Sudah dua hari ini, saya ikut ibu ke pasar. Tujuannya sih bukan bantuin belanja, tapi pengen liat suasana pasar yang baru. Pasar yang saya maksud adalah Pasar Balubur. Jaraknya sekitar seratus langkah dari kamar saya. Eh, bener nggak ya? Ya pokoknya nggak jauh deh dari rumah saya. Masih se-RW (rukun warga) sih kayaknya.
Pasar Balubur sebenarnya sudah ada sejak mammoth masih ada. (maaf ya, kalo nge-blog di pagi hari saya jadi garing. Nggak nyambung. Auk ah.. ). Jadi gini, Pasar Balubur sebenarnya sudah ada sejak saya masih dikandung ibu saya, atau mungkin jauh sebelum itu. Lokasinya di Taman Sari seberang Gedung Rektorat ITB. Walaupun ketika Pasar Balubur berdiri di tahun 1980-an tentu saja Gedung rektorat itu belum berdiri megah. Sekitar dua puluh tahun berlalu, si pasar masih nongkrong asik di situ.
Di landscape yang lama, berbagai tukang jualan di sana dan tentu saja ada pembelinya juga. (ya namanya juga pasar. Tuh kan, garing. Zzzz). Saya masih ingat dengan jelas posisi penjual-penjualnya. Karena in my childhood, saya sangat sering sekali ke pasar itu. Kata ‘sangat-sering-sekali” di kalimat sebelumnya itu benar-benar menunjukkan bahwa saya sangat sering sekali ke pasar itu. Sekali bisa tiga atau empat jam kali saya di sana. Gila kan. Ngapain coba? Ya mulai dari nemenin ibu belanja, saya yang belanja, atau nemenin temen belanja. Hehe. Hampir semua pedagangnya kenal sama ibu saya. Hehe. Preman Pasar Balubur dia.
Jadi ceritanya, si Pasar Balubur ini, selain deket dari rumah, juga cukup lengkap. Pasar ini menjual sayuran, ayam, ikan, tahu, tempe, jengkol, leunca, semangka, jeruk seperti pasar pada umumnya. Selain itu, pasar ini juga dikenal sebagai salah satu sentra alat tulis di Bandung Raya. Selain Cibadak dan Caringin. Harga alat tulis murah dan bersahabat karena kebanyakan pembelinya adalah mahasiswa.
Kemudian, sekitar tahun 2002-2003, ketika pembangunan jalan layang Pasupati yang sempat terhenti dilanjutkan, maka pasar ini dipindah. Yang memindahkannya bilang, kalau pasar tetap berada di situ, maka akan mengganggu estetika Jalan Layang Pasupati. Nah yang saya bingung, pemukiman yang padat rapat di bawah Pasupati memangnya tidak mengganggu estetika pula? Ah, yasudahlah. Pedagang dan pembeli setia di Pasar Balubur ini kemudian dipindahkan ke tempat yang baru dan dijanjikan akan pindah lagi ke lahan yang lama setelah dua tahun. Tempat yang lama akan diperbaiki dan diatur sedemikian rupa sehingga sedap dipandang dan nyaman.
Ingat ya, janjinya dua tahun. Dan ternyata, dua tahun itu mungkin terlalu sebentar untuk menyanggupi janji. Pihak-pihak yang terkait dengan Pasar Balubur tersebut ingkar. Hingga delapan tahun lamanya, pedagang Pasar Balubur menempati tempat penampungan sementara (TPS) milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Lokasinya sih tidak jauh dari tempat yang lama.
Tapi entah kenapa, berdasarkan pengalaman dan obrol-obrol ibu saya dengan pedagang pasar, mereka merasa omzet di tempat penampungan tersebut tidak sama dengan omzet di tempat yang lama. Intinya, pasar jadi sepi. Padahal, kalau boleh diakui, tempat penampungan itu juga nggak buruk-buruk amat. Khas orang Melayu-lah, awalnya aja rapih dan bersih, lama-lama sih wassalam. Ya dibandingkan pasar yang lama yang gelap dan becek, tentu saja tempat penampungan ini sedikit lebih manusiawi. Itu kalau kita abaikan tumpukan sampah di belakang pasar. :p
Saya sempat memotret keadaan tempat penampungan yang baru ini pada 2006 silam untuk tugas Orientasi Jurnalistik. Tapi foto dan klisenya harus diserahkan, maka tak ada yang bersisa untuk dipajang di sini. Di luar pasar terdapat spanduk-spanduk. Kebanyakan mengeluhkan waktu kepindahan mereka yang tak kunjung jelas. Ya bayangin aja, dijanjikan dua tahun lalu ngaret jadi delapan tahun. Digantungin kan nggak enak bok. Haha.
Pembangunan Jalan Layang Pasupati telah selesai sekira lima tahun yang lalu, waktu saya kelas tiga SMA kalo nggak salah. Tapi ternyata pedagang Pasar Balubur itu baru dipindah tepat dua hari yang lalu. Jadi kemarin itu, Jumat (2/7) adalah pertama kalinya Pasar Balubur beroperasi di tempat yang baru. Kenapa bisa ngaret enam tahun ya? Wah, nggak tahu. Tapi pikiran negatif saya sih, mungkin Pak Walikota Bandung You-Know-Who yang reputasinya udah nggak bagus di mata saya dan teman-teman, nunggu investor yang paling dermawan kepadanya. Hahaha.
