Apa yang membuatmu begitu membenci seremoni?
Beberapa hari yang lalu, saya mengobrol bersama seorang teman melalui layanan instant messaging. Sudah lama tak jumpa ternyata kami ini. Padahal sempat tinggal bersama. Haha. Sounds so wrong. Kami bertukar cerita, sedikit demi sedikit, tidak pula dalam waktu yang lama. Dia bilang ada teman kami yang lain yang sedang menimbang untuk menikah. Great news!
Kemudian dia bilang, katanya si teman yang sedang bimbang dan gundah gulana itu tidak ingin direpotkan dengan upacara adat ini-itu ketika dia menikah nanti. Maklum, ia memang berasal dari suku yang erat kekerabatannya, suka perayaan, dan banyak upacara adatnya. Alasannya pasti satu, karena adat itu dikenal ribet. Ntah dari manapun asal kita ya, yang namanya prosesi adat seringnya memang dihindari karena emang ribet dan banyak tahapan-tahapannya. Sedangkan kita, generasi muda lebih senang yang simpel, nggak pake ribet. Kalau bisa, untuk urusan nikah cuma ke KUA, terus langsung ngamar, main congklak.
Oh ya baiklah, ndak apa-apa juga sih kalau ndak mau. Bukan saya kok yang nikah. Ahehehe. Etapi, kira-kira akankah saya menikah dengan upacara ini itu yang ribet banget itu? Have no idea sih, ya orang jodohnya saja belum ketahuan siapa, orang mana, namanya siapa. Haha. Tapi, untuk sekarang saya masih bisa bilang saya mau-mau aja pakai upacara nan super duper ribet itu. Kalau memang harus. Kalau ibu saya yang minta, yang mana kecil kemungkinannya beliau minta.
Selama ini, saya selalu suka melihat upacara adat, dimanapun ia berlangsung. Di acara pernikahan atau sebagai helaran. Indah, imajinatif, dan bermakna ini itu. Tapi, ya itu tadi, memang repot, ribet, dan makan waktu yang lumayan lama. Dan kadang, makna ini itu hanya sebagai simbol saja jadinya. Misalnya, simbol ini untuk mengeratkan hubungan suami-istri, tidak akan cerai atau bagaimana. Nyatanya, yang namanya cerai ya cerai saja toh, tidak ditentukan oleh upacara tertentu yang dilakukan. Atau mungkin malah alasan ‘hanya simbol belaka’ itu yang digunakan oleh generasi muda yang emoh melakukan keribetan-keribetan luar biasa itu? Bisa jadi sih. Tapi itu harus dikonfirmasi pada pihak yang memilihnya.
Apakah generasi dulu, yang mengagungkan prosesi dalam upacara adat pernikahan, adalah generasi yang lebih berbudaya? Ah, ya nggak juga sih. Bagi saya sebuah upacara adalah masalah keyakinan. Mungkin leluhur yang menciptakan prosesi itu percaya bahwa upacara perkawinan memang harus diisi dengan yang demikian. Dengan upacara itu, dan dengan keyakinan pada makna upacara itu, maka kehidupan pernikahan akan lebih baik. Mungkin sih. Coba ajalah kita jelangkung-an dulu untuk bertanya pada pencetus upacara-upacara itu. *disamber geledek*
Saya pernah wawancara Mahfud M.D, bapak Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia bilang, “Biasanya, semakin jauh dari titik sejarah, semakin terjadi erosi,” ujar Mahfud kala itu. Mungkin ini relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Tapi yaaaa perubahan budaya dan pola pikir kan memang tidak mungkin dihindari ya, apalagi di masa dimana komunikasi -pertukaran informasi- bukan sebagai hal yang sulit bagi sebagian besar orang.
Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengagungkan kelisanan sebagai cara memperoleh informasi. Jadi mungkin banyak ide-ide dalam upacara yang tidak diketahui maknanya karena hanya disampaikan turun-temurun melalui lisan, bukan lewat tulisan. Sehingga mudah lupa dan sekali lenyap, sulit ditemukan kembali penjelasannya. Tak kenal, maka tak sayang, begitu ujar pepatah. Mungkin saja kita terlalu jauh dari tempat bertolak dan tidak memahami mengenai upacara-upacara itu, maka kita resisten terhadapnya. Ah, mungkin ya. :(
Tapi, kalau bukan kita (yang melestarikannya), siapa lagi?
Haha, jadi ingat tugas kelompok feature televisi. Kalimat penutupnya, hampir persis seperti itu.
Bandung, le 17 Juillet 2011
No comments:
Post a Comment