Tuesday, July 19, 2011

Anger Management

Sore tadi, kami sedang menikmati makanan yang terhidang di depan kami. Di sela-sela obrolan dan cairan sambal yang terciprat ke mata, kami dikejutkan oleh teriakan seseorang yang sedang marah. Bahkan orang di seberang jalan sampai berhenti sejenak dari aktivitas mereka dan memperhatikan orang yang sedang marah-marah itu. Rupanya penyebab kemarahan yang membabi-buta itu adalah mobil teman kami yang terparkir di depan rukonya. 

Seorang laki-laki, sepertinya dari pulau seberang, berteriak-teriak keras sekali dan menanyakan mobil siapa yang terparkir di depan rukonya. Ia berteriak seperti kesetanan sambil memukul bagian badan mobil beberapa kali. Untungnya tidak ada luka sedikit pun pada mobil itu, kecuali luka batin. #eaaa.
Ketika menyadari bahwa itu adalah mobil milik seorang dari kami, ia menuju sumber kemarahan dan terlibat pembicaraan –kalau makian si laki-laki yang marah itu bisa disebut berbicara- dengan pemilik ruko. Rupanya sudah beberapa kali lahan di depan rukonya dipakai parkir oleh orang lain dan ia tidak bisa memarkir kendaraannya di tempat itu. 

Sepele? Menurut kami ya. Apalagi ia tidak meletakkan tanda apapun agar orang lain tidak menempati lahan parkirnya. Sedangkan orang tidak mungkin tahu bahwa ruko itu berpemilik jika ruko yang dimaksud adalah ruko yang gelap, pintunya ditutup, dan tidak ada plang apapun. Berlebihan jika pemilik ruko lalu memaki semua orang, berteriak, memukul mobil teman kami, dan mengancam sambil membawa besi. 

***

Marah. Ya, orang itu sedang marah. Dan marah itu adalah ungkapan emosi hal yang normal, bukan? Normal jika dalam kadar tertentu. Jika seseorang marah lalu mencaci maki membabi buta atau bahkan membunuh seseorang tanpa pikir panjang, itu baru tidak normal. Apalagi jika permasalahannya sepele saja. Malah terlihat tolol dan auranya negatif. Kalau keseringan marah juga kurang bijaksana dan bikin keadaan tambah runyam. Dalam takaran yang pas, kuantitas yang tidak terlalu banyak, dan kontekstual, saya percaya kalau marah itu tidak destruktif dan bahkan bisa menyelesaikan masalah.

Saya pun kadang marah. Bahkan saya merasa butuh suatu pelatihan untuk mengatur kemarahan saya. Bedanya, saya tidak memiliki masalah dengan kemarahan yang membabi buta dan berteriak kesana-kemari seperti orang gila yang sedang kambuh. Saya merasa butuh pelatihan untuk meluapkan kemarahan saya pada orang yang tepat. Seringnya, saya hanya memendam amarah, menulis hal-hal yang tidak jelas, menangis, atau bahkan tertawa. Agak sebal juga kalau memendam amarah, mengutuk dalam hati, menambah dosa sendiri, dan hanya berujung pada pusing kepala.

Saya merasa kadang salah menyalurkan amarah saya. Dan saya rasa, saya bukan satu-satunya orang yang merasa demikian. Beberapa orang di dunia ini terlalu baik dan terlampau tidak pernah marah pada sesuatu yang seharusnya mereka boleh marah. Kadangkala, kemarahan itu memang harus diluapkan asal tidak luber dan membanjiri orang lain. Takarannya harus pas. Tidak lebih dan tidak kurang. Begitu bukan?

Bandung, le 19 Juillet 2011

Bli Balawan dan Gamelan Maestro Project


Sabtu (16/7) dan Minggu (17/7), acara bertajuk West Java World Music Festival digelar di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Selain diisi oleh pemusik lokal dan nasional, acara itu juga diisi oleh penampilan beberapa musisi luar negeri, semisal dari Malaysia, Burkina Faso, dan Jerman. Diantara mereka bahkan berkolaborasi langsung dengan musisi Indonesia. 

