizzare, l'histoire. :D



Cerita ini hanya satu dari sekian cerita dari seri L'Appartemant. Cerita lain dapat diakses di:

Selamat menikmati.. :D

Saturday, July 3, 2010

Pasar Balubur

Sudah dua hari ini, saya ikut ibu ke pasar. Tujuannya sih bukan bantuin belanja, tapi pengen liat suasana pasar yang baru. Pasar yang saya maksud adalah Pasar Balubur. Jaraknya sekitar seratus langkah dari kamar saya. Eh, bener nggak ya? Ya pokoknya nggak jauh deh dari rumah saya. Masih se-RW (rukun warga) sih kayaknya.

Pasar Balubur sebenarnya sudah ada sejak mammoth masih ada. (maaf ya, kalo nge-blog di pagi hari saya jadi garing. Nggak nyambung. Auk ah.. ). Jadi gini, Pasar Balubur sebenarnya sudah ada sejak saya masih dikandung ibu saya, atau mungkin jauh sebelum itu. Lokasinya di Taman Sari seberang Gedung Rektorat ITB. Walaupun ketika Pasar Balubur berdiri di tahun 1980-an tentu saja Gedung rektorat itu belum berdiri megah. Sekitar dua puluh tahun berlalu, si pasar masih nongkrong asik di situ.

Di landscape yang lama, berbagai tukang jualan di sana dan tentu saja ada pembelinya juga. (ya namanya juga pasar. Tuh kan, garing. Zzzz). Saya masih ingat dengan jelas posisi penjual-penjualnya. Karena in my childhood, saya sangat sering sekali ke pasar itu. Kata ‘sangat-sering-sekali” di kalimat sebelumnya itu benar-benar menunjukkan bahwa saya sangat sering sekali ke pasar itu. Sekali bisa tiga atau empat jam kali saya di sana. Gila kan. Ngapain coba? Ya mulai dari nemenin ibu belanja, saya yang belanja, atau nemenin temen belanja. Hehe. Hampir semua pedagangnya kenal sama ibu saya. Hehe. Preman Pasar Balubur dia.

Jadi ceritanya, si Pasar Balubur ini, selain deket dari rumah, juga cukup lengkap. Pasar ini menjual sayuran, ayam, ikan, tahu, tempe, jengkol, leunca, semangka, jeruk seperti pasar pada umumnya. Selain itu, pasar ini juga dikenal sebagai salah satu sentra alat tulis di Bandung Raya. Selain Cibadak dan Caringin. Harga alat tulis murah dan bersahabat karena kebanyakan pembelinya adalah mahasiswa.

Kemudian, sekitar tahun 2002-2003, ketika pembangunan jalan layang Pasupati yang sempat terhenti dilanjutkan, maka pasar ini dipindah. Yang memindahkannya bilang, kalau pasar tetap berada di situ, maka akan mengganggu estetika Jalan Layang Pasupati. Nah yang saya bingung, pemukiman yang padat rapat di bawah Pasupati memangnya tidak mengganggu estetika pula? Ah, yasudahlah. Pedagang dan pembeli setia di Pasar Balubur ini kemudian dipindahkan ke tempat yang baru dan dijanjikan akan pindah lagi ke lahan yang lama setelah dua tahun. Tempat yang lama akan diperbaiki dan diatur sedemikian rupa sehingga sedap dipandang dan nyaman.

Ingat ya, janjinya dua tahun. Dan ternyata, dua tahun itu mungkin terlalu sebentar untuk menyanggupi janji. Pihak-pihak yang terkait dengan Pasar Balubur tersebut ingkar. Hingga delapan tahun lamanya, pedagang Pasar Balubur menempati tempat penampungan sementara (TPS) milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Lokasinya sih tidak jauh dari tempat yang lama.

Tapi entah kenapa, berdasarkan pengalaman dan obrol-obrol ibu saya dengan pedagang pasar, mereka merasa omzet di tempat penampungan tersebut tidak sama dengan omzet di tempat yang lama. Intinya, pasar jadi sepi. Padahal, kalau boleh diakui, tempat penampungan itu juga nggak buruk-buruk amat. Khas orang Melayu-lah, awalnya aja rapih dan bersih, lama-lama sih wassalam. Ya dibandingkan pasar yang lama yang gelap dan becek, tentu saja tempat penampungan ini sedikit lebih manusiawi. Itu kalau kita abaikan tumpukan sampah di belakang pasar. :p

Saya sempat memotret keadaan tempat penampungan yang baru ini pada 2006 silam untuk tugas Orientasi Jurnalistik. Tapi foto dan klisenya harus diserahkan, maka tak ada yang bersisa untuk dipajang di sini. Di luar pasar terdapat spanduk-spanduk. Kebanyakan mengeluhkan waktu kepindahan mereka yang tak kunjung jelas. Ya bayangin aja, dijanjikan dua tahun lalu ngaret jadi delapan tahun. Digantungin kan nggak enak bok. Haha.

