Friday, December 30, 2011

Sadly, Yes!

Ini lagu lumayan sudah lama sih. Another ciamik song, kalau menurut saya. Bisa banget Mas Jonas Bjerre memproduksi suara yang pas dan sesuai untuk suasana lagu ini. Musiknya lumayan segar bugar, tapi isinya.. yagitudeh. Nggak harus mendayu-dayu untuk bikin lagu yang "mengena" toh? Inilah lagu yang sering menemani ketika suasana hati sedang kacau-balau-galau.Lagu jaman skripsi banget. Hehe.


MEW - Sometimes Life isn't Easy


You're everything to me.
Celebrate the one you love,
The way it operates.


You're everything to me.
Celebrate the one you love,
The way it ought to be.


Thinking about everything.
Why did you stop?
You don't know what it's like.


Isn't that how it goes,
When you're lovesick?
Thinking about everything.


Don't you know sometimes,
When it feels like someone put a hex on you?
Well, I felt like that.
I was blaming myself.
I was cushioning my fall.


Hold my arms back when they beat me,
Leave me in the ditch where they kick me,
Sever my limbs and deceive me.


Sometimes life isn't easy.


Here we go.
Here we go.
I'm surprised in you,
Here we go.


Beside you,
And like you.
I'm lost in your doubt,
Scrolling, scrolling, scrolling.


Hold my arms back down when they beat me.
(Hold my arms back, try)
(I promise you...)
Water rise.


Don't you know sometimes,
When you can't see no end
To the tricks we play?


Sometimes life isn't easy.


Here we go.
Here we go.
I'm surprised in you,
Here we go.


Beside you,
And like you.
I'm lost in your doubt.


Here we go,
Here we go.
I'm surprised in you,
Here we go.


Beside you,
And like you.
I'm lost in your doubt.
Scrolling, scrolling, scrolling.


Safety net,
I regret
I am shaking.
(We know you are)
I am shaking


***


Pas banget kayaknya didengarkan sekarang, ditunjang dengan suasana Bandung yang sedang adem ini. Anggap saja kita sedang berada di Denmark bareng MEW. Cuss.

Bandung, le 30 Decembre 2011



Short Story


Boleh jujur? Saya, seperti orang lain, sejujurnya tidak suka ketika ditanya mengenai pekerjaan. Ya saya tahu, dengan jelas dan sadar, bahwa saya sudah lulus, punya ijazah, dan harusnya sudah bekerja. Tapi ya sudahlah, tidak usah diperpanjang, yang penting saya nyatanya bekerja, walaupun “pseudo”. Hahaha.

Intinya gini deh, sejak Oktober lalu dan sampai saat ini, saya punya pekerjaan. Dan tidak sepenuhnya minta uang dari Yang Mulia Kanjeng Ibu untuk beli sepasang, dua pasang sepatu. Habis perkara.

***
Tiga bulan ini, saya mengerjakan pekerjaan yang satu, sempat terdampar di pekerjaan kedua selama dua minggu, dan kemudian ada satu pekerjaan kecil di bulan terakhir. Hampir semuanya hal yang baru bagi saya, walaupun yang dua tidak terlalu jauh dari bidang yang saya pelajari sejak enam tahun lampau. *krik krik, lama ajah. *

Saya tidak bisa bilang semuanya seratus persen menyenangkan. Kadang membosankan dan justru terasa menjadi beban, ketika saya menjalaninya. Tapi, heii, itulah pekerjaan kan? Kalau terus-terusan menyenangkan, itu mungkin namanya hobi. Dan yang paling penting, saya belajar banyak dari pekerjaan-pekerjaan itu. Punya teman baru dan beberapa perspektif tambahan tentang bagaimana hidup ini harus dijalani. Deuh.

Yang satu mengantarkan saya untuk lebih peka terhadap perasaan sendiri, perasaan perempuan. Tahu apa yang sebenarnya perempuan mau. Tapi juga menyuntikkan ide-ide (tidak) segar bahwa perempuan itu bisa melakukan hal-hal baik dan tidak selamanya berpikir hanya tentang percintaan. Kamana atuh galau?!

Yang kedua mengantarkan saya untuk menyadari satu keburukan dan sejuta kebaikan dari belajar di (mantan) kampus saya yang berada di kaki Gunung Manglayang. Percayalah atas tempaan-tempaan yang pernah kita dapat, itu semua berguna di masa depan. Terutama di bagian “begadang” dan “pekerja yang mau disuruh-suruh”. Haha. Good news? Or even bad news?

