Genap dua bulan lalu, saya resmi menyandang gelar sarjana. S.Ikom, sarjana ilmu komunikasi, bukan sarjana ilmu komputer, seperti yang orang sering salah kira. Euforia terasa, terlebih saat melihat banyaknya dukungan dari teman dan orang-orang terdekat, melalui kedatangan mereka, ataupun sekedar mention di Twitter dan pesan singkat di telepon genggam. Kekhawatiran atas pertanyaan "Sudah lulus belum?" ketika lebaran nanti, hilang sudah.
Waktu itu, saya bungah sekali, walaupun tidak tahu gelar itu mau dipakai kapan.Yang penting, perjuangan enam tahun yang naik-turun, maju-mundur, senang-sedih, sibuk-lowong, dan berhasil-gagal itu berlalu sudah. Memang telat satu tahun dari perkiraan awal, hingga gelar cum-laude tak bisa didapat. Tapi ya sudahlah, tidak ada penyesalan atas itu. Hehe.
Dua bulan lalu itu, saya belum wisuda. Masih jumawa karena gelar yang baru nemplok dan berasa sudah menaklukan dunia. Di hari-H wisuda, kegembiraan itu tentu terpancar jelas. Teman-teman datang, ucapan selamat dari sana-sini, tampil cantik, foto bersama, dan buket bunga dari teman-teman. Perfecto!
Rasa itu berakhir tiga minggu lalu, mungkin dua atau tiga hari setelah wisuda. Setelah itu, kekhawatiran menumpuk, banyak hal yang wara-wiri di otak dan rasa saya. Simpulan saya dan teman-teman adalah seseorang menjadi sangat labil ketika baru menyandang gelar sarjana. Hahaha. Maksudnya labil adalah belum tahu pasti apa yang diinginkannya. Tidak semua orang, mungkin. Tapi itu terjadi pada banyak orang, saya salah satunya.
Pertanyaan ingin dan akan kerja dimana langsung menghantui. Idealisme yang masih tersisa mengingatkan untuk bekerja sesuai nilai-nilai ideal yang telah diajarkan dan saya anut. Yang seperti apa? Bias. Hahaha. Ingin jalan-jalan kesana-kemari, mengunjungi tempat-tempat apik di Indonesia, tapi belum punya uang dan rasanya sudah tidak pantas untuk minta uang lagi ke orang tua. Dan lain-lain, dan lain-lain. Belum lagi masalah pertemanan. Bukan, saya bukan berseteru dengan teman-teman saya. Tapi rasanya perpisahan dengan mereka semakin akan cepat terjadi. Setidaknya, kami tidak akan intens bertemu, bertukar kabar, dan bercerita ini-itu hingga lupa waktu. Ah.
Bagaimanapun, itulah siklus hidup manusia, kan? Tidak mungkin juga saya terus berada di kampus itu, gedung-gedung itu, koridor itu, kamar sewa, dan fase itu. The end is the beginning is the end, kalau kata Smashing Pumpkins.
Jadi, mau ngapain setelah ini? *die*
Waktu itu, saya bungah sekali, walaupun tidak tahu gelar itu mau dipakai kapan.Yang penting, perjuangan enam tahun yang naik-turun, maju-mundur, senang-sedih, sibuk-lowong, dan berhasil-gagal itu berlalu sudah. Memang telat satu tahun dari perkiraan awal, hingga gelar cum-laude tak bisa didapat. Tapi ya sudahlah, tidak ada penyesalan atas itu. Hehe.
Dua bulan lalu itu, saya belum wisuda. Masih jumawa karena gelar yang baru nemplok dan berasa sudah menaklukan dunia. Di hari-H wisuda, kegembiraan itu tentu terpancar jelas. Teman-teman datang, ucapan selamat dari sana-sini, tampil cantik, foto bersama, dan buket bunga dari teman-teman. Perfecto!
Gilang, saya, Annelis, dan Rosania |
Rasa itu berakhir tiga minggu lalu, mungkin dua atau tiga hari setelah wisuda. Setelah itu, kekhawatiran menumpuk, banyak hal yang wara-wiri di otak dan rasa saya. Simpulan saya dan teman-teman adalah seseorang menjadi sangat labil ketika baru menyandang gelar sarjana. Hahaha. Maksudnya labil adalah belum tahu pasti apa yang diinginkannya. Tidak semua orang, mungkin. Tapi itu terjadi pada banyak orang, saya salah satunya.
Pertanyaan ingin dan akan kerja dimana langsung menghantui. Idealisme yang masih tersisa mengingatkan untuk bekerja sesuai nilai-nilai ideal yang telah diajarkan dan saya anut. Yang seperti apa? Bias. Hahaha. Ingin jalan-jalan kesana-kemari, mengunjungi tempat-tempat apik di Indonesia, tapi belum punya uang dan rasanya sudah tidak pantas untuk minta uang lagi ke orang tua. Dan lain-lain, dan lain-lain. Belum lagi masalah pertemanan. Bukan, saya bukan berseteru dengan teman-teman saya. Tapi rasanya perpisahan dengan mereka semakin akan cepat terjadi. Setidaknya, kami tidak akan intens bertemu, bertukar kabar, dan bercerita ini-itu hingga lupa waktu. Ah.
Bagaimanapun, itulah siklus hidup manusia, kan? Tidak mungkin juga saya terus berada di kampus itu, gedung-gedung itu, koridor itu, kamar sewa, dan fase itu. The end is the beginning is the end, kalau kata Smashing Pumpkins.
Jadi, mau ngapain setelah ini? *die*
Bandung, le 2 Septembre 2011
No comments:
Post a Comment