Friday, December 27, 2013

Belajar Berkisah


 

"Gue selalu merasa kalau permasalahan gue nggak serumit milik orang lain. Mereka pasti punya problem yang lebih besar. Jadi, nggak gunanya juga cerita sama mereka dan harusnya masih bisa diselesaikan sendiri,” ujarmu di suatu malam.

Ah, familiar. Agaknya pernyataan itu membawa saya mundur ke beberapa tahun silam. Ketika saya merasa lebih baik berada di kubus dengan dinding tebal yang dibuat sendiri. Rasanya terlalu egois untuk mengajak orang sekadar mampir dan mendengarkan cerita, sedangkan mereka punya urusan sendiri yang mungkin lebih berat –seperti yang kamu bilang. Bukankah mereka pun tak bakal bisa merasa dan berpikir seratus persen sama dengan apa yang ada di hati dan benak saya? Maka lebih baik, simpan saja dan nikmati kepenatan itu sendiri, tak perlu menyeret orang pada hal yang tak mereka alami. Belum lagi, perasaan bersalah segera menghampiri setelah memaksa diri berkisah pada mereka. Terus berlama-lama seperti itu hingga segala yang negatif mengendap dan hanya bisa menyeruak lewat tulisan-tulisan yang tak jelas intinya –dan bikin ngakak kalau dibaca sekarang.

Tapi dasar manusia peniru, lebih baik belajar saja dari perilaku orang lain demi bisa bertahan. Lihat saja, ada beberapa orang yang tak ambil pusing jika teman-temannya telah menanggung problem berat dan tetap mengocehkan tentang perkara pribadinya. Ada pula mereka yang sengaja bercerita demi dapat simpati, memaksa orang lain merasa dan berpikir tentang hal yang ada di dalam dirinya. Kadang pula, ada orang yang hanya mendengar sambil lalu dan tak peduli sama sekali dengan cerita yang telah disampaikan. Atau malah ada pula yang menaruh perhatian dan menyimak dengan seksama. Namun jika beruntung, ada juga mereka yang bikin kau berpikir makin keras dan malah bikin nyaman. Ada saja.

Tapi dunia tak selalu peduli dan kita tak selalu menjadi pusat perhatian. Belum tentu mereka ambil pusing atas celotehan kita yang tak jelas juntrungannya. Kadang saya, kamu, kita, dan kami tak butuh kebijaksanaan apapun. Yang dibutuhkan mungkin hanya seorang atau dua teman (yang cukup dipercaya) untuk duduk bersama, walaupun dia cuma akan duduk diam dengan wajah bosan, konsentrasi buyar, dan kantuk yang tertahan. Dan meski pada akhirnya kita akan selalu sendiri, label makhluk sosial tak bakal bisa hilang begitu saja. Ada yang hakiki dari pertemanan.

Kata orang bijak, bercerita adalah terapi dan eliksir. Adakalanya benar, meski banyak percakapan menarik hampir selalu terjadi di penghujung malam yang malah bikin sakit.

Sharing is caring. No?

Jakarta, Le 25 & 27 Decembre 2013

                                                                                                                                   
 

Monday, November 18, 2013

Bias Batas


Kabut tak segera terbilas
Meski hujan turun dengan lekas
Yang ada malah dingin yang makin beringas
Ditambah langkah yang malas
Pijakan yang tak jelas
Plus wajah yang kian melas
Tapi masih saja ada yang harus dibahas.


Dan di mana batas?
Atau memang selalu tak jelas?



Bagi Curtis (Chris Evans) dalam Snowpiercer, batas itu dikikis sedikit-sedikit selama 18 tahun. Dalam kurun waktu itu, ia merencanakan pemberontakan atas ketidakadilan yang diterima oleh orang-orang bagian ekor dari kereta superkuat itu. Pada saatnya, ia nekat menerjang para tentara Wilford Industry dan akhirnya membuktikan sendiri kalau senjata-senjata yang dipergunakan untuk menakuti mereka selama ini ternyata tak berpeluru. Dan demikian kisah dimulai. Segalanya berlanjut dan berakhir dengan plot yang ia sendiri tak mengerti. Tapi jelas ada yang berubah setelah batas diterabas.