Dari situ pula, saya menjadi sedikit tahu tentang dunia freelance. Sesuatu yang sebenarnya sangat saya takuti, ketika saya hanya bekerja dalam waktu yang singkat dan penuh dengan ketidakpastian. Ketika kamu memang hanya bisa mengandalkan diri sendiri, tanpa orang lain sama sekali. Simpulan yang mungkin salah.

Dan yang ketiga pernah mengantarkan saya berkeliling Asia-Afrika di suatu ruangan yang sesak dengan tarian dan lagu-lagu khas masing-masing daerah. Menyadarkan bahwa saya, kami, hanyalah setitik kecil organisme yang mungkin tidak ada gunanya di antara 7 miliar manusia yang kini menghuni dunia. Eh, tapi dari saya dan kami yang kecil itu mungkin bisa melakukan sesuatu yang berguna nantinya. Entah untuk saya sendiri, kami, atau bahkan untuk skala yang lebih luas.

Dari pekerjaan nomor tiga yang (sangat) singkat itu, saya tahu saya harus pergi dari sini. Kapan ya? Tahun depan yuk, temans. :D

Bandung, 30 Decembre 2011

Saturday, December 24, 2011

Comment ça va?

Haaiiiiii! *lambai-lambai centil*

Sudah lama sekali rupanya sejak saya menjejakkan jejak di sini. *Tutup muka, malu*. Banyak sekali yang sudah terjadi dua bulan terakhir ini dan saya alpa menuliskannya. Maaaaf. *Minta maaf ke siapa? Kayak ada yang baca. Ihik.*

Oke saya akan segera menuliskannya. Akan dan segera. Taulah itu artinya apa? :D

Tuesday, November 8, 2011

Passion?


Passion, what is it? And what about it?

Setelah melakukan wawancara kerja dua minggu lalu, pertanyaan ini tidak kunjung mereda dari pikiran saya yang sejumput ini. Sejak itu, saya mulai berpikir dan mencari-cari apa sebenarnya yang ingin saya lakukan, apa yang ingin saya capai. Ya, seperti yang mudah diduga, belum ada keputusan yang pasti dan berani atas perundingan batin ini. Tapi percayalah, yang saya lakukan tidak seserius kedengarannya. Haha. 

***

Jadi, dua minggu lalu saya dipanggil untuk wawancara kerja di perusahaan asing yang sedang mencoba peruntungannya di Indonesia. Perusahaan besar sekali, jika di Amerika sana. Sangat familiar pula di kuping orang Indonesia. Wawancara berlangsung lancar, saya kira. Walaupun saya sempat agak deg-degan dan, di beberapa bagian, saya menjawab dengan terbata-bata, but it was an exciting experience for me. Pertama kali wawancara kerja, langsung wawancara dengan Bahasa Inggris, yang mana bukan bahasa utama saya. Daaaang. Tapi ya sudahlah, lumayan, kalau menurut saya. Dan yang mewawancara pun mengerti dengan apa yang saya bicarakan kok. Hehehe. 

Lalu sampailah saya pada pertanyaan mengenai passion saya. Dia dan saya mengandaikan bahwa passion saya adalah menulis. Padahal mungkin nggak juga ya. Saya belum punya karya yang begitu berarti di dunia penulisan. Jadi wartawan pun masih coba-coba. Tapi mungkin karena mengetahui bahwa saya lulusan Jurnalistik dan punya blog-yang-lumayan-sering-diisi, Mas Bos itu meyakini kalau passion saya adalah menulis. Yang mana saya belum yakin juga, padahal. #kusut

Saya sih yakin dan siap aja di posisi yang ditawarkan itu, yang mana tidak banyak menulis konten. Dia lalu memastikan,”You sure you won’t be frustrated if you don’t do the writing, but the people surround you doing it?” Saya jawab sih saya siap, nggak apa-apa. Lagian apa salahnya mencoba hal yang baru, yang mungkin tidak berkaitan dengan menulis, tapi masih berkaitan dengan dunia jurnalistik? Sesimpel itu, ketika masih berada di ruang wawancara. 