Satu dari sekian banyak musisi yang sangat ingin saya tonton di ajang itu adalah Balawan. Saya sering mendengarkan petikan gitarnya dalam beberapa lagu yang menenangkan. Belum lagi beberapa acara televisi pernah menayangkan kelihaiannya memetik –dan memencet- dawai gitar. Maka sejak dulu kala, saya penasaran ingin menonton langsung aksinya di atas panggung. 

Maka malam itu, minggu (17/7), saya minta ditemani oleh ibu untuk menonton Balawan yang dijadwalkan akan mentas di World Music Festival. Sekitar pukul 20.40, Balawan naik ke atas panggung dan langsung menunjukkan talentanya. Benar-benar The Magic Fingers, JAGO BANGET! Dan saya senang, karena ibu saya juga senang dan kagum atas penampilannya. Jadi tidak sia-sia mengajak ibu. Hehe. 

Balawan sedang membawakan lagu pertama. Itu yang nyempil dan berambut agak pirang adalah istrinya.


Malam itu, ia didampingi oleh Gamelan Maestro Project, yang mana juga sangat keren sekali. Aaaa. Gamelan yang dipakai adalah gamelan khas Bali, yang memang berbeda dengan gamelan dari Pulau Jawa yang "kurang berisik". Gamelan itu memberikan sentuhan-sentuhan ciamik pada petikan gitar Balawan. Jika di beberapa lagu, ia menampilkan suasana syahdu dan tenang. Maka di lagu-lagu lain, ia dan gamelan yang mengiringinya justru menampilkan suasana dinamis, berisik, namun tetapi enak didengar. Bahkan ada satu lagu, kalau tidak salah di lagu kelima, suasana yang tenang itu berpadu dengan ramai yang menghentak-hentak. Keren sekali. 

Balawan dan Gamelan Maestro Project

Di tengah pertunjukkan, Balawan juga mengajak sang istri, Ayu Kamaratih, untuk berduet. Bagus juga. Oh, satu hal lagi yang menambah indah pertunjukkan selama 45 menit itu adalah bulan purnama yang sedang terang-benderang. Entah kenapa, jika ada suatu hal yang indah terjadi dan ditambah dengan sinar bulan purnama, maka saya anggap hal itu berkali lipat indahnya. Hehe. EPIC!  

Menonton yang begini saja sudah bikin senang luar biasa. :)

Bandung, le 18 Juillet 2011

Upacara/Seremoni

Apa yang membuatmu begitu membenci seremoni? 

Beberapa hari yang lalu, saya mengobrol bersama seorang teman melalui layanan instant messaging. Sudah lama tak jumpa ternyata kami ini. Padahal sempat tinggal bersama. Haha. Sounds so wrong. Kami bertukar cerita, sedikit demi sedikit, tidak pula dalam waktu yang lama. Dia bilang ada teman kami yang lain yang sedang menimbang untuk menikah. Great news!

Kemudian dia bilang, katanya si teman yang sedang bimbang dan gundah gulana itu tidak ingin direpotkan dengan upacara adat ini-itu ketika dia menikah nanti. Maklum, ia memang berasal dari suku yang erat kekerabatannya, suka perayaan, dan banyak upacara adatnya. Alasannya pasti satu, karena adat itu dikenal ribet. Ntah dari manapun asal kita ya, yang namanya prosesi adat seringnya memang dihindari karena emang ribet dan banyak tahapan-tahapannya. Sedangkan kita, generasi muda lebih senang yang simpel, nggak pake ribet. Kalau bisa, untuk urusan nikah cuma ke KUA, terus langsung ngamar, main congklak. 