Walter White (Bryan Cranston) dalam Breaking Bad pun hampir serupa. Dengan kanker yang menggerogoti dirinya, ia tahu harus binasakan batas apapun. Demi keluarganya, demi dirinya. Ia singkirkan sekat antara legal dan ilegal. Antara baik dan buruk. Antara pahala dan dosa. Antara sehat dan sakit. Antara rasa dan logika. Ia meleburkan semuanya meski tak selalu berhasil baik. Hidupnya terguncang dalam hening yang disimpannya sendiri. Dan jelas ada yang berubah setelah batas dilibas.

Jakarta, le 18 Novembre 2013


Thursday, November 14, 2013

Hati Hangat


Happiness

Suatu hari, saya duduk di sebuah bis kota yang akan mengantarkan saya ke rumah saudara. Di tengah jalan, saya melihat seorang ayah mengobrol sambil menggandeng anak laki-lakinya untuk menonton pertandingan bola di Senayan. Kali lain, saya berjalan di sebuah trotoar yang penuh sesak dengan pedagang. Di depan saya, seorang kakek menolong istrinya untuk turun dari mobil.

Lalu, pernah juga menjelang liputan, saya belum sempat makan siang tapi masih terjebak di taksi. Supirnya lalu minta izin untuk mengangkat telepon. Curi dengar dong pasti! Percakapannya singkat saja, sepertinya orang di seberang telepon mengingatkannya untuk makan siang. Dijawab bapak itu dengan, "Iya, setelah ini makan siang, sekarang sedang ada penumpang. Kamu makan apa?" Rupanya, sang cucu yang telepon dan "memerintah" kakeknya untuk makan siang.

Hal-hal kecil tersebut tak terasa bikin senyum saya terkembang. Hati lalu merasa hangat dan bikin mikir, kalau selalu saja ada hal yang bakal membuat hari indah. Seburuk apapun hari itu. Tanpa bermaksud sok positif atau terlalu optimis tapi toh memang begitu kenyataannya. Seringkali begitu. Pun ketika kesenangan hadir bertubi-tubi, pasti ada kemurungan yang muncul di pertengahan atau akhir hari. Ya, mungkin sudah hukum alam untuk mencoba mencapai keseimbangan.

Lalu, apa yang bisa bikin hati hangat malam ini dan sejenak lupakan pikiran-pikiran nggak penting yang berseliweran? Pertukaran pesan dan semangat dengan teman lama, ucapan selamat tidur dari kawan baik, pembicaraan ngalor ngidul, pelukan yang tak terduga, kenangan yang ambigu, bayangan tentang pantai, lagu favorit, atau tulisan ini (karena sudah lama nggak nge-blog. :p)?

Jakarta, 14 Novembre 2013

Monday, September 2, 2013

Ocehan Pejalan

Serenity.

Kalau ada yang bilang life is a journey, maka saya akan mengiyakan. Lalu jika ada yang bilang life is an absurd journey, maka saya akan angguk-angguk menyetujuinya. Tambah lagi, misalnya ada yang bilang life is a long absurd journey, saya akan mengamininya dengan lantang.

Di tengah lelah menjalani hidup yang tak bisa terduga, hebat juga manusia-manusia yang bisa terus bertahan hingga di akhir hayatnya. Ketika banyak juga yang memutuskan untuk segera mati dan mengakhiri perjalanan, maka adalah sebuah keberanian untuk melanjutkan hidup yang tak selalu mudah dan kadang terlalu berliku.

Maka tak salahlah –bagi yang memilih hidup–  jika mengambil jeda sejenak. Duduk bersandar pada pohon yang teduh. Menenggak air dingin atau teh rasa peppermint yang melegakan kerongkongan. Menghela napas sedalam mungkin hingga oksigen memenuhi rongga paru-paru. Dan mengudap sekerat roti untuk menambah tenaga. Atau berbelok sedikit dari tujuan untuk mendapatkan penghiburan.Atau juga pejamkan mata berdetik-detik agar tercapai lagi keseimbangan yang seharusnya.

