Sunday, June 6, 2010

Seberapa Besar?

Mari berpikir dangkal. Uhh, I love this part of me, DANGKAL. J

Ketika sedang berada di angkutan umum sepulangnya dari Gasibu siang tadi, saya berpikir dan menelaah diri saya sendiri. Apakah saya ini orang yang berkemauan keras, berkemauan biasa saja, berkemauan lemah, atau bahkan sama sekali tidak memiliki kemauan. Tapi menurut saya, tidak mungkin ada orang yang tidak berkemauan sama sekali, jadi pengklasifikasian yang terakhir dihilangkan saja.

Maka, kini hanya ada punya tiga grup: orang yang berkemauan keras, biasa saja, ataukah berkemauan lemah. Berada di diagram mana saya? Pikiran saya pun meloncat-loncat. Batin saya berperang, kalau boleh dibilang begitu.

***

Apa pasal tiba-tiba saya berpikir demikian? Jadi begini ceritanya, saya berjalan sejak pagi, sekitar pukul tujuh, saya berencana untuk mencari sepatu PX Style di Gasibu. Sepatu itu adalah merek sepatu murah yang cukup awet dan cukup nyaman. Beberapa gerai saya kunjungi, peluh bercucuran didera ramainya pasar yang hanya buka satu kali seminggu itu. Saya berpindah dari sayap utara Gasibu (arah Monumen Perjuangan) hingga ke sayap timur (arah Pusdai). Seakan tidak cukup melelahkan, saya berputar beberapa kali demi mencari sepatu yang saya inginkan.

Seorang ibu di tengah Gasibu menjual sepatu yang saya inginkan, tetapi ukurannya ternyata tidak ada yang pas. Saya beralih ke sayap Timur dan menemukan seorang Bapak menjual sepatu tersebut. Namun, ukuran saya tidak tersedia dan kiranya kualitas sepatu yang dia jual juga tidak terlalu bagus. Maka kembalilah saya ke sayap utara Gasibu. Sayangnya, si abang penjual itu menjual dengan harga yang tinggi. Jauh tinggi dari harga biasa. Sebagai perempuan, yang secara norma dinilai jago menawar, saya tidak terima dan beranjaklah saya dari Abang itu.

Saya berkeliling kesana-kemari. Hingga, kalau tidak salah ingat, saya mengunjungi masing-masing pedagang sepatu itu dua kali. Lalu ibu saya menelepon dan menanyakan saya ada dimana. Di saat itulah saya ingat bahwa saya sudah lelah dan harus segera pulang. Ibu berpesan, udah beli yang mana aja yang kamu mau, mahal sedikit nggak papa, atau cari aja nanti di tempat lain.

Mendengar suara ibu yang melahirkan saya itu (*lebay*), maka saya cepat-cepat memutuskan sepatu mana yang akan saya beli. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli sepatu di pedagang di sayap utara. Yang mahal. Tapi itupun saya tidak jadi membeli model yang saya cari sejak lama. Saya memilih model lain, yang ternyata lebih murah.

***

Jadi, apakah saya punya selfi-willing yang kuat atau bagaimana? Mengandalkan ingatan-ingatan itu, saya menyadari bahwa saya memiliki kemauan yang keras jika menginginkan barang yang saya ingin. Pokoknya apapun harus sampai dapat. Tapi hal ini tidak menjadikan saya sebagai seorang yang impulsif. Pokoknya, saya harus dapat sesuatu yang sesuai dengan keinginan saya, baik model, kualitas, maupun harga. Kemauan keras ini bertumbuh seiring ketidakmauan saya menyesal di akhir proses belanja. Di beberapa hal lain, misalnya belajar, kemauan keras ini juga masih memengaruhi. Eksesnya adalah saya menjadi orang yang cukup perfeksionis. Kadang berita yang saya tulis terlalu detail atau tugas yang saya buat kebanyakan literatur. Karena saya ingin semua informasi bisa tertampung dan menjadikan tugas tersebut baik. (walaupun hal ini juga kemudian berlawanan pula dengan sifat saya yang procrasinator.:p)

Namun, di beberapa hal, kemauan ini menjadi pudar. Entah karena dipengaruhi si malas atau apa. Misalnya, dalam mengulik masalah-masalah untuk usmas (hahaha. Tertawalah sepuas kalian.). Saya sulit berkonsentrasi pada satu hal dan menghambat saya untuk mempelajari hal-hal yang bisa dijadikan usmas, padahal it’s already June. Kemauan saya menjadi mudah terkikis jika menghadapi hambatan. Misalnya informasi yang terbatas, buku-buku yang sulit dicerna, dan masalah yang tidak pasti atau tidak kuat argumennya.

Beberapa orang di sekitar saya merupakan penghuni diagram berkemauan keras, biasa saja, dan berkemauan lemah. Terkadang, yang berkemauan keras, jika saya melihat mereka, mereka jadi nampak egois, ngotot, dan memaksakan kehendak mereka. Tidak masalah asal tidak lalu mengganggu saya. Kalau sudah sampai taraf yang mengesalkan, maka sarewelah. Haha. Mati aja lo! ;p Yang biasa saja, mungkin seperti saya, bergantung pada situasi-situasi yang dihadapi. Sedangkan mereka yang berkemauan lemah, malah mengesalkan karena malah seperti zombie.

Nah, ingin saya sekarang adalah saya menjadi orang yang berkemauan keras dan bisa mencapai hal-hal yang saya inginkan. Ya, siapa yang nggak mau ya? Semoga semogi momogi.

***

Jadi, saya mendua? Tentu saja. Tergantung situasi. Lihat saja contoh di Gasibu yang saya ceritakan tadi. Saya berkemauan keras sampai empat jam ngulik Gasibu demi dapet sepatu impian. Tapi tidak berkemauan keras karena begitu mudah berbalik hati ketika tidak dapat model sepatu yang sesuai keinginan. :D

Pointless mind.

Oh iya, sekalian pemberitahuan, bahwa rubik saya belum jadi. Sudah agak malas menguliknya. (Tuh kan, jadi saya berkemauan keras atau tidak? :p)

4 comments:

  1. Menurut gw, Berkemauan keras cukup pada hal2 yg penting aja. Contohnya pada bidang akademis atau profesi. Karena kadang semua hal yg kita ingin dapetin tuh nggak penting ko.

    Sepatu? Lu ga akan di DO sama fikom kalo lu ga dapetin sepatu yg lu pengen. Tp begitu sebaliknya jika terus berada di berkemauan lemah untuk menyelesaikan skipsi. Hahahaha. Piss

    ReplyDelete
  2. ya kan ini gue bahas karena masalah si sepatu itu. jadi cuma peg-nya aja. ya, emang siapa gt yang nggak mau skripsi?

    ya pokoknya gitulah.. intinya gue memang mau berkemauan keras untuk hal-hal yang gue inginkan. ya masa iya gue kagak mau lulusss?? oh puhleeaaasseee... :))

    ReplyDelete
  3. hemmm..*meaningless meaning yang penting gw nebeng ngomen di sini. berhubung ini blog lo, gw punya kemauan keras untuk nyampah di sini. ah..nyambung ga nyambung, yg penting kemauan gw keras didorong dengan niat yang mengandung kemauan keras.

    ReplyDelete
  4. gue hargai kemauan keras lo, Kans!!
    hahahaha..

    ReplyDelete