Oh ya baiklah, ndak apa-apa juga sih kalau ndak mau. Bukan saya kok yang nikah. Ahehehe. Etapi, kira-kira akankah saya menikah dengan upacara ini itu yang ribet banget itu? Have no idea sih, ya orang jodohnya saja belum ketahuan siapa, orang mana, namanya siapa. Haha. Tapi, untuk sekarang saya masih bisa bilang saya mau-mau aja pakai upacara nan super duper ribet itu. Kalau memang harus. Kalau ibu saya yang minta, yang mana kecil kemungkinannya beliau minta. 

Selama ini, saya selalu suka melihat upacara adat, dimanapun ia berlangsung. Di acara pernikahan atau sebagai helaran. Indah, imajinatif, dan bermakna ini itu. Tapi, ya itu tadi, memang repot, ribet, dan makan waktu yang lumayan lama. Dan kadang, makna ini itu hanya sebagai simbol saja jadinya. Misalnya, simbol ini untuk mengeratkan hubungan suami-istri, tidak akan cerai atau bagaimana. Nyatanya, yang namanya cerai ya cerai saja toh, tidak ditentukan oleh upacara tertentu yang dilakukan. Atau mungkin malah alasan ‘hanya simbol belaka’ itu yang digunakan oleh generasi muda yang emoh melakukan keribetan-keribetan luar biasa itu? Bisa jadi sih. Tapi itu harus dikonfirmasi pada pihak yang memilihnya. 

Apakah generasi dulu, yang mengagungkan prosesi dalam upacara adat pernikahan, adalah generasi yang lebih berbudaya? Ah, ya nggak juga sih. Bagi saya sebuah upacara adalah masalah keyakinan. Mungkin leluhur yang menciptakan prosesi itu percaya bahwa upacara perkawinan memang harus diisi dengan yang demikian. Dengan upacara itu, dan dengan keyakinan pada makna upacara itu, maka kehidupan pernikahan akan lebih baik. Mungkin sih. Coba ajalah kita jelangkung-an dulu untuk bertanya pada pencetus upacara-upacara itu. *disamber geledek*

Saya pernah wawancara Mahfud M.D, bapak Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia bilang, “Biasanya, semakin jauh dari titik sejarah, semakin terjadi erosi,” ujar Mahfud kala itu. Mungkin ini relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Tapi yaaaa perubahan budaya dan pola pikir kan memang tidak mungkin dihindari ya, apalagi di masa dimana komunikasi -pertukaran informasi- bukan sebagai hal yang sulit bagi sebagian besar orang. 

Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengagungkan kelisanan sebagai cara memperoleh informasi. Jadi mungkin banyak ide-ide dalam upacara yang tidak diketahui maknanya karena hanya disampaikan turun-temurun melalui lisan, bukan lewat tulisan. Sehingga mudah lupa dan sekali lenyap, sulit ditemukan kembali penjelasannya. Tak kenal, maka tak sayang, begitu ujar pepatah. Mungkin saja kita terlalu jauh dari tempat bertolak dan tidak memahami mengenai upacara-upacara itu, maka kita resisten terhadapnya. Ah, mungkin ya. :(

Tapi, kalau bukan kita (yang melestarikannya), siapa lagi? 

Haha, jadi ingat tugas kelompok feature televisi. Kalimat penutupnya, hampir persis seperti itu.


 Bandung, le 17 Juillet 2011

Sunday, July 17, 2011

Fatal.

Dalam psikologi, dikenal istilah “involuntary memory”: kenangan yang muncul tiba-tiba karena dipicu suatu hal yang dengan serta merta membangun kembali satu bagian atau totalitas dari masa lalu. Ini berbeda dengan “voluntary memory”: masa lalu yang coba diingat dengan sadar melalui fakultas intelijensi kita. Apa yang saya alami di atas semacam “involuntary memory”, sementara upaya sadar saya untuk melengkapi dan menyusunnya kenangan akan periode delapan-sepuluhan tahun lalu dengan lebih solid (dan akhirnya gagal) tadi itulah yang disebut “voluntary memory”. (Pejalan Jauh - Madeleine)

 Ini nih, ini nih. Ini banget yang seringkali terjadi pada saya, dan mungkin kamu, dan kamu. Involuntary memory ternyata, nama kerennya. Padahal, situasi demikian sama sekali tidak keren, terutama yang berkaitan dengan dunia pergalauan. Fatal.

