Ada hal-hal yang sebaiknya memang dibiarkan mengambang saja. Tidak usah diungkapkan lewat tulisan, pun diejawantahkan melalui lisan. Cukup demikian saja, diposisikan seperti pelampung yang mengapung mengambang di kolam renang, yang kedalamannya bahkan kau tak tahu seberapa benar.
**
Mengapa aku lalu bisa berkata demikian? Bukankah harusnya aku senang semua rasaku telah termuntahkan pada sasaran yang tepat? Bukankah kejadian semalam, yang terjadi hanya sekejap saja, dan mungkin telah kurencanakan berjuta-juta detik dan selaksa waktu dalam lelah hidupku, adalah yang ada aku inginkan? Bukankah yang peristiwa malam tadi adalah semua yang pernah ada dalam pagar mimpiku, yang karenanya aku tersedu menangis bahkan ketika aku tidak menyadarinya? Bukankah begitu?
Tadi malam itu, di sebuah kafe yang tidak terlalu mahal, disertai segelas es cokelat yang juga tidak terlalu mahal, aku bertemu dengan dia. Entah untuk keberapa kalinya? Sejelas-jelasnya, ini bukan kali pertama. Karena di kali pertama yang lalu itu, aku bertemu dengannya bersama rasa yang sama sekali ringan, tidak ada secuil pun rasa yang membelenggu. Dan kali ini, seperti juga seperti pertemuan kedua kami, aku membawa rasa yang begitu berat dan tak tahu apa namanya.
Sepulang dari pertemuan kedua itu, dimana aku juga memesan es cokelat untuk teman mengobrol kami, telah kurencanakan semua yang terjadi malam tadi itu. Rencana yang berubah-ubah seiring adanya pertemuan ketiga-keempat-kelima-keenam-ketujuh-keseratus-keseribu-dan hingga aku hilang hitungan.
Setelah rangkaian yang demikian merantai itu, aku janjikan pada diriku bahwa akan ada saatnya aku berbicara seserius hukum Fisika untuk membicarakan semua rasa yang ada pada aku. Seserius campuran kimia yang mungkin salah takaran. Aku janjikan itu. Dan mungkin memang benar tadi malam adalah masa yang setepatnya. Dan kini, aku gamang, justru karena janjiku yang telah terucap.
***
Mengingat segelas es cokelat yang kusedot dikit demi sedikit itu juga membuat hatiku perih karena ia lama-lama habis. Dan mengingat ia, yang bersamaku semalam, juga membuatku sedih karena ia lama-lama hilang. Ironisnya, aku sadari itu, sejak pertemuan kedua kami.
Maka pagi ini, berselang berapa waktu atas pertemuan yang samar itu, aku rebahkan diriku saja di kasur dengan kenyamanan tingkat tinggi ini. Aku ingin bergelung saja dengan selimut yang menghangatkanku hingga aku merasakan aman. Sedikit saja kubuka mata untuk melihat jam di dinding kamarku yang sudah kusam. Warnanya kumaksudkan jingga, sebagai hasil googling. Katanya warna yang jingga itu berikan semangat yang menyala di setiap hariku.
Inginnya aku tidak mengingat kejadian semalam itu. Ketika aku duduk berhadapan dengannya dan menceritakan kehidupan kami masing-masing, yang semakin lama semakin kabur dengan idealisme yang kami miliki dahulu. Perbincangan dengannya menjadi suatu perbicangan yang kutunggu di setiap waktuku. Berbincang dengannya bisa memakan waktu berjam-jam dengan jeda sunyi yang bisa dimaafkan tapi tetap menyenangkan.
Tapi ketika aku bangun dari tidur semalam itu, semuanya seperti film yang diputar mundur. Seperti aku bisa mengingat semua percakapan kami sejak detik pertama kami bertemu. Detik berikutnya, di pagi yang cerah-ceria itu, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuka mata.
