Tuesday, July 12, 2011

Ih, Ngeri Kali!

Dua orang teman saya bercerita, mereka mengalami kejadian yang menyeramkan. Setidaknya menurut kami, saya dan mereka. mereka mengalami kejadian itu secara terpisah, walaupun sama-sama di kendaraan umum di belantara Jakarta. Yang satu mengalaminya ketika ia sedang menanti dengan cemas kapan Kopaja yang ditumpanginya akan segera beranjak sedangkan di luar matahari semakin terik. Dan satu yang lain mengalaminya di Metro Mini. Seingat saya malam belum terlalu tua ketika ia berkicau tentang kejadian itu. 

Kejadiannya dibalut dengan kemasan mengamen, padahal bisa dibilang itu meminta-minta. Meminta-minta yang dibalut dengan ancaman. Si pengamen, jika bisa dibilang begitu, awalnya bercerita ini-itu mengenai sulitny mencari uang di Jakarta dan betapa ia menginginkan belas kasihan dari orang-orang yang menumpang di kendaraan umum itu. Tak lama berselang, kedua pengamen di kedua bus kota itu sudah menyilet-nyilet lengannya. 

Yang di Kopaja berteriak-teriak bahwa silet itu tidak menyakiti tubuhnya sedikitpun. Ia memastikan dengan lantang bahwa ia telah kebal akan pisau tajam miliknya. Dan memang tidak ada apapun terjadi pada tubuhnya, ia tidak berdarah sedikitpun, ujar teman saya yang satu. Disertai pandangan tajam, ia menyodorkan plastik ke hadapan teman saya dan penumpang-penumpang lain yang melongo antara takjub dan takut. Dengan sindiran-sindiran tajam, ia mengharap plastik yang diangsurkannya penuh dengan gemerincing receh atau uang kumal yang berjejal. 

Yang di Metro Mini lain lagi. Di hadapan penumpang yang telah lelah bekerja seharian dan ditambah macet ala Jakarta, seorang lelaki tanggung menunjukkan atraksinya. Ia mengambil silet yang telah disiapkan sebelumnya dan menyayat-nyayat tubuhnya. Kebal ? Tidak. Yang satu ini malah berlumuran darah. Dengan baju yang kumal, mata yang sayu, makinlah ia tampak kacau. "Itu orang giting sih, gue rasa, " kicau teman saya itu sembari kaget berbaur mual.
***
Percaya, tidak percaya, harus percaya bahwa kejadian itu memang ada. Teman saya yang di Kopaja mengalaminya dua kali, lebih dari cukup untuk memastikan bahwa kejadian itu nyata dan bukan hanya fatamorgana karena suhu yang begitu tinggi. Perilaku-perilaku ajaib warga kelas bawah di Jakarta Raya itu bisa dibilang mengancam atau mengintimidasi orang lain. Mereka, seperti juga copet yang lihai, mencerabut sisa-sisa rasa aman yang dimiliki penumpang bis kota yang sudah lelah itu. Bagaimana jika pengamen itu tidak diberi uang dan lalu melakukan sesuatu kepada penumpang di bis kota itu dengan silet yang mereka miliki ? Ah, berlipat kali seramnya jika dibayangkan. Dan bagaimana pula jika anak kecil yang melihat "pertunjukkan" itu ? Gila nian. 

Ibukota memang lebih kejam dari ibu tiri, begitu kata pepatah. Dan rupanya itu pula yang coba dijelaskan oleh "pengamen-pengamen" itu. Mereka beri tahu pada para penumpang yang sedikit berpunya bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan selain hal itu untuk mendapatkan uang. Tidak ada jalan bagi mereka untuk menyambung hidup di Ibukota yang kejam karena mereka miskin dan tidak memiliki pendidikan yang layak. Jika tidak begitu, bagaimana mereka bisa mengisi perut yang keroncongan? Bisakah alasan-alasan demikian diterima oleh akal sehat? Sulit. Toh banyak juga yang melakukan kerja lain yang lebih layak walaupun dengan pendidikan yang seadanya. Walaupun kerja kasar, tapi yang penting tidak mengganggu orang lain. 

Pantas saja kalau banyak warga Jakarta memilih mencicil mobil dengan harga selangit atau motor yang murah meriah kalau mereka merasa tidak aman menumpang kendaraan umum. Mereka memilih berlelah-lelah dengan macet yang menghadang di depan mata, yang mereka ciptakan sendiri. Rasa aman dan nyaman sama sekali tidak mereka temukan di kendaraan umum yang entah bagaimana pengaturannya hingga sampai sebegitu bobroknya. 

Masalahnya, pilihan itu begitu terbatas bagi sebagian orang. Kendaraan tidak punya, tarif taksi mahal, Transjakarta tidak mencapai tempat tujuan mereka, teman yang ditebengi pun tidak ada, uang pas-pasan, mau jalan kaki tapi panasnya kebangetan, atau berbagai alasan lain. Maka mereka harus pasrah saja memandangi kejadian-kejadian seram seperti itu. Dan banyak berdoa supaya si "pengamen" tidak lebih nekat dan melakukan hal lain lebih dari itu. Kalau sudah begini, ungkapan bahwa kuasa datang dari pihak yang dominan sudah tidak berlaku lagi. Kuasa itu datang dari pihak yang lebih rendah tingkatnya secara struktural. 

Ajegile. Ingin sekali rasanya membawa Pak Presiden untuk melihat atraksi-atraksi ajaib dan menyeramkan di bis kota itu. Dan akan sangat menghibur ketika beliau bilang, "Saya prihatin!".

Bandung, le 12 Juillet 2011

1 comment: