Oke, jadi begini ceritanya, Indonesia sedang dihebohkan dengan video seks yang ‘pemeran utama’-nya artis. Tokoh di video pertama, diduga, yang lelaki adalah seorang vokalis band ternama. Dan yang perempuan, diduga, adalah bintang iklan sabun-presenter-duta beberapa produk-duta PBB-aktris-cum penyanyi. Selang beberapa hari, video kedua muncul. Lelakinya diduga masih lelaki yang sama. Namun, yang perempuan berganti. Diduga si perempuan adalah presenter acara gosip ternama.
Seminggu setelah video pertama menyebar, melalui situs-situs internet, media massa di Indonesia heboh. Terutama televisi dan media online. Hebohnya keterlaluan, berlebihan, bagi saya. Mulai dari infotainment, yang kerjanya memang membahas artis-artis, hingga program berita, yang biasanya membahas berita yang tidak demikian. Asalnya saya tidak ingin turut berkomentar, tapi pemberitaan-pemberitaan itu minta banget dikomentarin. Hahaha.
Semua orang juga berkomentar. Mulai dari sesama artis, hingga anggota DPR yang tidak bersinggungan sama sekali. Mulai dari menteri, hingga psikolog dan ginekolog. Mulai dari masyarakat, hingga ahli yang mengaku bisa mengetahui validitas video tersebut. Siapa mereka hingga berhak berpendapat macam-macam? Beberapa daerah bahkan memboikot ketiga artis tersebut.
Baiklah, kalau boleh sedikit disimpulkan, orang Endonesa memang seringkali bertindak (agak) berlebihan. Oh iya, dan mungkin berkaitan dengan ciri masyarakat kolektif, maka masyarakat Endonesa terlalu ingin ikut campur urusan orang. Saya nih salah satu contoh spesiesnya.
***
Sejak seminggu lalu, sejak sehari setelah video pertama beredar, hingga kemarin, Jumat (11/6), saya menghitung ada 105 berita di Kompas.com, salah satu portal berita online di Indonesia. Untungnya saya tidak berniat menghitung berita di situs-situs berita lain. Bayangkan saja, di detik.com, pasti jumlahnya lebih menggila. Misalnya media tidak heboh dan berlebihan seperti ini, saya sebenarnya cukup yakin bahwa masalahnya tidak akan menjadi sebesar ini.
Selain itu, di televisi. Semua program berita pasti headline-nya tentang sex tapes ini. Bahkan sudah tiga atau empat kali berturut-turut, Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi, yang disinyalir sebagai salah satu program berita andalan TVONE, turut membahas hal ini. Mungkin sekalian mengaburkan isu dana desa yang digulirkan oleh partai si empunya stasiun televisi tersebut. Entah. Televisi berita yang satu lagi lain pula. Ia juga bahas tentang video ini, walaupun tidak seberlebihan tv saingannya. Namun, di program internasional, macam Indonesia Now, yang berbahasa Inggris dan dipandu oleh wartawan senior asal Filipina pun, berita ini tetap menjadi sorotan.
Bagaimana dengan infotainment? Tidak usah ditanya. Sudah pasti mereka tidak munculkan berita penting. Mereka cuplik-cuplik saja adegan-adegan dari video seks tersebut. Memang sih bagian-bagian tertentu. Tapi justru itu yang berbahaya bukan? Orang menjadi semakin penasaran dan lalu mencari bagaimana sebenarnya isi video tersebut. Dan, voila, semakin menyebar saja video itu dan dibilanglah semua itu merusak moral bangsa.
Media, sebagai penyampai informasi di masyarakat, juga seperti tidak menyadari bahwa mereka punya batas dalam hal berita-memberitakan. Bahkan ada judul berita yang mengutip dari pembicaraan di video tersebut. Look at this, “Kamu Keluarin di Mana?”. That was one of the news title from Kompas.com. Krezi thing. Belum lagi di awal kemunculannya, berita-berita televisi menggunakan cuplikan video tanpa sensor. Di-blur pun tidak. Maka tidak heran kalau Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Dadang Rahmat Hidayat, yang juga dosen saya, kemudian melarang penayangan cuplikan video tersebut. Seharusnya media, jika memang ingin bicara moral, harus punya semacam sensor bagi diri mereka sendiri. Jangan asal cuplik, jangan asal tayangkan. Jangan asal wawancara. Jangan asal bikin skrip.