Maka berterimakasihlah pada semesta jika masih ada orang yang mau menemani berjalan menyusuri ketidakpastian. Sebagai tempat berbagi lelah yang dirasa dan menyandarkan tubuh di kala goyah. Dengarkan ocehan-ocehannya yang kadang tak masuk akal karena dehidrasi dan delusi. Biar berbalas argumen yang tak bakal berujung. Genggam erat jemarinya karena tak tahu hingga kapan ia betah menemanimu berjalan bersisian. Lepaskan tawa tanpa beban yang mengurangi rasa jengah yang mendera.

Setelah perbincangan di akhir minggu bersama beberapa teman baik.

Jakarta, le 1 & 2 Fevrier 2013

Monday, July 22, 2013

Keluh Kesah

Kamis lalu, setelah bergulat dengan macet yang menyesakkan dada pas pergi ke tempat liputan, saya memutuskan untuk bertemu seorang teman sebelum pulang ke kosan. Teman lama yang sudah tua. Hahaha. *dikeplak* Dia tinggal di Bogor dan tak setiap hari datang ke Jakarta. Pekerjaannya sebagai pekerja lepas di sebuah media bertema teknologi bikin dia lebih pilih ngendon sendirian di rumah. Sebelumnya, kami sempat janjian untuk bertemu karena saya berniat mengembalikan barang yang saya pinjam berbulan-bulan lalu. Tapi sulit sekali rupanya mencocokkan jadwal kuli-kuli ini. Beberapa kali janjian tapi tak pernah terlaksana.

Seperti jamaknya pertemuan-pertemuan sebelumnya, kami berbagi informasi tentang gadget. Dia memang punya ketertarikan tersendiri pada benda-benda seperti itu, geek, sedangkan saya juga menulis tentang gadget, suka pada benda-benda mahal itu, tapi gaptek. Hahahahaha. Pembicaraan berlanjut ke hal yang lebih serius. Tentang keinginan-keinginan membeli gadget tapi alokasi dana terlalu terbatas. Maka obrolan malam itu berujung pada ketidakpuasan kami dengan upah dan kerja yang didapat. Ya, namanya juga anak muda. Haha. 

Saya ingat nyeletuk, "Aduh, maaf ya, aku ngeluh terus." Lalu dia jawab dengan enteng, "Ya, nggak apa-apalah sekali-sekali ngeluh, nggak bayar ini kan?" Dan saya senang karena dia bilang begitu.

Selama ini, saya berusaha tak mengeluh, jikapun berkeluh-kesah, dalam hati saja. Tak usah diungkapkan. Meski kadang berhasil, kadang juga tidak, karena godaan untuk melakukannya terlalu besar. Kerjaan yang nggak selesai-selesai, teman-teman yang menjengkelkan, cucian yang nggak kering-kering, ibu yang susah diajak bicara, sepatu yang rusak, dan lain-lainnya. Banyak banget hal yang bisa bikin saya mengeluh setiap hari! Namun, dengan disertai akal jernih, saya sebisa mungkin menyimpan keluhan itu dalam hati. Kalau sudah tak tahan, teman-teman dekat bakal jadi tempat sampah untuk menampung ocehan-ocehan itu. Tak jarang, yang terjadi juga sebaliknya. Saya mengeluh dalam hati, mereka mengungkapkan keluhannya dan saya langsung bersyukur karena hidup saya tak seribet mereka. Lagipula, terlalu sering mengeluh juga menurut saya nggak asyik karena bikin orang lain terinfeksi, buang tenaga, dan bikin nggak semangat.

Tapi malam itu lain, seorang teman malah mengingatkan kalau kita boleh mengeluh dan berbagi kekhawatiran. Sedikit saja, sekali-sekali saja. Halal. Gratis pula. Siapa tahu malah bebannya sedikit berkurang. Dan lalu saya sambut ungkapannya, "That's why i need to talk to you and the other friends sometimes." Bagaimanapun, saya memang punya kebutuhan untuk bertemu dengan salah satu dari mereka untuk tetap waras. Dan lalu ia balas, "Yaelah, kayak baru kenal kemarin deh."