Pembangunan Jalan Layang Pasupati telah selesai sekira lima tahun yang lalu, waktu saya kelas tiga SMA kalo nggak salah. Tapi ternyata pedagang Pasar Balubur itu baru dipindah tepat dua hari yang lalu. Jadi kemarin itu, Jumat (2/7) adalah pertama kalinya Pasar Balubur beroperasi di tempat yang baru. Kenapa bisa ngaret enam tahun ya? Wah, nggak tahu. Tapi pikiran negatif saya sih, mungkin Pak Walikota Bandung You-Know-Who yang reputasinya udah nggak bagus di mata saya dan teman-teman, nunggu investor yang paling dermawan kepadanya. Hahaha.

Masalahnya, sejak si Balubur dipindahkan ke TPS itu, lahan kosong bekas pasar lama sempat dibiarkan kosong beberapa tahun. Rumput liar, kayak San Chai, bermunculan, nggak ada yang ngerawat. Jadi mungkin isu estetika yang tadi sudah saya bahas adalah omong kosong belaka. Malah jadi tempat buat pedagang domba doang setiap Idul Adha menjelang. Mau dijadiin lahan maen anak-anak juga agak membahayakan, karena banyak pecahan-pecahan bata bekas reruntuhan bangunan.

Pokoknya, isu menata daerah tersebut menjadi hal yang heboh sekali pada masanya. Keluarganya Hapsari juga dulu punya kantin di situ. Tapi ya itu, ikut kena gusur, entah deh dapat ganti rugi berapa. Ada pedagang yang keukeuh, dia nggak mau meruntuhkan bangunannya sendiri karena menganggap ganti rugi yang tidak sesuai. (ya namanya juga ganti rugi, mana ada yang sesuai). Tapi pada suatu ketika, runtuh pula bangunan itu, nominal ganti untungnya mencapai miliaran.

Pada 2009, barulah “hal yang dijanjikan” tersebut mulai dibangun. Kalau yang ada di benak Anda HANYA akan dibangun pasar tradisional saja, maka tentu saja benak Anda dan, tentunya, saya salah besar. Pemerintah Kota Bandung mengizinkan pembangunan gedung bertingkat empat sebagai ganti Pasar Balubur yang lama. Dan apakah estetis? NGGAK. Adanya di ujung jalan dan pas di belokan. Di mana ada estetisnya. Saya cuma berharap Taman Sari nggak tambah macet dengan adanya Pusat Perbelanjaan Balubur itu. Selain itu, gedung ini juga menghalangi pemandangan indah ke arah Bandung Utara dari rumah saya. Wlek.

Setelah negosiasi harga kios, pungutan harian, dan sewa parkir per-bulan, maka voila, Pasar Balubur menempati lahannya yang lama. Sisi positifnya dari pembangunan pusat perbelanjaan ini adalah, tentu saja, pasar yang lebih rapi dan bersih. Ada cleaning servicenya bok dan saluran air yang lumayan (masih) berfungsi dengan baik. Sisi negatifnya sih, tentu saja lagi, mahal. Mahal di sini merujuk pada harga kios dan pungutan harian. Sehari satu kios bisa dipungut sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah. Murah sih kalo buat makan di KFC. Tapi tetep aja dong mahal buat pedagang kecil-kecilnya, belum lagi kalo nggak laku. Ya nasib.

Tapi berhubung pemerintah sedang menggalakkan yang namanya pasar tradisional tapi moderen, yang kayak di BSD, Tangerang dan Batununggal, Bandung, maka sah-sah sajalah. Hehehe. Oh satu lagi, untungnya pasarnya mudah dijangkau dan cukup menjadi prioritas. Maksudnya gini, beberapa kendala yang menjadi hambatan pasar tradisional untuk berkembang jika sudah dipindahkan ke gedung pusat perbelanjaan gitu adalah letaknya yang kurang strategis. Tapi untungnya ini nggak. Maka doaku menyertaimu wahai pedagang Pasar Balubur. Semoga kasih harga yang murah buat Ibu. :*

Buat yang nyari alat tulis, mereka yang pernah menempati tempat penampungan yang lama juga semuanya pindah ke sini. Jadi, enjoy your shopping in new place yap. Lebih nyaman sih. Semoga tidak jadi tambah mahal karena mahalnya sewa ya. Amin.

Dan tipikal pusat perbelanjaan yang segala ada macamnya Pasar Baru Bandung, maka tunggu aja tanggal mainnya, pasti bakal penuh geje gitu deh semua tumplek-tublek di sini. Ada baju-baju, sepatu, komputer, handphone, segala rupa. BLESS CONSUMERISM!


Bandung, Le 3 Juillet 2010

Friday, July 2, 2010

Pa to the Rah

Yah, baiklah.. blog terlantar selama sejuta taun karena males sekali mau nulis. :p
Catch you later..

*bisous.. :*


Jatinangor, le 2 Juillet 2010