Sore tadi, kami sedang menikmati makanan yang terhidang di depan kami. Di sela-sela obrolan dan cairan sambal yang terciprat ke mata, kami dikejutkan oleh teriakan seseorang yang sedang marah. Bahkan orang di seberang jalan sampai berhenti sejenak dari aktivitas mereka dan memperhatikan orang yang sedang marah-marah itu. Rupanya penyebab kemarahan yang membabi-buta itu adalah mobil teman kami yang terparkir di depan rukonya.
Seorang laki-laki, sepertinya dari pulau seberang, berteriak-teriak keras sekali dan menanyakan mobil siapa yang terparkir di depan rukonya. Ia berteriak seperti kesetanan sambil memukul bagian badan mobil beberapa kali. Untungnya tidak ada luka sedikit pun pada mobil itu, kecuali luka batin. #eaaa.
Ketika menyadari bahwa itu adalah mobil milik seorang dari kami, ia menuju sumber kemarahan dan terlibat pembicaraan –kalau makian si laki-laki yang marah itu bisa disebut berbicara- dengan pemilik ruko. Rupanya sudah beberapa kali lahan di depan rukonya dipakai parkir oleh orang lain dan ia tidak bisa memarkir kendaraannya di tempat itu.
Sepele? Menurut kami ya. Apalagi ia tidak meletakkan tanda apapun agar orang lain tidak menempati lahan parkirnya. Sedangkan orang tidak mungkin tahu bahwa ruko itu berpemilik jika ruko yang dimaksud adalah ruko yang gelap, pintunya ditutup, dan tidak ada plang apapun. Berlebihan jika pemilik ruko lalu memaki semua orang, berteriak, memukul mobil teman kami, dan mengancam sambil membawa besi.
***
Marah. Ya, orang itu sedang marah. Dan marah itu adalah ungkapan emosi hal yang normal, bukan? Normal jika dalam kadar tertentu. Jika seseorang marah lalu mencaci maki membabi buta atau bahkan membunuh seseorang tanpa pikir panjang, itu baru tidak normal. Apalagi jika permasalahannya sepele saja. Malah terlihat tolol dan auranya negatif. Kalau keseringan marah juga kurang bijaksana dan bikin keadaan tambah runyam. Dalam takaran yang pas, kuantitas yang tidak terlalu banyak, dan kontekstual, saya percaya kalau marah itu tidak destruktif dan bahkan bisa menyelesaikan masalah.
Saya pun kadang marah. Bahkan saya merasa butuh suatu pelatihan untuk mengatur kemarahan saya. Bedanya, saya tidak memiliki masalah dengan kemarahan yang membabi buta dan berteriak kesana-kemari seperti orang gila yang sedang kambuh. Saya merasa butuh pelatihan untuk meluapkan kemarahan saya pada orang yang tepat. Seringnya, saya hanya memendam amarah, menulis hal-hal yang tidak jelas, menangis, atau bahkan tertawa. Agak sebal juga kalau memendam amarah, mengutuk dalam hati, menambah dosa sendiri, dan hanya berujung pada pusing kepala.
Saya merasa kadang salah menyalurkan amarah saya. Dan saya rasa, saya bukan satu-satunya orang yang merasa demikian. Beberapa orang di dunia ini terlalu baik dan terlampau tidak pernah marah pada sesuatu yang seharusnya mereka boleh marah. Kadangkala, kemarahan itu memang harus diluapkan asal tidak luber dan membanjiri orang lain. Takarannya harus pas. Tidak lebih dan tidak kurang. Begitu bukan?
Bandung, le 19 Juillet 2011