Semisal kemarin. Saya iseng, ingin mengisi blog yang sudah lama terlantar ini. Kebetulan ada beberapa posting favorit yang ingin saya repost dari blog yang lama, yang juga lama terlantar. Dari satu tulisan, saya lalu berkelana ke tulisan-tulisan yang lain. Melalui tulisan itu, saya mengingat kembali apa yang terjadi dan mengapa tercipta tulisan itu, yang kadang saya pun heran kapan saya menulisnya. Seperti sedang trance saja ketika menulis beberapa tulisan itu. Alhasil, sekarang suka malu dan mesam-mesem sendiri kalau baca tulisan-tulisan itu, ketahuan sekali kalau dulu saya labil keterlampauan. Fatal.

Nah, masalahnya bukan hanya malu dan mesam-mesem. Tapi lebih jauh lagi, aura galaunya langsung merasuk ke hati. Mood seketika drop dan kebayang-bayang lagi peristiwa dulu. Lengkap dengan konversasi dengan orang-orang tertentu yang terkait, berkelebat lokasi-lokasi tempat berlangsungnya konversasi-konversasi itu, bahkan lagu-lagu yang berkaitan atau setema dengan suasana hati kala itu. Sayangnya, kebanyakan beraura galau, negatif, dan lain-lain yang sejenis.  Fatal.

via (17triangles)


Dalam psikologi komunikasi, hal ini termasuk ke dalam komunikasi intrapersonal dalam proses menerima informasi dan kelanjutannya. Proses seseorang menerima informasi, mengolah, menyimpan, dan menghasilkan kembali informasi terdiri dari beberapa tahapan: sensasi, persepsi, memori, dan tentu saja berpikir. Involuntary memory agaknya termasuk ke dalam tahapan memori. Informasi yang pernah kita terima dan tersimpan sebagai memori bisa dipergunakan kembali sewaktu-waktu dengan berbagai cara. Salah satunya adalah redintegration. Redintegration terjadi ketika masa lalu terekonstruksi melalu satu petunjuk kecil (memory cues).

Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa dilakukan selain menghadirkan si galau itu sampai batas lelah. Dengarkan semua lagu yang sesuai dengan suasana hati hingga tertidur. Setelah bangun tidur, kemungkinannya ada dua, galaunya lalu hilang atau malah menjadi-jadi. Kalau sudah begitu, tidur lagi sajalah.

Nikmatilah lara. (Sementara - Float)

Saturday, July 16, 2011

Berbohong/Kuat?

Dia telah berulang kali jatuh. Dari dekat kau akan bisa lihat lengannya lebam. Pun dengan kaki jenjangnya yang kecokelatan. Ia juga punya codet yang tak hilang. Kali lain, Ia meringis, jemarinya pedih bukan buatan. Kemarin, aku bertemu dengannya. Ia mengaduh, otot perutnya seperti kram. Bahkan untuk menarik nafas pun, ia perlu bersabar.

Lelukanya tak segera sembuh walaupun diobati dengan berbagai obat. Ia sudah coba oleskan krim-krim supaya hilang bekas-bekas luka itu. Ia, dengan telaten, mengompres lukanya dengan air dingin. Tapi, ia berjodoh dengan luka itu. Karena, luka itu rupanya terus ada. Terus menganga. Bertambah perih pada waktu-waktu tertentu.

Aku tau, ia punya luka lain, yang lebih tidak bisa sembuh. Tapi ia sembunyikan luka itu dengan baik, dengan senyum, dengan tawa, dan ia bohongi semua orang. Tapi aku bisa lihat itu, dia luka.