Lalu dua orang teman lainnya menyusul dan mereka bikin hari saya tambah menyenangkan. ;)


Bandung, le 21 Juillet 2013

Wednesday, July 17, 2013

Terus Tulis



Atau harus mengetik pakai ini?


Mana, katanya minimal sebulan satu tulisan? Hahaha. Janji yang tak pernah tertepati.

Beberapa minggu terakhir, saya banyak menghabiskan waktu untuk berkunjung ke blog orang. Kalau biasanya untuk kepuasan sendiri, kali ini untuk tugas kantor.. Mau tidak mau, saya jadi banyak baca tulisan orang-orang. Rasanya malu sendiri karena tak rajin mengisi blog ini. Entah bagaimana, mereka-mereka itu kok bisa konsisten menulis di jurnal pribadinya. Seperti ada saja hal seru yang bisa diceritakan dan punya cukup waktu untuk mengelola rumahnya dengan rajin. *tutup muka* Bahkan ada rasa sebal ketika si empunya blog yang saya kunjungi tak rutin menulis. Mungkin itu yang dirasakan ketika orang bermain ke lahan saya ini. Eh, itu juga kalau ada yang bertamu sih. Hahaha.

Perkara menulis ini memang gampang-gampang susah sih. Apalagi untuk seseorang yang bekerja di media dan bagian redaksi pula. Kalau analisis saya dan teman-teman, walaupun menulis untuk diri sendiri itu semacam upaya pelepasan stres tapi pekerjaan sehari-hari yang memaksa menulis juga sudah bikin jengah. Jadi ya, terabaikan. Pa to the yah! Mau dirangsang dengan suasana nyaman untuk ketak-ketik pun tetap saja kata-kata yang berseliweran di otak tak bisa tersalurkan dengan lancar. Hyah!

Dari blogwalking ini, saya makin sadar kalau bisa menilai dan merasai orang dari tulisannya. Beberapa bahkan ada yang bikin mangap karena pemikirannya. Lalu jadi menelusuri rasa para blogger yang dituangkan lewat untaian kata-kata yang mereka pilih. Hebat mereka itu!

Yuk ah, nulis lagi.


Tapi bohong lagi pasti. Hahaha.
Apalagi di tengah deadline menjelang Lebaran ini. Ouch!


 Jakarta, le 16 Juillet 2013.

Friday, May 10, 2013

Soal Sigur Rós di Singapura


Dalam rangka nggak jadi nonton Sigur Rós di Indonesia, maka saya putuskan untuk menyelesaikan tulisan yang nggak pernah kelar sejak enam bulan lalu ini. Sedikit banyak, inilah ceritanya.
  
Setelah segelas bir (mahal) habis, akhirnya mereka muncul juga di panggung. Layar mulai ramai dengan video dan bebunyian dari alat musik gesek bersahutan dengan denting glockenspiel. Teriakan “Cang ci men, cang ci men!” ala bis di Indonesia dan “Please sit down!” pun berganti dengan Icelandic dan Hopelandic dari Jónsi. Seketika kekecewaan nggak jadi foto bersama si vokalis (padahal udah sebelah-sebelahan) pun terobati. Perjalanan resmi dimulai!

Seperti biasanya ketika saya mendengarkan musik-musik Sigur Rós, kali ini mereka juga bawa efek yang sama. Bulu kuduk meremang dan bukannya hilang dan tenang, pikiran makin melantur tak karuan dan berdatangan minta penyelesaian. Di beberapa lagu, efeknya berkali lipat. Bikin pengen nangis dan peluk semua orang yang datang di situ. Hahaha. Duh, lebay ya? Nggak sih. Karena memang itu yang benar-benar saya rasakan ketika menonton mereka dari jarak dekat. Coba kalau punya sayap, kayaknya saya sudah melayang-layang di langit sambil nonton konser ini. Luar biasa. Satu hal dalam bucket list akhirnya bisa saya coret.

