Saturday, July 16, 2011

Berbohong/Kuat?

Dia telah berulang kali jatuh. Dari dekat kau akan bisa lihat lengannya lebam. Pun dengan kaki jenjangnya yang kecokelatan. Ia juga punya codet yang tak hilang. Kali lain, Ia meringis, jemarinya pedih bukan buatan. Kemarin, aku bertemu dengannya. Ia mengaduh, otot perutnya seperti kram. Bahkan untuk menarik nafas pun, ia perlu bersabar.

Lelukanya tak segera sembuh walaupun diobati dengan berbagai obat. Ia sudah coba oleskan krim-krim supaya hilang bekas-bekas luka itu. Ia, dengan telaten, mengompres lukanya dengan air dingin. Tapi, ia berjodoh dengan luka itu. Karena, luka itu rupanya terus ada. Terus menganga. Bertambah perih pada waktu-waktu tertentu.

Aku tau, ia punya luka lain, yang lebih tidak bisa sembuh. Tapi ia sembunyikan luka itu dengan baik, dengan senyum, dengan tawa, dan ia bohongi semua orang. Tapi aku bisa lihat itu, dia luka.

***



Aku mengenalnya sebagai wanita yang tangguh. Ia berjalan tegak dengan kemeja yang selalu digunakannya. Aku tak bilang ia cantik, tapi ia menarik. Kadang, kau hanya akan melihatnya dalam balutan kaos santai tanpa lengan dan celana pendek. Itu pakaian kegemarannya. “Nyaman,” ujarnya padaku suatu kali.

Ia tinggal di ibukota. Dengan cekatan, ia berganti bis untuk menyelesaikan urusan-urusannya. Sebagian besar, bisa ia tangani dengan baik. Guratan di mukanya, kadangkali, menyiratkan keletihan yang luar biasa. Aku pernah bertemu dengannya, di malam hari, ia duduk mengemper di tepian jalan. Rupanya tempat duduk di halte yang sering ia duduki telah penuh sesak. Ia sedang menunggu bis yang akan mengantarnya pulang ke rumah, kalau tidak salah.

Di akhir minggu, ia sempatkan waktu bertemu dengan orang-orang terkasihnya, teman-temannya. Walaupun masih terbalut pakaian kerja yang sudah agak kucel, dia masih selalu tersenyum. Menyapa sana sini dan tertawa renyah karena celetukan teman-temannya. Ia membuatku bangga pada waktu-waktu seperti itu. Aku mengaguminya, boleh dibilang.

Ia mendengarkan cerita-cerita teman-teman akhir minggu itu dengan seksama. Biasanya, ia pesan kopi. Kadang bercampur dengan creamer, tapi kadang ia pesan kopi tubruk. Setelah itu, ia akan berdebar semalaman dan tidak bisa tidur. “Tapi es kopi tubruk itu juaranya, apalagi kalau tidak terlalu manis,” ujarnya dengan mata yang membulat, berbinar. Lalu ia sesap lagi kopi hitam itu.

Jika sedang haus benar, ia pesan minuman yang ringan. Es jeruk seringnya, atau es teh. Tapi ia juga suka air mineral gelas. Jika sudah begitu, sesi bercerita tidak akan hanya satu sks. Dia akan sangat senang mendengar cerita teman-teman lamanya, walaupun itu adalah cerita sedih yang membuat hati teriris. Tapi, ia tidak pernah meneteskan air mata, sebagaimanapun mereka menangis.

Setelah selesai, ia hanya akan diam. Berkonsentrasi pada minumannya dan menunggu temannya terdiam kelelahan dari menangis. Atau menyudahi tawa mereka yang menggema. Ia akan angkat bicara, kadang melantur. Dan setelah itu, dia yang tertawa kecil, menyadari omongannya yang entah maksudnya apa. Teman-temannya yang jaga ia tetap waras. Itu pengakuannya.