***

Friday, July 15, 2011

Pembuka Pagi

Tadi pagi, menjelang siang sih, saya beli brunch. Brunch-nya sarupaning lotek yang enak banget di dekat rumah. Kebetulan lagi ramai, jadi saya harus mengantri dan menunggu giliran dibuatkan lotek yang saya pesan untuk dibawa pulang. Pembeli sebelum saya adalah seorang perempuan, usia sekitar 30-an, dengan gaya berbusana yang pantas dan enak dilihat. Pembeli sebelum mbak tadi adalah seorang bapak, mungkin usianya sekitar 50-an menjelang 60.

Bapak ini memesan dengan porsi yang aneh. Saya sempat bingung dengan pesanannya, tapi setelah dipikir-pikir, mengapa saya harus bingung, toh bukan saya penjualnya. Krikkrik. Harga satu porsi lotek adalah Rp 6.500,00, tanpa lontong, dan Rp 8.000,00, dengan lontong. Bapak ini memesan satu porsi Rp 6.000,00 dan satu porsi Rp 7.000,00 yang dibagi dua. Jadi, dia akan mendapat tiga bungkus lotek.

"Pak, anu teu rada lada, karetna hijinya (Pak, yang rada pedas karetnya satu ya)," ujar teteh lotek.

"Muhun (iya)," ujar si bapak.

"Anu teu lada, karetna dua nya, Pak. (Yang tidak pedas, karetnya dua ya, Pak)," lanjut si teteh, yang disambut dengan anggukan si bapak.

Ketika si teteh mengangsurkan lotek ketiga pada rekannya untuk dibungkus, si bapak bilang, "Anu lada, teu kedah dikaretan we (Yang paling pedas tidak usah diberi karet saja)."

"Teu dikaretan mah murudul atuh, Pak (Kalau tidak diberi karet, nanti amburadul dong, Pak)," ia menjawab dengan tergelak.

Sukses, bapak itu sukses membuat teteh lotek dan rekan-rekannya tertawa terbahak-bahak. Bahkan hingga melayani pesanan saya, teteh itu masih membahasnya hingga saya pun tak kuasa menahan senyum. Sayangnya tidak kenal siapa-siapa, padahal inginnya ikut tertawa terbahak-bahak. Pagi saya lalu indah.


Bandung, le 15 Juillet 2011

Thursday, July 14, 2011

Ekonomi Kerbau Bingung Pancen Mbingungi

via (khatulistiwa.net)

“Mau apa lagi? Ini WC social. Terpaksa mendengarkan mulut usil itu biasa. Gara-gara buang air, suami bisa cemburu, kan sial ini namanya,” kata seorang wanita. ("Rasa Risi Risau Hilang Sama Sekali", halaman 48)

Ini adalah buku kelima dari Sindhunata yang saya baca, kalau tidak salah ingat. Setelah Anak Bajang Menggiring Angin, Air Kata-Kata, Burung-Burung di Bundaran HI, dan Waton Urip. Dari kelima buku dari Romo Sindhunata, yang paling saya suka tentu Waton Urip. Peringkat kedua ditempati oleh Anak Bajang Menggiring Angin dan buku ini, Ekonomi Kerbau Bingung. 

Seperti buku juga Burung-Burung di Bundaran HI, buku ini berisi kumpulan berita khas (feature) yang dibuat oleh Romo Sindhunata ketika ia masih menjadi wartawan Kompas. Beberapa ditulis berkolaborasi dengan wartawan lain. Buku ini diterbitkan pada 2006 silam, merupakan tipe buku yang sudah tidak ada di pasaran dan hanya bisa dijumpai di pameran-pameran yang diadakan oleh penerbitnya (baca: Penerbit Buku Kompas). Sampulnya yang tidak terlalu menarik, mungkin menjadikan buku ini dulu alpa dari penglihatan saya.

Meskipun diterbitkan lima tahun yang lalu, tapi kita tidak bisa menemukan cerita terkini di buku ini. Feature-feature yang terpilih untuk buku ini adalah feature berlatar 1980-an. Ketika Indonesia sedang merangkak membangun ekonominya. Ditulis dengan sudut pandang rakyat kecil yang sangat kecil. Beberapa kisah terasa terlalu pilu untuk terus dibaca. Namun di beberapa bagian, ada senyum tipis tersungging ketika membacanya. 