Dua minggu kemudian, pertanyaan itu membuat saya berpikir keras dan bikin bingung. Benarkah saya akan bisa jika nyatanya demikian, saya harus bekerja dan tidak menulis-membuat berita? Lalu saya ingat percakapan saya dengan teman saya, saya bilang, “Ya mau gimana juga kayaknya cuma nulis yang kita bisa, setidaknya itu yang paling dekat dengan latar belakang pendidikan kita.” Dan dia mengiyakan. 

Saya juga sempat berbincang melalui layanan messenger dengan teman yang lain. Dia bilang, “Bisa pasti. Lagian nulis mah bisa dimana aja kapan aja, Di.” Shoot. Dan saya mengiyakan. 

Terus apa? Bingung. 

Bandung, le 8 Novembre 2011

Wednesday, November 2, 2011

Something About Us!

Playlist di pemutar lagu di laptop saya memang tidak dinamis. Membosankan malah. Saya sengaja meniadakan fasilitas counter, soalnya saya sebel kalau lihat ada lagu yang terlalu sering diputar, tapi juga ada lagu yang nggak pernah diputar sama sekali. Hehe. Nah, dari sekian banyak lagu yang sering banget diputar itu, ini salah satunya. Dari dulu sampai sekarang, nggak pernah absen dari playlist.

Something About Us - Daft Punk

It might not be the right time 
I might not be the right one 
But there’s something about us, I want to say 
Cause there’s something about us anyway 

I might not be the right one
It might not be the right time 
But there’s something about us, I’ve got to do 
Somekind of secret I will share with you 

I need you more than anything in my life 
I want you more than anything in my life 
I’ll miss you more than anyone in my life 
I love you more than anyone in my life 


Lagunya ya cuma segitu-gitunya. Nggak ada reff-nya. Simple tapi ciamik, menurut saya. Dulu pernah, saya lagi nebeng di mobil teman, sudah sampai tempat yang dimaksud, dan nggak mau turun gara-gara lagu ini lagi diputar di iPodnya. Haha. Taken from the album Discovery. Barengan sama “One More Time”, “Harder, Better, Faster, Stronger”, “Digital Love”, “Aerodynamic”, dan beberapa lainnya. Tapi tetep ini sih yang paling ciamik. Kalau mau lihat videonya di Youtube, seru juga. Animasi, agak dark. :)


Bandung, le 2 Novembre 2011

Monday, October 3, 2011

Bom Lagi!

Saya ingat ketika itu Goenawan Mohammad menulis tentang seorang perempuan Malaysia yang ingin memeluk agama Hindu, tapi lahir dari ayah beragama Islam. Ia memberi judul "Murtad" pada kolom tetapnya di MBM Tempo. Ia berkeyakinan bahwa seseorang tidak boleh dihalangi untuk menganut agama-agama manapun yang menjadi keyakinannya. Semua tentu setuju, 'kan?

Lalu, di satu paragraf, ia menulis begini:

Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tau dalam agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada keburukan yang ada dalam agama saya.(Mohammad, 2007)
Ah, saya memang bukan ahli agama. Tapi kalimat itu yang betul-betul ingin saya sampaikan pada orang-orang mengenai agama saya. Saya tahu ini mungkin bukan masalah besar, membahas-bahas agama. Tapi bagi beberapa atau, mungkin, banyak orang, hal ini menjadi begitu penting.

Minggu (25/7), saya bangun agak siang, kemudian cek linimasa dan dari situ saya tahu kalau ada pengeboman di sebuah gereja di Kepunton, Solo. Pengeboman terjadi ketika gereja sedang ramai karena umat Kristiani sedang menjalankan ibadahnya. Dhuaarrr dan bom itu menewaskan si pembawa bom. Korban lain adalah puluhan jemaat gereja yang mengalami luka-luka.

Sebal sekali tentu mendengar berita seperti itu. Di Indonesia, bom yang sengaja diledakkan di rumah ibadah memang bukan yang pertama kali. Sudah terjadi beberapa kali dan kerap kali yang diserang adalah tempat ibadah umat Kristiani. Sampai sekarang, argumen yang paling sering digunakan oleh para pengebom adalah jihad. Dan sampai saat ini, saya masih tidak mengerti dimana letak jihad ketika itu melukai orang yang sedang beribadah? Apapun namanya, tentu menyakiti orang adalah salah bukan? Menyakiti hati misalnya. Haha. Gini deh, orang yang melindungi diri saja tetap mendapatkan hukuman ketika ia melukai orang lain yang menyerangnya.

