Wednesday, June 23, 2010

Minggu Pagi di Victoria Park


Banyak orang bertanya pada saya, apakah film “Minggu Pagi di Victoria Park” rame? Well, saya tidak bisa jawab film ini rame atau tidak. Rame sih karena para TKW itu berkumpul , berkerumun di Victoria Park. Oke, maaf kalo jayus. Begini maksudnya, film ini tidak rame, menurut saya. Tapi film ini bagus.

Tidak rame karena memang kita tidak akan menemukan adegan tembak-tembakan di film ini. Tidak ada pula alur yang begitu menegangkan dan membuat jantung berdegup kencang. Tapi film ini bagus. Jadi ya tipikal film Perancis mungkin, tidak rame tapi bagus. Tapi tentu saja masih mending film ini sih daripada film Perancis yang alurnya lambat macam siput itu.

***

Sekar sampai di Hongkong itu karena himpitan ekonomi keluarga. Ia ingin bahagiakan orang tuanya dengan materi berlimpah. Maka ia putuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Setahun di Hongkong, ia bisa kirim uang pada keluarganya di Jawa Timur. Dari uang kiriman Sekar, bapaknya bisa memperbaiki rumah. Kini, rumahnya berdinding bata.

Setelah setahun itu, kontraknya habis dan putus. Sedangkan keluarga di rumah tetap butuh sokongan dana darinya. Maka, berbulan sudah ia bekerja serabutan di Hongkong. Menghutang ke kantor kredit dengan bunga tinggi. Tak ada lagi kabar sampai ke rumah orangtuanya di Jawa Timur.

Maka sang ayah, yang menganakemaskan sekar, mengutus sang kakak, Mayang, ke Hongkong. Mayang yang bekerja di perkebunan tebu tidak pernah mengangankan kerja di negeri orang hingga sang ayah memaksanya berlaku demikian. Sejak itu, kepedihan dan amarahnya tersimpan dalam hati.

Dari situlah konflik dimulai. Perjalanan Sekar mencari penghasilan demi hidup dan membayar utang. Dan perjalanan Mayang mencari adiknya, yang seakan lenyap dari pergaulan TKW di negeri tersebut. Perjalanan kedua orang ini berkelindan dengan kehidupan tenaga kerja-tenaga kerja Indonesia yang merantau di tempat yang sama. Dari sini, mata dan hati kita lalu melihat apa yang terjadi di pada mereka yang jauh dari keluarga.

***

Jika kamu pernah menonton "Pertaruhan (At Stake)" produksi Kalyana Shira Foundation yang diputar di bioskop pada 2008 silam, mungkin kamu sudah tidak terlalu kaget dengan apa yang ada di film arahan Lola Amaria ini. Di film ini, adegan percintaan dibiarkan bebas. Percintaan sesama jenis seperti bukan sesuatu yang tabu. Dari beberapa dialog, kita menjadi tahu bahwa standar berpacaran mereka bisa jadi berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.

Atau, secara sederhana, penuturan-penuturan tokoh di film ini mengantarkan pada pengetahuan tertentu tentang apa yang terjadi sebenarnya pada TKW-TKW kita. Bagaimana rasanya menjadi miskin dan secara terpaksa untuk mengejar materi di negeri orang, yang sama sekali berbeda bahasa dan budaya. Bagaimana rasanya menjadi tulang punggung keluarga, ketika mereka yang ditulangi itu bisa jadi hanya ongkang-ongkang kaki di rumah dan menunggu kiriman dari negeri timur jauh itu.

Persoalan TKI, atau lebih spesifik lagi TKW, adalah persoalan yang entah kapan bisa selesai. Konflik sosial yang berantai ini tentu lebih penting dari kasus video persetubuhan artis-artis ternama itu. Lebih kurang sama pentingnya dengan kasus Anggodo dan Gayus Tambunan. Ataukah persoalan kemiskinan semacam ini bisa dipecahkan oleh dana aspirasi atau dana desa yang diusung Golkar?

Sebutan pahlawan devisa yang jamak dialamatkan pada mereka tentu saja indah didengar. Tapi nyatanya, mereka juga tidak terbantu apapun dengan julukan itu. Tetap saja mereka “dipalak” di teminal kepulangan mereka di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ternyata masih saja ada mereka yang diperlakukan tidak wajar oleh majikannya. Atau bahkan dilecehkan oleh orang dari negara lain. Maka menjadi penting hal-hal yang dilakukan oleh Gandhi, seorang lelaki dari KBRI yang kerjaannya mengurusi TKI. Di film ini diperankan oleh Doni Damara. Maka menjadi penting bagi mereka untuk berkumpul di Victoria Park pada hari Minggu. Untuk sekedar tahu bahwa banyak orang yang merasa bernasib sama dan bisa bertahan untuk mencari dollar yang bisa sepuluh kali lipat dari penghasilan “pembantu” di Indonesia.

Satu lagi yang terpenting dari film ini, bagi saya, adalah kemampuannya mengingatkan kita bahwa orang yang hidupnya lebih tidak beruntung dibanding kita. You are less miserable than them. Tidak ada waktu untuk mengumpat keluargamu jika mereka masih mau menanggung apa yang kau minta. Bahkan mereka yang harus menanggung beban keluarga mereka. Ketika kita lupa bersyukur dan merasa hidup kita paling menderita sedunia raya, maka jangan lupa bahwa cerita-cerita tentang TKW yang menjadi PSK adalah benar adanya. Tidak dibuat-buat. Tekanan-tekanan yang dirasakan mereka yang merantau jauh itu nyata adanya, walaupun mungkin hanya bisu.

Jadi ayo skripsi. *tetep ujung-ujungnya skripsi.

***

Boleh applause buat Titi Sjuman untuk aktingnya menjadi Sekar. Untuk Lola Amaria yang menjadi Mayang. Boleh juga applause untuk kegantengan Vincent alias Donny Alamsjah. Dan doa selalu menyertai Yati, yang harus memilih bunuh diri karena tekanan-tekanan yang dirasanya. Untuk Sabrang Mowo Damar Panuluh yang bersedia memproduseri film macam ini.

Oh, iya.. bagi yang belum menonton, jangan harap mendapat visualisasi yang terlalu bagus ya. Pengambilan gambarnya sangat identik dengan film dokumenter. Nggak indah seperti film-film fiksi.

Oh iya, kenapa kalo film beginian nggak ditonton menteri ya? Kenapa Laskar Pelangi dan Tanah Air Beta yang ditonton menteri ya?

2 comments:

  1. eh? emang menteri nonton Tanah Air Beta? apaan sih? jelek gitu filmnya!

    ReplyDelete
  2. pernah baca berita dimana gitu.. katanya sih ada menteri yang nonton. tapi lupa menteri siapa dan dalam rangka apa..

    ReplyDelete