Di tengah suasana ekonomi yang berupaya moncer, Sindhunata memotret bagian-bagian yang tidak gemerlap, tapi gelap. Melalui 29 tulisan, kita diantarkan merasakan getir yang dirasakan oleh rakyat kecil yang berjuang menghadapi moderenisme, pembangunan, dan kapitalisme. Melalui buku ini pula kita bisa melihat betapa Indonesia yang sekarang adalah benar-benar warisan dari Indonesia yang dulu. Bahkan ketika reformasi belum bergaung. 

Meskipun berlangsung tiga puluh tahun yang lalu, rupanya cerita-cerita Sindhunata ini masih sangat relevan di saat sekarang. Melalui buku ini, kita tahu bahwa ketidakadilan pada Nenek Minah, yang dituding mencuri cocoa, adalah hanya satu dari beratus juta kasus serupa yang pernah terjadi. Bahwa jerat kemiskinan di Indonesia sudah begitu mengakar dan njelimet, sehingga seperti tidak mungkin untuk diurai dan diselesaikan.
Tidak ada yang berubah. Sama sekali. 

Ah, saya memang mudah larut dalam tulisan-tulisan yang getir, apalagi milik Sindhunata. Kata-katanya mengalir apik ketika menulis mengenai keadaan sosial. Mungkin latar belakang pendidikan filsafat dan teologi membuatnya mampu meramu fakta-fakta menjadi bahan pemikiran yang sederhana, namun lekat dan (mungkin) menyayat. 

“Makanya semuanya itu rezeki. Buka usaha yang gampang sekali pun tanpa rezeki ya bakal gagal. Maka kita harus mensyukuri rezeki kita, betapa pun rezeki  itu sedikit saja,“ kata Pak Jaelani. ("Pencak Silat, Politik, dan Kejujuran", halaman 123)

Bandung, le 14 Juillet 2011

Where To Go?

via (bass_nroll)

Ini adalah cara licik untuk mengisi blog, apalagi kalau sedang tidak ada ide dan mengetik sambil terkantuk-kantuk. Ini sepertinya lebih baik daripada membiarkan blog kosong dan tidak terisi. Jadi mari membuat list. Kali ini, list-nya seputar jalan-jalan ke luar negeri. Berapa negara yang akan masuk list ini ? Hanya Tuhan yang tahu. Karena dunia terlalu luas untuk dijelajahi dan si saya terlalu BM. 

Semoga saja di suatu waktu, saya bisa menjejakkan kaki dan bikin tulisan ‘Dyah was here’ di negara-negara itu. Hingga nanti di suatu masa, anak dan cucu saya akan mengunjungi negara-negara itu dan datang ke tempat dimana tulisan itu berada. Haha. Busuk sekali yah kedengarannya ? Lalu, bagaimana jika negara-negara itu tidak bisa dikunjungi ? Ah, ya apa mau dikata. Memang rupanya ke luar negeri itu tidak semudah membalik telapak tangan kan ? Ya tidak apapun kalau tidak bisa dikunjungi. Yang pasti harus ada beberapa negara yang didatangi, asal ada yang bisa dicoret dari daftar itu. Mungkin satu, dua, atau mungkin tiga. 

Kemana saja kaki ini ingin melangkah selustrum, sewindu, sedasawarsa, atau seabad lagi ?

Thailand, Kamboja, Jepang, Cina, Korea Selatan, India, Maladewa, Nepal, Mesir, Maroko, Kenya, Afrika Selatan, Seychelles, Madagaskar, Turki, Israel, Qatar, Austria, Italia, Yunani, Jerman, Swiss, Liechtenstein, Rusia, Perancis, Spanyol, Vatikan, Monako, Islandia, Belanda, Inggris, Kanada, Bahama, Brazil, Kolombia, Peru, Suriname, Trinidad dan Tobago, Fiji, Palau, Selandia Baru, Ceko, Uzbekistan, Ukraina, dan Uni Emirat Arab. 

