Thursday, July 14, 2011

Ekonomi Kerbau Bingung Pancen Mbingungi

via (khatulistiwa.net)

“Mau apa lagi? Ini WC social. Terpaksa mendengarkan mulut usil itu biasa. Gara-gara buang air, suami bisa cemburu, kan sial ini namanya,” kata seorang wanita. ("Rasa Risi Risau Hilang Sama Sekali", halaman 48)

Ini adalah buku kelima dari Sindhunata yang saya baca, kalau tidak salah ingat. Setelah Anak Bajang Menggiring Angin, Air Kata-Kata, Burung-Burung di Bundaran HI, dan Waton Urip. Dari kelima buku dari Romo Sindhunata, yang paling saya suka tentu Waton Urip. Peringkat kedua ditempati oleh Anak Bajang Menggiring Angin dan buku ini, Ekonomi Kerbau Bingung. 

Seperti buku juga Burung-Burung di Bundaran HI, buku ini berisi kumpulan berita khas (feature) yang dibuat oleh Romo Sindhunata ketika ia masih menjadi wartawan Kompas. Beberapa ditulis berkolaborasi dengan wartawan lain. Buku ini diterbitkan pada 2006 silam, merupakan tipe buku yang sudah tidak ada di pasaran dan hanya bisa dijumpai di pameran-pameran yang diadakan oleh penerbitnya (baca: Penerbit Buku Kompas). Sampulnya yang tidak terlalu menarik, mungkin menjadikan buku ini dulu alpa dari penglihatan saya.

Meskipun diterbitkan lima tahun yang lalu, tapi kita tidak bisa menemukan cerita terkini di buku ini. Feature-feature yang terpilih untuk buku ini adalah feature berlatar 1980-an. Ketika Indonesia sedang merangkak membangun ekonominya. Ditulis dengan sudut pandang rakyat kecil yang sangat kecil. Beberapa kisah terasa terlalu pilu untuk terus dibaca. Namun di beberapa bagian, ada senyum tipis tersungging ketika membacanya. 

Di tengah suasana ekonomi yang berupaya moncer, Sindhunata memotret bagian-bagian yang tidak gemerlap, tapi gelap. Melalui 29 tulisan, kita diantarkan merasakan getir yang dirasakan oleh rakyat kecil yang berjuang menghadapi moderenisme, pembangunan, dan kapitalisme. Melalui buku ini pula kita bisa melihat betapa Indonesia yang sekarang adalah benar-benar warisan dari Indonesia yang dulu. Bahkan ketika reformasi belum bergaung. 

Meskipun berlangsung tiga puluh tahun yang lalu, rupanya cerita-cerita Sindhunata ini masih sangat relevan di saat sekarang. Melalui buku ini, kita tahu bahwa ketidakadilan pada Nenek Minah, yang dituding mencuri cocoa, adalah hanya satu dari beratus juta kasus serupa yang pernah terjadi. Bahwa jerat kemiskinan di Indonesia sudah begitu mengakar dan njelimet, sehingga seperti tidak mungkin untuk diurai dan diselesaikan.
Tidak ada yang berubah. Sama sekali. 

Ah, saya memang mudah larut dalam tulisan-tulisan yang getir, apalagi milik Sindhunata. Kata-katanya mengalir apik ketika menulis mengenai keadaan sosial. Mungkin latar belakang pendidikan filsafat dan teologi membuatnya mampu meramu fakta-fakta menjadi bahan pemikiran yang sederhana, namun lekat dan (mungkin) menyayat. 

“Makanya semuanya itu rezeki. Buka usaha yang gampang sekali pun tanpa rezeki ya bakal gagal. Maka kita harus mensyukuri rezeki kita, betapa pun rezeki  itu sedikit saja,“ kata Pak Jaelani. ("Pencak Silat, Politik, dan Kejujuran", halaman 123)

Bandung, le 14 Juillet 2011

No comments:

Post a Comment