Bahagia Dua


In previous post, I quoted a quote from Kung Fu Panda 2. Then she asked me how I defined happiness. Oh dear, this could be my second post about happiness, but still, I do not know about it, am not a master in that field. I just knew, since a long time, that happiness is a state of mind. Simple yet so complicated. Kadangkala, sesuatu yang sederhana itu malah bisa terlalu rumit. 

Seorang teman pernah berkicau melalui akun Twitter-nya. Ia bilang, saat hidup semakin rumit dan kompleks, kebahagiaan datang dalam bentuk yang semakin sederhana. Pernyataan yang membahagiakan, bagi saya. Bayangkan saja, betapa orang yang setelah dioperasi, akan begitu bahagia ketika ia berhasil kentut, yang kadang membuat orang lain tidak bahagia. Atau betapa orang yang sedang kangen setengah mati, akan bahagia ketika sekedar dikirimi pesan singkat atau mention melalui Twitter. Ketika sedang lapar berat, lalu menemukan makanan. Sesederhana itu mungkin. Tapi ya bukan berarti harus membuat hidup serumit itu untuk meraih bahagia. 

Ada beberapa waktu yang membuat saya begitu bahagia, begitu bungah dan kadang saya terlambat menyadarinya. Setelah lewat masa, baru saya sadar bahwa saya bahagia dengan momen yang telah lalu itu. Bahagia dan bukan sekedar senang. Salah satunya adalah ketika berkumpul dengan kawan-kawan saya. Sekedar ngobrol –ngobrol santai, dengan berbagai macam cemilan dan minuman dingin. Dengan celetukan-celetukan nggak penting yang kocak hingga mata ingin terpejam tapi masih saja ingin saling mengomentari di ruangan yang sesak dengan asap rokok. Tidak melulu harus berlibur di tempat yang jauh, resor yang mewah, dan dengan makanan yang mahal. 

Atau ketika melihat wajah teman-teman saya ketika saya berdiri untuk dua yudisium kemarin itu. Di tengah degup jantung yang berdetak terlalu cepat dan tidak bisa saya kendalikan, saya merasa bahagia bahwa ada wajah-wajah yang saya kenal di ruangan itu. Raut mereka yang ceria, beberapa juga ikut panik, membuat saya yakin bahwa apapun hasilnya saat itu, saya tidak akan limbung sendirian. Kebahagiaan muncul di kali lain, melihat polah sepupu kecil yang bisa berhenti dari nangisnya karena sepotong semangka. Atau dibawakan makanan kegemaran oleh Ibu, ketika saya tidak memesannya. 

Berapa kali kita merasa senang dalam hidup? Dan berapa kali pula kita merasa bahagia sepanjang perjalanan hidup yang tidak terlalu singkat ini? Dicari ke tempat yang paling jauh di ujung dunia pun, bahagia adalah sangat lekat dan dekat, bukan? It’s all about a state of mind and how you manage your feeling, if I can conclude it. Is it? Kadangkala, mungkin manusia perlu sesuatu yang menantang sehingga apapun dibikin rumit dan banyak ‘tapi’. Pun demikian dengan bahagia, ia butuh berapa banyak penyangkalan dan menuntut yang lebih dari yang didapatnya. Padahal sejatinya, si bahagia itu sudah ada sejak awal ketika ia mendapatkan sesuatu itu.

Ah, mari banyak-banyak bersyukur saja. :D

Oh iya, previous post about happiness-nya ada di sini.:D

Saturday, October 1, 2011

Luka


Luka (Sutardji Calzoum Bachri)

Ha ha


Sudah, cukup sebaris saja rupanya Sutardji sampaikan puisinya, jika bisa dibilang begitu. Tapi ah, memang begitu, ia penyair, puisi adalah salah satu produknya. Sudah tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam merangkai kata menjadi puisi. Dan rupanya, Seno Gumira kerap kali mengutip puisi ini. Membekas rupanya. 

Suatu kali, saya bertemu Seno Gumira di kampus saya. Waktu itu sedang ada diskusi tentang buku Nagabumi yang ditulisnya. Ketika sampai ke sesi pemberian hadiah, ia tanyakan itu pada peserta. Bagaimana isi puisi Luka karya Sutardji, yang menjawab benar sepantasnya akan mendapat hadiah. Tapi, ternyata tidak ada yang berhak. Dan kali kedua, saya sedang membaca pengantar yang ditulis Seno Gumira untuk bukunya sendiri, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Ia menuliskan tentang puisi itu lagi. Mungkin Seno gandrung pada puisi itu. Ia selalu menekankan bahwa dari satu puisi pendek, yang selesai dibaca empat detik, bisa muncul berbagai interpretasi. 