Sedikit kan ? Sampai sekarang hanya segitu kok, ditambah beberapa negara berakhiran –istan. Beberapa negara dipilih karena obsesi terpendam akan negara tersebut yang tidak tahu kenapa, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris. Sedangkan beberapa lainnya dipiliha karena ingin mengunjungi objek wisata tertentu. Sebagian lainnya karena penasaran saja, macam Liechtenstein dan Fiji. Beberapa lainnya diingini karena namanya bagus. Haha. Yeah, am a woman, indeed. Daftar ini masih akan bertambah seiring dengan membaiknya ingatan saya akan nama-nama negara yang ingin saya kunjungi. Oh iya, dan tentu saja harus ke Saudi Arabia untuk menyempurnakan ibadah.

Semoga bisa kita bersua di negara-negara itu ya. :D

 Bandung, le 14 Juillet 2011

*ps: mungkin daftar BM selanjutnya adalah tempat-tempat di Indonesia yang ingin saya kunjungi. FATAL!

Tuesday, July 12, 2011

Ih, Ngeri Kali!

Dua orang teman saya bercerita, mereka mengalami kejadian yang menyeramkan. Setidaknya menurut kami, saya dan mereka. mereka mengalami kejadian itu secara terpisah, walaupun sama-sama di kendaraan umum di belantara Jakarta. Yang satu mengalaminya ketika ia sedang menanti dengan cemas kapan Kopaja yang ditumpanginya akan segera beranjak sedangkan di luar matahari semakin terik. Dan satu yang lain mengalaminya di Metro Mini. Seingat saya malam belum terlalu tua ketika ia berkicau tentang kejadian itu. 

Kejadiannya dibalut dengan kemasan mengamen, padahal bisa dibilang itu meminta-minta. Meminta-minta yang dibalut dengan ancaman. Si pengamen, jika bisa dibilang begitu, awalnya bercerita ini-itu mengenai sulitny mencari uang di Jakarta dan betapa ia menginginkan belas kasihan dari orang-orang yang menumpang di kendaraan umum itu. Tak lama berselang, kedua pengamen di kedua bus kota itu sudah menyilet-nyilet lengannya. 

Yang di Kopaja berteriak-teriak bahwa silet itu tidak menyakiti tubuhnya sedikitpun. Ia memastikan dengan lantang bahwa ia telah kebal akan pisau tajam miliknya. Dan memang tidak ada apapun terjadi pada tubuhnya, ia tidak berdarah sedikitpun, ujar teman saya yang satu. Disertai pandangan tajam, ia menyodorkan plastik ke hadapan teman saya dan penumpang-penumpang lain yang melongo antara takjub dan takut. Dengan sindiran-sindiran tajam, ia mengharap plastik yang diangsurkannya penuh dengan gemerincing receh atau uang kumal yang berjejal. 

Yang di Metro Mini lain lagi. Di hadapan penumpang yang telah lelah bekerja seharian dan ditambah macet ala Jakarta, seorang lelaki tanggung menunjukkan atraksinya. Ia mengambil silet yang telah disiapkan sebelumnya dan menyayat-nyayat tubuhnya. Kebal ? Tidak. Yang satu ini malah berlumuran darah. Dengan baju yang kumal, mata yang sayu, makinlah ia tampak kacau. "Itu orang giting sih, gue rasa, " kicau teman saya itu sembari kaget berbaur mual.
***
Percaya, tidak percaya, harus percaya bahwa kejadian itu memang ada. Teman saya yang di Kopaja mengalaminya dua kali, lebih dari cukup untuk memastikan bahwa kejadian itu nyata dan bukan hanya fatamorgana karena suhu yang begitu tinggi. Perilaku-perilaku ajaib warga kelas bawah di Jakarta Raya itu bisa dibilang mengancam atau mengintimidasi orang lain. Mereka, seperti juga copet yang lihai, mencerabut sisa-sisa rasa aman yang dimiliki penumpang bis kota yang sudah lelah itu. Bagaimana jika pengamen itu tidak diberi uang dan lalu melakukan sesuatu kepada penumpang di bis kota itu dengan silet yang mereka miliki ? Ah, berlipat kali seramnya jika dibayangkan. Dan bagaimana pula jika anak kecil yang melihat "pertunjukkan" itu ? Gila nian. 