Seringnya seperti itu. Ia jarang bercerita, hampir sama seperti aku. Hampir semua hal akan disimpannya sendirian. Ia pilah-pilah cerita kehidupannya. Jarang yang selalu tahu tentang ia. Ia jarang menangis di depan teman-temannya. Jika ia menangis, yang itu sangat jarang terjadi, maka kau akan tahu bahwa ia sudah sangat tidak kuat menahan tangis itu lagi.

Dia pernah bilang, ketika suatu kali ia telah menangis, kalau ia tidak sadar airmatanya keluar. Setelah terasa air mengalir di pipinya, dan terasa asin sampai ke indera perasanya, baru ia sadar ia telah menangis. Tapi, kalau kubilang, ia juga bukan sosok yang tertutup. Lima puluh persen terbuka, lima puluh persen tertutup. Sementara kedudukannya seperti itu.

Ia pernah bilang, menangis itu bukan lemah. Ia masih saja ingin tampak kuat di saat lelah dan lemahnya. Ia bilang itu pembersihan, justru bukti kalau ia kuat menanggung apapun. Itu dalilnya, entah benar termasuk kebenaran ilmiah, atau ia buat saja teori itu sebagai pembenaran.

Aku masuk ke kamarnya. Catnya biru muda, sesuai dengan warna kesukaannya. “Sebenarnya, aku lebih suka biru tua, hitam, dan oranye. Tapi agak tidak cocok untuk sebuah kamar,” ujarnya sambil membereskan kasurnya yang berantakan. Ada kalung, buku, majalah, kertas-kertas, dan tentu saja selimut. Ia selalu tidur berselimut, betapapun panasnya udara malam itu.

Di kamar yang cukup lapang itu, aku tidak bisa dengan mudah menemukan barang-barang yang aku atau ia inginkan. Aku harus bertanya dimana aku bisa menemukan benda ini dan itu, dan tidak dalam waktu singkat, ia akan berputar otak dan berusaha dengan keras untuk mengingat letak benda yang kucari. Tidak jarang dia baru ingat beberapa hari setelahnya. Ketika itu, giliran aku yang lupa bahwa aku pernah meminta benda itu darinya.

Di suatu sudut berjajar buku. Ia bercita-cita menjadi cendekiawan. Tapi ia tidak suka buku nonfiksi. Buku-buku nonfiksi disentuhnya ketika kuliah dulu. ketika ia kebetulan ingat untuk mengerjakan tugas atau menjelang ujian. Seringnya, buku-buku nonfiksi itu dibiarkan saja berdebu. Di komputer jinjingnya, ia punya daftar buku fiksi yang dimilikinya. Sesekali, ia sinkronkan data itu dengan fisiknya. Ia akan ingat jika ada bukunya yang dipinjam, tapi tentu saja, ia tidak akan ingat siapa yang meminjamnya.

Ingatannya memang agak buruk, kalau boleh kau bilang. Ia tidak akan ingat isi buku-buku yang telah ia baca. Padahal baru malam tadi ia selesaikan. Tapi, aku tetap iri padanya. Ia masih punya waktu untuk berilmu, walaupun dengan buku-buku fiksi. Ia lebarkan imajinasinya. Ia selalu takut kalau nanti otaknya beku.

Ditemani lagu-lagu kegemaran dari komputer jinjingnya, kami bisa diskusikan banyak hal. Pikirannya terbuka lebar. Sudah kubilang, ia ingin jadi cendekiawan. Kadang ia beri kata-kata dengan intonasi yang kurang enak didengar, ia bisa jadi agak sinis. Tapi ia tidak akan perpanjang itu.

Ia tidak pernah minta bantuan pada orang lain. Walaupun ada kakaknya yang bersedia mengantar jemputnya di malam hari, ia memilih berpulang sendiri. Melangkah dari satu kendaraan, ke kendaraan lain yang sampaikan ia pada rumah. Atau, ia akan rela mencari bahan-bahan yang ia perlukan, bahkan jika ada orang lain yang akan melakukan untuknya. Ia selalu berusaha mengendalikannya sendirian. Rasanya pun ia pendam saja sendirian.