Saya juga tidak bisa mengira-ngira, apa maksud Sutardji dengan puisi yang demikian pendek. Belum lagi antara judul dan isinya yang begitu ironis. Apakah ia sedang merasakan luka yang begitu pedih, sehingga tidak sanggup lagi menangis dan hanya bisa tertawa getir? Ataukah ia memang menganggap semua luka adalah komedi, penghibur hati? Ataukah ia mau bilang kalau hal yang lucu pun bisa menjadi luka? Atau sebenarnya tawa adalah luka? Ah. Apa pula yang terjadi pada ia ketika ia sengaja atau tidak sengaja merampungkan puisi satu baris itu? Atau energi dan inspirasinya habis tepat setelah menulis ha-ha itu? Ah. 

Mengenai luka, saya jadi mengingat kutipan dari Kung Fu Panda 2. Alkisah, keluarga Po dihilangkan oleh Shen, si merak kemaruk. Namun nyatanya, Po tetap bisa menguasai 'ilmu' inner peace yang diajarkan oleh Master Shifu di atas semua luka yang ia rasa.

Shen : How did you find peace? I took away your parents, everything, I scarred you for life...
Po    : See that's the thing, Shen, scars heal.
Shen : No they don't... *wounds* heal.
Po    : Oh, yeah... what do scars do? They fade, I guess...
Shen : I don't care what scars do...!
Po    : You should, Shen. You got to let go of the stuff from past - because it just doesn't   matter! The only thing that matters is what you choose to be now. 

So, how to heal the scars? Or wounds? Or maybe that's true, like the wise men said, time heals all wounds?

 Bandung, Le Septembre 2011

Thursday, September 22, 2011

About 'it'!

Wanna talk about relationship. Tapi sudah stuck duluan dan keburu dibully-bully di linimasa, dengan mention ataupun #nomention.Yeah, nikmati saja teman-teman, mumpung masih begini. Hahaks. But suddenly found this quote about relationship. *gasp*

As we grow up, we learn that even the one person that wasn't supposed to ever let you down probably will.  You will have your heart broken probably more than once and it's harder every time.  You'll break hearts too, so remember how it felt when yours was broken.  You'll fight with your best friend.  You'll blame a new love for things an old one did.  You'll cry because time is passing too fast, and you'll eventually lose someone you love.  ~Author Unknown
Oke. Selamat malam, selamat beristirahat. Kita lanjutkan #trinisat besok, mungkin dengan topik ini. Atau mungkin yang lain sajaaa..


Bandung, le 21 Septembre 2011

Wednesday, September 21, 2011

The Sims Social


Sekarang, saya dan beberapa teman sedang keranjingan The Sims Social. Mirip sih dengan The Sims 1, 2, 3, dan lain-lain yang biasa dimainkan di komputer. Satu perbedaannya adalah The Sims Social difasilitasi oleh Facebook. Jadi untuk memainkannya, kita harus memiliki akun Facebook dan tetangga-tetangga kita nantinya adalah orang-orang yang telah menjadi teman kita di jejaring itu. 


 Kalau lagi tidak keluar rumah sama sekali, saya bisa hampir seharian main The Sims Social. Ah, gila. Tiap buka Facebook, berderet request dari tetangga saya, sekadar minta keju, menjadi teman, atau minta cinta. Oh no! Tapi saya rasa, itulah satu keunggulan dari The Sims. Bisa sesuka hati melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan di dunia nyata. Kalau di dunia nyata, mana mungkin ada orang tiba-tiba minta cinta dan tiba-tiba dikasih? Haha. Contoh lain, mendekorasi rumah sendiri, beli ini beli itu banyak sekali, kemudian menatanya dalam rumah. Hitung-hitung latihan punya rumah sendiri. Hehe. 

Seorang teman memberi nama God pada Sims-nya. Kita si empunya Sims memang menjadi Tuhan atas Sims yang kita ciptakan. Mau kemana-mana atau mau ngapain, kita yang tentukan. Keinginan yang perlu kita waspadai dari Sims kita adalah hasrat haus dan lapar, ingin buang air, tidur, atau mandi. Selebihnya, semua tergantung kita, si pemilik. Haha. *evil smirk* Serasa main boneka-bonekaan ketika masih kecil.