Setelah dibuka dengan “Í Gær”, konser malam itu dilanjutkan dengan “Vaka” yang bikin gelisah. Lagu ketiga, “Glósóli”, pun makin megah berkat gesekan (iya, digesek) gitar Jónsi dan hentakan drum Orri yang penuh energi. Keren bangettttt! Dan selanjutnya, hampir tanpa jeda, mereka membawakan “Svefn-g-englar” dari album Ágætis byrjun, “Sæglópur” yang intronya enak banget, dan “Fljótavik”, salah satu lagu kesayangan saya. Uyeah! Selama konser, kami sudah nggak bisa komentar apa-apa lagi, cuma bisa bengong, takjub, dan sesekali teriak-teriak “Oh My God” atau “Oh, Tuhan!”. Benar-benar membius! Apalagi Jónsi benar-benar nggak ngomong sepatah kata pun di pergantian lagu. Mereka nggak ngasih kesempatan untuk sebentar saja ke menapak ke tanah, sebaliknya malah terus-terusan menghujani kami dengan lagu-lagu indah itu. Semacamnya mereka pengen bilang, “Nih, rasain! Let your vein and spine absorb it all.”


Lumayan enak posisi nontonnya. :D

KLB: Konser Luar Biasa!

Akhirnya, di tengah-tengah intro yang sangat lekat di telinga, si mas vokalis baru deh bilang terima kasih pada penonton yang sudah datang. Lalu mengalunlah “Hoppippolla” yang diiringi teriakan penonton pas Hoppippolla-nya doang dan seperti biasa, disambung dengan “Með “Blóðnasir. Pas dua lagu ini, grafis yang ditayangkan di backdrop-nya bagus banget! Apalagi pas bagian Jónsi ngajak penonton nyanyi. Super! Lanjut lagi, mereka bawakan “Olsen Olsen” yang diiringi suara oboe yang menenangkan. Makinlah kami membayangkan nonton mereka di Islandia sana, macamnya di Heima itu. Ketenangan pecah ketika “Festival” memasuki bagian refrain. Bising banget, tapi bising yang merdu! Halah. Setelah berasyik-masyuk di masa lalu, inilah saatnya mereka bawakan lagu-lagu dari album Valtari. Yang dibawakan pertama adalah “Varúð” yang diiringi gerimis manis. Setelah penutup yang heboh, Jonsi bilang terima kasih lagi sambil memperkenalkan lagu terakhir. Lagu ini adalah lagu terbaru mereka dari album yang akan datang, “Brennisteinn” dari Kveikur.

Meski Sigur Rós telah mencukupkan konser itu tapi penonton bilang belum cukup dong pastinya. Masih pengen pada orgasm dan eargasm kayaknya. Maka diberilah kami dua lagu lagi: “Ekki Múkk” yang disajikan lengkap dengan video klipnya dan Untitled 8 atau “Popplagið”. Dan di dua lagu terakhir itulah hujan turun. Bukan gerimis manis, tapi hujan lumayan deras  dan makin deras yang bikin semua penonton malah teriak dan tepuk tangan kegirangan. MAGICAL!

Meski kuyup tapi semua pulang dengan keadaan berbahagia. Ada beberapa lagu kesukaan yang nggak dibawakan sih, macamnya “All Alright”. Tapi udahlah, memang nggak bisa protes apapun karena konsernya menyenangkan sekali. Brass dan string section-nya juga bagus! Bikin pertunjukan makin megah, nyesss, dan ramai.

Jarang inget maksud atau arti lagunya sih, tapi tetap saja mampu bikin suara tercekat, pikiran ngalor-ngidul-sekaligus-kosong, mata merem melek biar air mata yang jatuh nggak terlalu banyak, deg-degan, menggigil karena keujanan, semuanya campur aduk. Sampai sekarang, masih suka girang dan merinding sendiri kalau ingat konser itu. Soalnya belum nonton Coldplay. Hahaha.

Konser November 2012 di Fort Canning Park itu pun berasa seperti di Indonesia, dengan cuaca yang adem dan yang datang pun mungkin tujuh puluh persennya adalah orang Indonesia. Hahaha. Jadi, kalau ada yang mau nonton hari ini di Tennis Indoor Senayan, silakan menikmati sepenuh hati!