***
Sudah lama aku tidak menemuinya. Ia terlalu sibuk barangkali, menyusun agenda dengan rapi, janji-janji dengan berbagai macam orang, sebelum nanti akhirnya menegas untuk mewujudkan mimpinya. Ia ingin punya perpustakaan dengan tempat nongkrong dan tempat minum kopi atau teh. Aku bilang, aku akan jadi pelanggan tetapnya. Sekarang, ia masih cinta mati dengan pekerjaannya yang pernah buat ia hampir mati tapi ia tidak jadi mati.

Aku merindukannya, ia sahabatku. Ia yang begitu tegar  dan merdeka. Walaupun apa yang terjadi terlalu buruk untuknya dan datangnya sering bertubi-tubi. “Pernah ada teman yang bilang padaku, hidup memang tidak diciptakan terlalu mudah,” jelasnya padaku ketika menjelaskan kesialan yang beruntun padanya.

Ia selalu ada walaupun ia tidak memaksa semuanya ada untuk ia. Ia selalu berusaha menekan segala egonya, agar semua berjalan baik. Ia tidak suka berkonfrontasi, tapi ia selalu carikan alternative-alternatif untuk memecahkan masalah. Ia rangsang otaknya dengan memilah baik dan buruknya, efisien tidak efisiennya. Tapi kuberi tahu satu hal, ia kadang-kadang sulit memutuskan sesuatu. Bukan plin-plan, hanya butuh waktu yang agak panjang untuk mengambil putusan.

“Aku sering salah langkah kalau terburu-buru, mati langkah jadinya,” jelasnya padaku ketika kita bertemu di warung kopi di dekat rumahnya.

Ia siapkan dirinya jadi sandaran setiap orang. Kalau bisa, jadi mercusuar yang selalu tunjukkan dimana laut dan yang mana yang daratan. Ia lelah, aku tahu pasti tentang itu. Aku lihat di cahaya matanya yang kadang redup. Dan ia terduduk dengan punggung yang bungkuk. Aku sangka ia sudah akan menyerah dan meruntuhkan pertahanannya. Aku kira ia sudah akan menangis dan berkata ‘aku tidak sanggup lagi’. Tapi selanjutnya, ia menarik napas panjang, dan ia lanjutkan perannya itu. Ia kepakkan sayapnya lagi, melanglangbuana lagi. Seperti Rendra, ia buka sayap meraknya.

Aku selalu butuh bertemu dengannya. Dengan ia, aku bisa melihat kekuatan. Ia berikan sedikit kekuatan itu padaku. Lalu aku, kadang jadi lebih berani. Atau bahkan semakin takut karena ia berikan terlalu banyak keberaniannya untukku. Aku sering ingin jadi dia. Entah kenapa, dengan alasan yang tidak bisa aku rinci.

Ia selalu tampak kuat di mataku. Dan aku tahu, ia salah. Aku mengkhawatirkannya. Ketika kekuatan yang ia miliki hilang, ia akan menjadi terlalu lemah dan tidak berdaya sama sekali, dan bahkan pada saat itu pun ia masih akan bersikap tampak kuat. Aku takut ia begitu. Aku tau, ia hanya hampir sempurna. Padahal dia, dan tentu saja aku, tahu tidak ada yang pernah sempurna. Ia menjadi tidak sempurna dengan selalu bersikap dan tampak kuat.

Aku masih tunggu ia katakan semua luka-lukanya. Aku masih tunggu ia menangis lagi.

Le 8 Août 2009.

I need mine. Dan entah kenapa ini menjadi panjang begini?

Diposkan kembali pada: Le 16 Juillet 2011

No comments:

Post a Comment