Untungnya hari ini aku tidak memiliki kewajiban apapun. Aku bebas menentukan apa yang kulakukan sepanjang hari. Dan yang kupilih adalah tidak melakukan apa-apa, selain bermain dengan pikiranku sendiri dan gulang-guling di kasur berseprai biru ini. Sesekali saja aku menuju kamar kecil dan mengambil air mineral di dapur super-mini di apartemenku ini. Beruntung perutku tidak lapar sama sekali, maka aku tidak perlu keluar dari kamar ini untuk membeli pengganjal perut.
Satu jam, dua jam, tiga jam, lima jam, delapan jam, dan hingga sore hari pun aku masih tidak keluar dari sangkarku yang senyap ini. Bahkan tidak ada celoteh bintang opera sabun dari televisi atau sejernih suara dari penyanyi kesukaanku. Aku tidak menyetel lagu riang, bahkan lagu sedih pun tak rela kunyalakan. Aku berdiam saja, berdamai dengan sepi, dan tentu berdamai dengan memori tadi malam.
***
Tadi malam, malam yang penuh dengan es coklat, adalah malam yang biasa saja sebenarnya. Menjadi tidak biasa ketika aku memintanya untuk mendengarkan aku berbicara, menyerocos tanpa henti, tanpa jeda, dan tanpa peduli.
“Aku nggak tau apa yang ada di aku. Yang aku tahu ada hal-hal yang berubah, terutama di aku, sejak kita ketemu kedua kalinya. Kalau nggak salah waktu kita janjian di tempat minum kopi deket rumahku itu. Dan, ya aku nggak tau juga kenapa semuanya berubah di aku. Mungkin aku suka kamu. Maybe I’m falling in love with you. Mungkin aku sebel sama kamu. Aku juga nggak tau pasti. …”
Sejeda kemudian kuteruskan racauanku.
“Tenang aja, kamu nggak perlu bilang apa-apa. Kamu nggak berkewajiban untuk menjawab apa yang aku bilang sekarang ini. Yang pasti aku merasa nyaman sama kamu. Aku seneng cerita-cerita semua hal sama aku. Tapi beneran, kamu santai aja. Aku nggak maksain apa-apa. Aku sih ngarepnya kita bisa temenan aja kayak biasanya. Klise banget kan ya aku? Ya tapi gitu deh. ..”
Dia, yang duduk di seberangku, hanya terpaku. Mungkin ia kaget dengan segala yang aku katakan. Ia, mungkin, seperti aku sendiri, tidak pernah menyangka bahwa aku benar-benar bisa mengatakan hal yang demikian itu. Mata bulatnya seperti menyelidik, berusaha menggali apa yang sebenar-benarnya aku rasakan. Ia menebak-nebak seberapa jujur perkataanku barusan. Aku memandangnya sejenak, rambut, mata, kerah baju, hingga kaos berkerah warna berwarna biru tua yang sudah sering ia pakai. Aku sedetik terkesima dan kembali ke dunia nyata.
“Oke, aku mau pulang dulu. Kamu nggak usah anter aku nggak papa. Aku lagi pengen naik taksi aja. Hehe. Nanti kalau sudah sampai kamar, kamu kasih kabar ya. Salam buat si pacar. See you when I see you yaaa.. “
Aku tidak memberinya kesempatan untuk berbicara sepatah kata pun. Entah apa pula yang berada di pikirannya. Biar saja jika ia bilang aku agak aneh. Sudah selesai saja perjuangan menyusun kata sejak setriliun detik dan selaksa waktu itu. Sudah saja. Dan aku meraih jaket merah tebal kesayanganku yang tersampir di kursi sebelahku. Aku meletakkan uang sebesar dua gelas es cokelat yang kupesan. Dan demikian saja, aku berjalan keluar kafe yang masih ramai itu.