Lalu mengapa mesti meminta pendapat orang-orang yang begitu judgemental. Belum mereka mengadakan penelitian pada orang yang bersangkutan, mereka lalu terang-terangan bilang kalau pelaku yang lelaki adalah narciss dan mengalami penyimpangan seksual. Bagi saya, hal tersebut bukan hal yang harus diberitakan pada orang lain, apalagi jika belum ada penelitian lebih lanjut.
Hey, wake up! Siapa yang sudah rusak moralnya. Apakah koruptor tidak rusak moralnya? Mereka benar-benar merusak bangsa karena mencuri apa yang seharusnya bisa menjadi milik penduduk Indonesia. Efeknya jelas terlihat. Seandainya mereka berbaik hati tidak mengambil hal yang bukan haknya, maka warga Indonesia mungkin lebih makmur dan tidak demikian mudah terpengaruh pada isu yang seperti ini. Mereka punya hal lain yang lebih menyenangkan untuk diperhatikan. Hal seperti ini bukankah semacam eskapisme dari kehidupan yang terlalu sulit.
Lalu kenapa menjadi terlalu sibuk mengurusi video yang bukan mereka yang di dalamnya, yang dianggap akan merusak moral bangsa, padahal belum tentu. Mengapa begitu takut video itu merusak? Apakah memang seperti itu pula mental orang Indonesia sebenarnya? Sebegitu pesimisnyakah kita? Tidakkah ada keyakinan pada masyarakat kita, bahwa masyarakat memiliki benteng tersendiri dalam hal demikian?
Hal ini mungkin yang dimaksudkan dengan Teori Jarum Hipodermik dalam ilmu komunikasi. Dalam teori ini disebutkan bahwa penonton adalah khalayak yang pasif. Teori ini menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntukkan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Bekerja di bawah sadar. Padahal kan, khalayak juga dimungkinkan sebagai khalayak yang aktif, seperti dalam Uses and Gratification Theory. Masyarakat bisa memilih apa yang ingin diketahuinya dan apa yang tidak. Tapi ya iya ya, bagaimana mau memilih berita yang akan dilihat, jika semuanya menampilkan berita yang sama. Haha.
Tapi ya sudahlah. Maka simpulan selanjutnya, selain masyarakat Endonesa adalah masyarakat yang berlebihan, masyarakat Endonesa, mayoritas atau mungkin minoritas saja, adalah masyarakat yang pesimis dan berprasangka buruk. :p
***
Video menyebar dari satu tangan ke sejuta tangan yang lain. Yang kemudian terkena imbasnya adalah siswa sekolah menengah. Razia telepon genggam digalakkan oleh sekolah mereka. Memang agak aneh sih mengapa mereka mesti menyimpan video tersebut di telepon genggam. Tapi yasudahlah, namanya juga ABG. Labil.
Yang saya nggak ngerti, mengapa mesti pihak sekolah yang aktif dalam melakukan hal demikian. Apakah benar orang tua sudah tidak ada peduli dengan anak-anak ini? In my humble opinion, yang belum punya anak ABG tapi sudah pernah jadi ABG, seharusnya keluarga lebih berperan loh. Jangan lalu semua hal mesti ditangani oleh sekolah. Sekolah memang mengajarkan etika dan kehidupan sosial, tapi kata semua orang, lapisan pertama tetap tanggung jawab keluarga.
***
Ini pendapat saya loh. Maaf deh ya kalo salah. Jadi salah gue? Salah temen-temen gue? Hahaha. Tapi bukan berarti saya permisif ya terhadap hal-hal seperti ini. Tapi ada kan yang namanya privasi. Mengapa mesti menjadi heboh dan tidak mengurusi hal lainnya yang lebih penting? Seperti skripsi, contohnya. *ngakak*
Sepertinya ini bukan menjadi satu-satunya postingan yang membahas tentang hal ini. Mungkin saja masih ada seri selanjutnya. Kita lihat saja mood saya nanti. Hahaha. :p
No comments:
Post a Comment