Fotonya diambil dari sini. (1) Sebelum konser mulai. (2) Hujan di pengujung. (3) Takk!


Takk, Sigur Rós!

*Fotonya hanya pakai kamera ponsel yang seadanya karena kami nggak ada yang bawa kamera beneran. :p




Jakarta, le 10 Mai 2013

Wednesday, May 1, 2013

Koleksi KARE


Sekitar sebelas bulan lalu, saya mulai foto untuk rubrik home and living di tempat ini dan berkenalan dengan creative director-nya yang baik hati (in case, he eventually reads this post. :p). Dengan senang hati, ia mengantar saya berkeliling untuk melihat koleksi terbaru mereka dan memberi saran tentang barang-barang yang bisa difoto sesuai tema bulan itu. Dan usai pemotretan pertama itu, saya jadi pengunjung tetap tenant mereka yang berada di Senayan City lantai 6. Tak hanya sekali dalam sebulan, bahkan mungkin dua hingga tiga kali. Dan tidak pernah membeli apapun, hanya survei atau foto produk saja, meski ngiler setengah mati dengan beberapa barang mereka. Not to mention, one comfy beige couch worth Rp100 million. #pengsan

KARE, gerai pamer interior yang satu ini, adalah waralaba dari Jerman dan tersebar di banyak negara, seperti Australia, Mesir, Prancis, Austria, Cina, Rusia, dan lain-lain. Di Indonesia ini, KARE ada di Jakarta dan Surabaya dan toko pertamanya di Senayan City sudah berdiri sejak Juli 2011. Selain di Senayan City, mereka juga punya spot jualan di Lippo Kemang.

Boleh dibilang, KARE ini salah satu tempat favorit saya untuk keliling-keliling cari produk yang bisa difoto. Karena koleksi mereka cukup bervariasi dan penuh warna, seperti yang dicari oleh majalah tempat saya bekerja. Meski beberapa bulan terakhir juga ada koleksi yang didominasi warna putih dan perak tapi yang warna-warni juga tetap banyak. Bikin ceria! Halah. Selain warna-warna ceria, mereka juga tetap punya tone warna dan tema sendiri untuk masing-masing “ruangan” yang dipamerkan. Misalnya, bertema jeans, warna putih, hitam, rustic, atau terbuat dari material kulit. Tema yang diambil contohnya adalah tema Inggris, seperti yang penah saya perlihatkan gambarnya di sini. Buat ukuran Indonesia, padu padannya memang cukup berani sih. Oh ya, barang-barang yang dijual pun unik. Ada celengan berbentuk kamera Polaroid, lukisan retro, meja dengan banyak laci, dan rak bunga-bunga yang saya pengen banget! Hahaha. Tapi satu kekurangannya, harganya cukup mahal. Pricey! Yang paling murah adalah bebek karet warna kuning yang dijual Rp30.000,-. Hahaha

Suka sekali sofa dari bahan denim ini.


Motif peranakan yang meriah

Nah, kalau di Senayan City biasanya tercium wangi campuran jejahean dan bunga-bungaan, aroma tersebut akan makin tajam kalau masuk KARE. Buat saya, wanginya khas dan jadi identitas sendiri. Saya pernah berada di suatu tempat yang punya aroma seperti itu dan secara tak sadar, si otak ini langsung memetakan penataan tempat furnitur itu. Idih! 

Foto sama om penjaga KARE (foto oleh Yudi)

Jakarta, le 1 Mai 2013

Maafkan ya foto-fotonya begini amat. :p

Friday, April 26, 2013

Ingat Interior


(Nggak terasa) Sudah setahun ini, saya menyambangi beberapa toko furnitur untuk foto barang-barangnya dan kemudian dipajang di majalah tempat saya bekerja. Instruksinya mudah saja: cari tema, pilih-pilih barang yang akan difoto, bikin surat, dan jreng.. lalu foto di tempat yang bersangkutan. Iya, memang sesederhana itu kedengarannya tapi kenyataannya, lumayan. Hehehe.