Ibukota memang lebih kejam dari ibu tiri, begitu kata pepatah. Dan rupanya itu pula yang coba dijelaskan oleh "pengamen-pengamen" itu. Mereka beri tahu pada para penumpang yang sedikit berpunya bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan selain hal itu untuk mendapatkan uang. Tidak ada jalan bagi mereka untuk menyambung hidup di Ibukota yang kejam karena mereka miskin dan tidak memiliki pendidikan yang layak. Jika tidak begitu, bagaimana mereka bisa mengisi perut yang keroncongan? Bisakah alasan-alasan demikian diterima oleh akal sehat? Sulit. Toh banyak juga yang melakukan kerja lain yang lebih layak walaupun dengan pendidikan yang seadanya. Walaupun kerja kasar, tapi yang penting tidak mengganggu orang lain. 

Pantas saja kalau banyak warga Jakarta memilih mencicil mobil dengan harga selangit atau motor yang murah meriah kalau mereka merasa tidak aman menumpang kendaraan umum. Mereka memilih berlelah-lelah dengan macet yang menghadang di depan mata, yang mereka ciptakan sendiri. Rasa aman dan nyaman sama sekali tidak mereka temukan di kendaraan umum yang entah bagaimana pengaturannya hingga sampai sebegitu bobroknya. 

Masalahnya, pilihan itu begitu terbatas bagi sebagian orang. Kendaraan tidak punya, tarif taksi mahal, Transjakarta tidak mencapai tempat tujuan mereka, teman yang ditebengi pun tidak ada, uang pas-pasan, mau jalan kaki tapi panasnya kebangetan, atau berbagai alasan lain. Maka mereka harus pasrah saja memandangi kejadian-kejadian seram seperti itu. Dan banyak berdoa supaya si "pengamen" tidak lebih nekat dan melakukan hal lain lebih dari itu. Kalau sudah begini, ungkapan bahwa kuasa datang dari pihak yang dominan sudah tidak berlaku lagi. Kuasa itu datang dari pihak yang lebih rendah tingkatnya secara struktural. 

Ajegile. Ingin sekali rasanya membawa Pak Presiden untuk melihat atraksi-atraksi ajaib dan menyeramkan di bis kota itu. Dan akan sangat menghibur ketika beliau bilang, "Saya prihatin!".

Bandung, le 12 Juillet 2011

Monday, July 11, 2011

Hello Again!

Ah, sudah lama rupanya sejak terakhir kali meninggalkan jejak di blog pribadi ini. Hehe. Aneh ya, saya selalu kangen dan perlu menuliskan ide atau pengalaman-pengalaman saya di blog ini. Tapi, oh tapi, entah mengapa pula selalu malas rasanya untuk sekedar mengonsep atau mengetik hal-hal yang sudah ada di otak itu. Durjana memang. Hehe.

Nah, sekarang saya punya banyaaaak sekali waktu senggang yang sangat senggang. Apa pasal? Karena saya sudah lulus, sudah mendapat gelar untuk di belakang nama saya, dan sudah waktunya berkelana jauh dari rumah. Hehe. Tapi mengenai yang terakhir, mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat. Masih ada revisi atas skripsi yang sudah dikerjakan selama delapan bulan terakhir, ada pikiran-pikiran yang harus diendapkan, dan ada jiwa yang mesti ditetirahkan sejenak. Tapi kalau ada tawaran kerja yang masih ringan dan tidak harus pindah kota, bisa juga sih. Akan saya terima dengan lapang dada. #mureeeee :)))

Jadi, mari ramaikan blog ini lagi. Wohoooo. Semoga-semogi-momogi deh yaaaa. :D