Masalahnya, sejak si Balubur dipindahkan ke TPS itu, lahan kosong bekas pasar lama sempat dibiarkan kosong beberapa tahun. Rumput liar, kayak San Chai, bermunculan, nggak ada yang ngerawat. Jadi mungkin isu estetika yang tadi sudah saya bahas adalah omong kosong belaka. Malah jadi tempat buat pedagang domba doang setiap Idul Adha menjelang. Mau dijadiin lahan maen anak-anak juga agak membahayakan, karena banyak pecahan-pecahan bata bekas reruntuhan bangunan.
Pokoknya, isu menata daerah tersebut menjadi hal yang heboh sekali pada masanya. Keluarganya Hapsari juga dulu punya kantin di situ. Tapi ya itu, ikut kena gusur, entah deh dapat ganti rugi berapa. Ada pedagang yang keukeuh, dia nggak mau meruntuhkan bangunannya sendiri karena menganggap ganti rugi yang tidak sesuai. (ya namanya juga ganti rugi, mana ada yang sesuai). Tapi pada suatu ketika, runtuh pula bangunan itu, nominal ganti untungnya mencapai miliaran.
Pada 2009, barulah “hal yang dijanjikan” tersebut mulai dibangun. Kalau yang ada di benak Anda HANYA akan dibangun pasar tradisional saja, maka tentu saja benak Anda dan, tentunya, saya salah besar. Pemerintah Kota Bandung mengizinkan pembangunan gedung bertingkat empat sebagai ganti Pasar Balubur yang lama. Dan apakah estetis? NGGAK. Adanya di ujung jalan dan pas di belokan. Di mana ada estetisnya. Saya cuma berharap Taman Sari nggak tambah macet dengan adanya Pusat Perbelanjaan Balubur itu. Selain itu, gedung ini juga menghalangi pemandangan indah ke arah Bandung Utara dari rumah saya. Wlek.
Setelah negosiasi harga kios, pungutan harian, dan sewa parkir per-bulan, maka voila, Pasar Balubur menempati lahannya yang lama. Sisi positifnya dari pembangunan pusat perbelanjaan ini adalah, tentu saja, pasar yang lebih rapi dan bersih. Ada cleaning servicenya bok dan saluran air yang lumayan (masih) berfungsi dengan baik. Sisi negatifnya sih, tentu saja lagi, mahal. Mahal di sini merujuk pada harga kios dan pungutan harian. Sehari satu kios bisa dipungut sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah. Murah sih kalo buat makan di KFC. Tapi tetep aja dong mahal buat pedagang kecil-kecilnya, belum lagi kalo nggak laku. Ya nasib.
Tapi berhubung pemerintah sedang menggalakkan yang namanya pasar tradisional tapi moderen, yang kayak di BSD, Tangerang dan Batununggal, Bandung, maka sah-sah sajalah. Hehehe. Oh satu lagi, untungnya pasarnya mudah dijangkau dan cukup menjadi prioritas. Maksudnya gini, beberapa kendala yang menjadi hambatan pasar tradisional untuk berkembang jika sudah dipindahkan ke gedung pusat perbelanjaan gitu adalah letaknya yang kurang strategis. Tapi untungnya ini nggak. Maka doaku menyertaimu wahai pedagang Pasar Balubur. Semoga kasih harga yang murah buat Ibu. :*
Buat yang nyari alat tulis, mereka yang pernah menempati tempat penampungan yang lama juga semuanya pindah ke sini. Jadi, enjoy your shopping in new place yap. Lebih nyaman sih. Semoga tidak jadi tambah mahal karena mahalnya sewa ya. Amin.
Dan tipikal pusat perbelanjaan yang segala ada macamnya Pasar Baru Bandung, maka tunggu aja tanggal mainnya, pasti bakal penuh geje gitu deh semua tumplek-tublek di sini. Ada baju-baju, sepatu, komputer, handphone, segala rupa. BLESS CONSUMERISM!
Gw mah gak demen banget tu Balubur yang baru. Pasupati jadi gak keliatan! Bener banget, merusak estetika! Eh tp katanya rooftop Balubur yang baru jadi tempat makan gitu ya? Errr, ada gitu yang mau makan di atas pasar? Hahaha. Semoga suksesss deh Dyah (ikutan garing)
ReplyDeletegue sebel banget tuh ngalangin pemandangan dari rooftop gue. iyak, emang katanya mau dijadiin foodcourt. sebenernya nggak pasar2 banget sih. kayak pasar baru aja tuh. kan atasnya ada tempat makan. ntar deh kalo udah buka semua gue coba. hehehe.
ReplyDeletetuh paragraf2 awal capruk pisan kamuh! hahaha. oh, jd dulu pasar balubur teh emang udah di situ, ya? aku gak sempet liat ada pasar di situ. yang aku tau balubur cuma jual stationary huhuhu. ih takut takut dyah ternyata reman balubur. wew.
ReplyDeletebahahaha. ya kan, postingan ini sangat amat cerewet. hehehe. iyah, emang ada pasarnya.
ReplyDeleteaku mah lebih takut sama kamu preman kircon.. udah mah stasiun, pasar pula jajahannya. asoy..