Permasalahan yang paling sering ditemui adalah tentang ketersediaan dan variasi, apalagi saya butuh lebih dari 15 barang dengan tema yang sama. Berapa banyak sih toko furnitur di Jakarta Raya ini? Banyak, of course. Tapi jenis barangnya hampir mirip, kurang bervariasi. Misalnya, sekarang sedang musim barang-barang dari kayu, semua toko yang saya datangi pasti memajang benda yang sama atau hampir serupa dengan tema kayu. Kalau lihat contoh artikel dari Jerman, kok kayaknya enak ya di sana, banyak benda unik dengan warna-warna segar. Tapi untungnya, walaupun mepet atau lewat tenggat (ups!), furnitur atau dekorasi itu selalu terkumpul. Ayo, semua bilang "Amin" dan "Alhamdulillah"!

Tentang itu, saya pernah ngobrol dengan seorang creative director dari toko interior ternama di Senayan City, Jakarta. Dia bilang, memang orang Indonesia kurang suka bermain warna di hunian mereka. Yang lebih dipilih adalah warna-warna netral, seperti putih, perak, krem, bernuansa kayu, dan sejenisnya. Warna-warna gonjreng, seperti merah, hijau, kuning, dan lainnya kurang diminati. Mungkin takut salah padu padan warna atau memang simply nggak suka warna-warna terang yang kadang cuma jadi tren musiman. Jadi, main aman saja. Kalaupun ada yang suka, pilihan jatuh ke printilan atau aksesori, seperti pajangan, jam dinding, atau bantal.

Jadi, untuk memenuhi kebutuhan artikel tentang home & living itu, saya sering jalan-jalan ke Kemang atau ke beberapa wilayah lainnya, jalan kaki menyusuri jalanan sempit yang jarang ada trotoarnya, dan masuk ke beberapa toko penjualan furnitur dan teman-temannya. Dan ajaibnya, meski terkadang agak susah nyarinya dan agak ribet angkutan umumnya, tapi selalu nemu tempat yang bikin ingin nangis terharu karena berjasa dalam penyelesaian artikel saya. Beberapa mungkin akan di-posting di sini. Yeay! *bohong pasti. :p*


Salah satu tempat favorit


Berkunjung ke tempat-tempat seperti itu, awalnya memang terasa seperti kewajiban dan hanya demi kebutuhan artikel. Tapi lama-kelamaan, dhuaaar, saya seperti diingatkan lagi keinginan di masa lalu: jadi desainer interior atau arsitek. Hahahahiks. Jadi punya kebutuhan untuk berkunjung ke toko interior atau furnitur dan betah banget sampai malas pulang. Haha. Inginnya kayak Summer dan Tom yang keliling IKEA dan tidur-tiduran di kasurnya. :p

Untungnya di sini belum ada IKEA dan tugas saya nggak seribet tugas desainer interior. Horray!

Jakarta, le 26 Avril 2013


Friday, April 12, 2013

Kering Kerontang

Tadi sedang browsing dan menemukan penginapan lucu dan nyaman, sepertinya. Lokasinya di Bayah dan dinamakan Roemah Pulomanuk. Lalu bersama teman sebelah, saya berandai-andai untuk punya rumah atau penginapan yang sejenis itu. Membayangkan punya properti di sisi pantai dengan sentuhan shabby tapi tetap chic (ya, bilang shabby chic aja kali, Di.). Bahas sedikit tentang cara pembuatan furnitur macam itu dan pilah-pilih lahan yang pas serasa punya uang Rp5 miliar di rekening bank. Haha. Ah, tapi memang bermimpi itu mudah dan gratis, 'kan? Sah, dong!

Tak lama, pembicaraan mengalir ke Pangumbahan dan sekitarnya, saya lalu bertanya perihal nama penginapan di "pintu masuk" Pangumbahan. Sudah lama ingin ingat namanya, tak ada yang beri jawaban memuaskan, tapi juga tak punya waktu (dan uang) untuk pergi sesegera mungkin ke sana. Haha. Kalau ada yang tahu, boleh beri tahu, ya. Dan lalu, ingat tentang kuliah kerja nyata (KKN) pada pertengahan 2008 silam karena kebetulan saya dapat lokasi di Sukabumi Selatan, tak jauh dari Pangumbahan itu. Tiba-tiba teringat tentang sawah brownies karena masa itu sedang kemarau. Kering. Kayak kulit yang tak pakai lotion setelah dua bulan berjemur di bawah sinar matahari .