Yang perlu diingat, Sims juga punya energi yang terbatas dan tidak serta-merta mendapatkan semuanya sesuai keinginannya. Ada waktu untuk charge energi dan harus bekerja untuk dapat semua yang diinginkannya. Jadi, buat yang manusia beneran, hey robot saja punya waktu untuk istirahat. Don’t waste your time only for work deh hey! Tapi jangan juga keasyikan leyeh-leyeh. semua yang diimpikan tidak akan muncul di depan mata, kalau kita hanya leyeh-leyeh. WHAT??!!! *merasa tertampar*

Bandung, le 20 Septembre 2011

Mau Dibawa Kemana?


How far can you go? Bukan, maksudnya bukan tentang sejauh mana kita bisa melangkah, memaksimalkan diri kita. Tapi sejauh mana kita bisa meninggalkan diri kita atas semua perubahan yang mungkin terjadi?

Seorang teman bertanya dalam akun Twitter-nya, “Pernahkah kamu merindukan dirimu yang dulu?”. It caught me in the right time. Ia mengungkapkan apa yang juga saya pertanyakan sedetik sebelum saya melihat tweet-nya tersebut. Saya lega saya tidak sendirian. Tidak sendirian berubah, tidak sendirian mempertanyakannya, tidak sendirian merindukan sesuatu yang pernah singgah. 

Sejak lulus dari SMA, saya selalu merasa sebagai orang yang tidak berubah. Saya tetaplah saya, hanya saja berbeda kemasan. Dulu pakai seragam putih abu, sekarang lebih sering pakai t-shirt yang nyaman dipakai dan jeans. Tentu saja yang satu itu berubah, karena kuliah memang tidak mewajibkan saya pakai seragam ‘kan? Hah. 

Tapi maksudnya, lebih dalam dari perihal seragam, saya tidak menyadari diri saya berubah. Saya menganggap orang lain lebih memiliki perubahan yang signifikan dari saya. Dari pemikiran, gaya berbusana, gaya bicara, prinsip, dan lain-lain. Baik atau buruk? Relatif. Tapi seharusnya perubahan itu sendiri adalah hal yang baik karena tidak memerangkap kita dalam satu fase saja. Masalah berubah ke arah yang baik atau buruk? Ya itu yang relatif. 

Saya menolak mengatakan diri saya berubah. Saya pikir, hidup saya ya begitu-begitu saja, tidak ada pencapaian yang berarti. Cuma kuliah, volunteer sana-sini, cekakakan di belakang gedung satu, begini begitu. Berbeda dengan teman-teman saya yang sepertinya begini begitu begini begitu, begini lagi, begitu lagi. Sekolah di sini, kerja di sini, pindah ke sini, dan pindah ke sana. Pokoknya, perubahannya itu nyata terlihat.

Namun, semakin larut saya dalam hening, semakin saya bertanya ‘jangan-jangan justru saya yang sangat banyak berubah?’. Ya saya tahu, seharusnya perubahan itu memang telak terjadi. Tidak ada ‘ketika’ yang persis sama toh? Dan tentu, kita tidak bisa memaksakan semuanya terus sama ‘kan? Seperti kata orang bijak, yang tetap dari perubahan adalah perubahan itu sendiri. 

Apa yang berubah dari saya? Tentu banyak yang menyadari. Kebiasaan, pola hidup, pemikiran, pandangan, prinsip, dan beberapa hal lainnya. A lot, eh? Dan saya tidak bisa mengatakan semuanya itu baik buat saya. But I’m working on it, I try to define what’s good to me, and what’s not. There’s still a line. Ada fase-fase yang saya rasa membuat saya harus berubah agar saya belajar. Dan bukan tidak mungkin, selanjutnya saya akan tinggalkan perubahan itu. Kembali pada saya yang dulu atau berubah lagi ke arah lain. Semacam labil? Hahaha. 

Kadang saya takut saya terlalu jauh dari saya yang dahulu, dengan prinsip-prinsip tertentu yang saya pegang. Namun, saya tahu bahwa orang-orang sekitar saya begitu bijak untuk membiarkan saya berubah dan juga tetap menjadi pengingat saya agar tidak berubah terlalu jauh. In a mean time, we all are change, right? 

Maaf capruk! :))

Bandung, le 19 Septembre 2011