Penjaga apartemenku yang ramah itu masih di sana. Setia menunggu hingga pukul dua belas nanti. Kulemparkan senyum padanya dan tentu ia sampaikan senyumnya juga padaku. Ia perempuan yang baik. Hanya itu saja pikiranku tentangnya malam itu. Sisanya, ketika aku memilih menaiki tangga hingga sampai ke lantai dimana kamarku berada, kupenuhi pikirku dengan kejadian di kafe tadi. Perjalanan yang hanya lima menit, kukalikan tiga jadi lima belas menit.
Ternyata aku tidak tenang. Ternyata masih ada yang mengganjal di hatiku biarpun setelah semuanya terucapkan. Mungkin ini yang namanya penyesalan. Mungkin seharusnya aku tidak katakan apa-apa padanya.
Sampai di kamar, aku tidak berganti baju. Tidak mencuci muka dan tidak sikat gigi. Juga tidak minum air putih. Aku rasa lelah sekali dan langsung tertidur. Hingga pagi ini. Dan masih di kamar ini hingga sore ini. Bahkan jendela pun tidak kubuka barang seinchi. Aku kacau.
***
Aku masih mengulang kejadian di café itu dalam ingatanku hingga kusadari hariku telah beranjak malam. Harus ada yang kumakan, pikirku. Maka aku beranjak mencuci muka, menyikat gigi, dan menyisir rambut. Tak berjarak jauh dari apartemenku ada yang berjualan mie ayam yang enak sekali. Aku putuskan seporsi mie ayam pangsit yang akan mampir di perutku.
Kubuka pintu dan siapa ini yang menaruh satu toples kue kering di depan pintuku? Oh, mungkin tetangga baru. Betapa baiknya ia, seperti apa wujudnya ia? Apakah ia setampan pemain sepakbola dari Eropa yang kemarin kulihat posternya? Atau ia hanya wartawan yang berpakaian asal-asalan? Siapalah dia yang penting kue kering ini.
"castangel paling enak di dunia ini tentunya tidak gratis, malam minggu nanti bila tak ada acara, makan malamlah di kamarku. sekadar membuktikan bahwa setidaknya ada lima kue kering lagi yang mungkin lebih enak dari castangelku,
salam hangat, Kamar 1502.”
Kubaca pesan yang mengiringinya. Kubuka toples itu dan kucoba kue itu. Aku kembali ke kamar, melupakan sejenak tentang ia, tentang aku, tentang tadi malam, dan tentang mie ayam. Dan terus mengunyah kue yang enak itu.
Dengan suasana hati yang membaik, aku mengambil spidol, menulis berapa kata, dan menuju pintu kamar 1502.
"Undangan diterima dengan senang hati. Sampai berjumpa di suasana hati yang lebih baik. Terima kasih caastangel-nya. Makanan paling nikmat hari ini.
1505"
Bandung, le 5 Juillet 2010
C'est bizzare, l'histoire. :D
Cerita ini hanya satu dari sekian cerita dari seri L'Appartemant. Cerita lain dapat diakses di:
nice tooo... ahhh excited gw baca beragam versi ngungkapin masalah terus nemu undangan dari si 1502.. wuihiii bener ternyata ga skeri. hoax lo! hahhaha
ReplyDeletedyah namanya siapa? hehehe
ReplyDeletenama si tokoh saha??
ReplyDeleteudeh gue bilang mengerikan gara2 cupu. hahaha. tau sndiri gue kagak pernah bikin cerpen. :p
ReplyDeleteyuk ahhh mari bercerita..
bahaha. gw tau bagian skeri nya. si penjaga apartemen yang ternyata adalaahhh....hiii.
ReplyDelete*ngerusak
siapakah dia yang telah memiliki kekasih itu?
siapakan dia yang membuatmu berani mengungkapkan perasaan tanpa perlu jawaban?
penasaraan :)
gue masih nyari nama yang tepat nih. sedetik lagi gue kasih tau. hehehe. bingung bok, kayak nyari nama bayi. *tetep*
ReplyDeleteya tuhan, semoga kami istiqamah di jalanmu yak.
semoga sering2 bikin cerpen. :D :D