Nah macam itulah sawah brownies-nya


Dua bulan yang cukup menyenangkan jika yang diingat hanya pantai-pantai di sekitarnya saja. Selebihnya, tak usah diingat. Haha. Anyway, i know that you don't wanna see my face. So, i edited the photo. :p

What's the point of this post? Nggak ada sih. Cuma tiba-tiba teringat yang tak mau diingat saja. Heu.

Jakarta, le 12 Avril 2013


Friday, March 15, 2013

Harus Hilang


I postpone death by living, by suffering, by error, by risking, by giving, by losing. (Anaïs Nin)

Sudah berapa kali kamu mengalami kehilangan? Jepit rambut, uang, telepon genggam, kartu ATM, dompet, tas, komputer jinjing, buku, baju, sepatu, dan bahkan, seseorang. Saya sudah mengalami semuanya. Bagus! Jadi, harusnya sudah terbiasa dengan kehilangan dan tak sedih-sedih amat ketika mengalaminya kembali. Tapi apa memang jadi seperti itu? Apakah jadi numb ketika benda-benda itu tercecer atau orang-orang itu lenyap untuk ke sekian kalinya? Tidak, sama sekali tidak.

 Tetap saja ada sesal dan kesal dalam diri mengapa tidak menjaganya baik-baik, mengapa tidak sempat melihat atau mengucapkan kata-kata perpisahan yang pantas untuk terakhir kalinya? Sounds pathetic? Memang. Apalagi bagi saya terbiasa mengucapkan ‘terima kasih’ (dalam hati, tentunya) untuk barang-barang yang sering saya gunakan, terutama yang over abused. Haha. Oh, dan satu lagi, apalagi kalau barang itu mahal dan tak bisa dibeli semudah menjentikkan jari. Tak bakal nangis-nangis dan peluk-peluk pohon sih tapi rasa dongkol itu yang tak gampang dihilangkan. Antara mengutuki keteledoran diri, mengambinghitamkan ketidakberuntungan, atau menyalahkan diri sendiri tanpa sebab. Apa memang separah itu? Kadang-kadang begitu, saya akui. Yang seringnya lagi, kita tak menyadari di mana hilangnya benda-benda tersebut, diingat-ingat seberapa keras pun tetap tak ingat. Tak juga tahu bagaimana proses hilangnya (jangan ada yang bilang: kalau tahu prosesnya, maka bukan hilang namanya. Zzz.). Dan itulah yang dikatakan teman saya semalam, “Iya, hal yang paling buruk dari kehilangan adalah kamu nggak tahu apa yang terjadi.”

 Sebenarnya, saya juga tak posesif-posesif amat pada barang-barang yang saya miliki. Atau justru seharusnya malah posesif? Tapi kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya perlakuan Ryan Bingham di Up in The Air. Ia bekerja untuk memecat orang, tanpa hati, tanpa pikir panjang, dan hanya menjalankan pesanan dari perusahaan yang tak sampai hati merumahkan pegawainya. Intinya, lelaki tampan yang diperankan oleh George Clooney itu bilang, tak perlulah kita merasa punya intimasi atau rasa memiliki pada benda-benda dan orang-orang di sekitar kita. Agar pundak tetap terasa ringan, tak ada pengikat, dan langkah pun jadi ringan. Hilang satu tentu tak masalah, tak bakal ada kesedihan karena perasaan kosong yang terbawa pergi bersama orang atau benda itu. Ah.

Mau berlaku seperti itu? Tapi akhirnya, ia pun merasa ada sesuatu yang kosong dan harus diisi dengan perasaan memiliki atas benda atau orang. Seperti itulah lebih kurang.

 Jadi, bagaimana? Sudahlah, sepertinya memang selalu harus ada rasa yang hilang bersamaan dengan kehilangan atas sesuatu. Meski sedikit. Meski hanya sepersejuta persen. Deal with it.


Jakarta, le 15 Mars 2013