Tadi pagi, menjelang siang sih, saya beli brunch. Brunch-nya sarupaning lotek yang enak banget di dekat rumah. Kebetulan lagi ramai, jadi saya harus mengantri dan menunggu giliran dibuatkan lotek yang saya pesan untuk dibawa pulang. Pembeli sebelum saya adalah seorang perempuan, usia sekitar 30-an, dengan gaya berbusana yang pantas dan enak dilihat. Pembeli sebelum mbak tadi adalah seorang bapak, mungkin usianya sekitar 50-an menjelang 60.
Bapak ini memesan dengan porsi yang aneh. Saya sempat bingung dengan pesanannya, tapi setelah dipikir-pikir, mengapa saya harus bingung, toh bukan saya penjualnya. Krikkrik. Harga satu porsi lotek adalah Rp 6.500,00, tanpa lontong, dan Rp 8.000,00, dengan lontong. Bapak ini memesan satu porsi Rp 6.000,00 dan satu porsi Rp 7.000,00 yang dibagi dua. Jadi, dia akan mendapat tiga bungkus lotek.
"Pak, anu teu rada lada, karetna hijinya (Pak, yang rada pedas karetnya satu ya)," ujar teteh lotek.
"Muhun (iya)," ujar si bapak.
"Anu teu lada, karetna dua nya, Pak. (Yang tidak pedas, karetnya dua ya, Pak)," lanjut si teteh, yang disambut dengan anggukan si bapak.
Ketika si teteh mengangsurkan lotek ketiga pada rekannya untuk dibungkus, si bapak bilang, "Anu lada, teu kedah dikaretan we (Yang paling pedas tidak usah diberi karet saja)."
"Teu dikaretan mah murudul atuh, Pak (Kalau tidak diberi karet, nanti amburadul dong, Pak)," ia menjawab dengan tergelak.
Sukses, bapak itu sukses membuat teteh lotek dan rekan-rekannya tertawa terbahak-bahak. Bahkan hingga melayani pesanan saya, teteh itu masih membahasnya hingga saya pun tak kuasa menahan senyum. Sayangnya tidak kenal siapa-siapa, padahal inginnya ikut tertawa terbahak-bahak. Pagi saya lalu indah.
Bapak ini memesan dengan porsi yang aneh. Saya sempat bingung dengan pesanannya, tapi setelah dipikir-pikir, mengapa saya harus bingung, toh bukan saya penjualnya. Krikkrik. Harga satu porsi lotek adalah Rp 6.500,00, tanpa lontong, dan Rp 8.000,00, dengan lontong. Bapak ini memesan satu porsi Rp 6.000,00 dan satu porsi Rp 7.000,00 yang dibagi dua. Jadi, dia akan mendapat tiga bungkus lotek.
"Pak, anu teu rada lada, karetna hijinya (Pak, yang rada pedas karetnya satu ya)," ujar teteh lotek.
"Muhun (iya)," ujar si bapak.
"Anu teu lada, karetna dua nya, Pak. (Yang tidak pedas, karetnya dua ya, Pak)," lanjut si teteh, yang disambut dengan anggukan si bapak.
Ketika si teteh mengangsurkan lotek ketiga pada rekannya untuk dibungkus, si bapak bilang, "Anu lada, teu kedah dikaretan we (Yang paling pedas tidak usah diberi karet saja)."
"Teu dikaretan mah murudul atuh, Pak (Kalau tidak diberi karet, nanti amburadul dong, Pak)," ia menjawab dengan tergelak.
Sukses, bapak itu sukses membuat teteh lotek dan rekan-rekannya tertawa terbahak-bahak. Bahkan hingga melayani pesanan saya, teteh itu masih membahasnya hingga saya pun tak kuasa menahan senyum. Sayangnya tidak kenal siapa-siapa, padahal inginnya ikut tertawa terbahak-bahak. Pagi saya lalu indah.
Bandung, le 15 Juillet 2011
No comments:
Post a Comment