Setiap pergi dan pulang ke kampung halaman memang ada saja ceritanya. Tahun lalu, cerita yang menggila adalah durasi pergi mudik yang mencapai 28 jam karena jalanan yang rusak dan perbaikan yang belum selesai. Cerita berangkat mudik tahun ini diisi oleh perbincangan mbak-mbak di bangku belakang. Maka ini adalah cerita (omelan) pulang ke Bandung dengan kereta ekonomi.
Ceritanya, ibu saya sedang hobi sekali naik kereta api. Sudah dua kali pulang ke kampung halamannya, ibu mengandalkan alat transportasi itu. Sayangnya, PT KAI tidak melayani perjalanan langsung Cepu-Bandung ataupun sebaliknya. Maka, untuk mencapai Bandung, kami harus menuju Semarang, transit beberapa jam, lalu naik kereta jurusan Semarang-Bandung. Maka pada hari Sabtu yang cerah itu, saya diutus Ibu untuk membeli tiket kereta.
Rupanya arus balik belum juga usai. Kalau Pemerintah menetapkan Idul Fitri tanggal 31 Agustus, berarti ketika itu sudah H+10, tapi stasiun -apalagi stasiun kecil seperti Cepu- masih dipadati oleh pemudik yang mencari tiket dan menunggu kereta ke kota asal. Kebanyakan tujuan mereka adalah Jakarta, ibukota dengan daya tarik mahadahsyat untuk pekerja.
Saya beruntung tiket kereta Semarang-Bandung kelas eksekutif belum penuh. Yang menjadi masalah justru tiket Cepu-Semarang kelas bisnis yang sudah habis terjual. Ada dua kereta yang melayani perjalanan Cepu-Semarang. Yang pertama adalah Rajawali untuk kelas bisnis dan eksekutif. Yang kedua adalah KRL Blora Jaya yang khusus kelas ekonomi. Dengan beberapa pertimbangan, saya membeli tiket kelas ekonomi. Saya pikir, Cepu adalah stasiun kedua yang dihampiri oleh Blora Jaya, harusnya tidak penuh-penuh amat. Lagi pula, mbak penjaga loket bilang kalau tiket yang dijual dibatasi. Aman, pikir saya, tidak akan terlalu penuh, mungkin Ibu masih bisa dapat tempat duduk.
Singkat cerita, kereta lalu datang. Dari luar kelihatan masih beradab, kosong, dan tidak umpel-umpelan. Pintu kereta dibuka dan, selamat menghadapi kenyataan, sudah ada beberapa orang yang duduk di bawah. Ketika saya naik, di depan pintu sudah ada seorang ibu yang sedang menyusui balitanya. Orang-orang yang naik sebelum saya belum bergeser, sedangkan orang yang di belakang saya mendorong karena takut tidak kebagian tempat. Pada suasana seperti itu, calon penumpang menjadi gragas, mengerikan. Saya harus berteriak dan memberi tahu orang di belakang saya bahwa ada ibu dan anak kecil yang mungkin terjepit kalau kita tidak bersabar dan naik dengan manusiawi.
Perjalanan dimulai, sayang sekali semua bangku sudah penuh. Maka Ibu harus duduk di koper yang kami bawa, sedangkan saya berdiri. Mmm, sebenarnya ini bukan kali pertama saya menaiki kereta ekonomi yang penuh sesak, namun ini kali pertama bagi Ibu. Untungnya durasi perjalanan pendek saja, hanya tiga jam. Di tengah perjalanan, saya tidak bisa gunakan lagi kata 'untungnya'. MENGGILA! Penuhnya bahkan melebihi kereta ekonomi Yogyakarta-Bandung yang pernah saya naiki di kala week-end. Peminat kereta ekonomi ini sangaaaaaaaaaat banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!
Kereta berhenti dan membuka pintu di setiap stasiun kecil, sehingga sepenuh apapun, orang-orang tetap memaksa masuk. CHAOS! Maka perkataan mbak penjaga loket yang bilang bahwa penumpang sudah dibatasi adalah bohong besar. Setiap penumpang di stasiun berikutnya naik, pasti ada erangan dan teriakan dari penumpang yang sudah ada di dalam kereta. Sudah tidak dapat tempat duduk, berdiri, kipas angin mati, gerah, dan harus bersedia kakinya terinjak-injak. Naas.
Memang sih tidak ada orang yang duduk di atap kereta, karena ini kereta listrik, tapi karena itu pula kapasitas di dalam kereta membengkak, jauh di atas kapasitas normal. Petunjuk di pintu gerbong menyatakan kapasitas normal gerbong adalah 64 orang. Dan berapa kapasitas gerbong kala musim mudik seperti itu? Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin sepuluh kali lipat kapasitas normal. Bahkan beberapa orang terpaksa berdiri di toilet. Gila!
Masalahnya mungkin memang terletak pada jumlah penduduk Indonesia yang terlalu banyak, pembangunan yang tidak merata, kemakmuran yang belum dirasakan seluruh rakyat, dan transportasi massal abal-abal yang dibuat seadanya. Bagi banyak orang, kereta ekonomi adalah satu-satunya pilihan. Dengan harga murah, mereka bisa pergi hingga ke kota jauh. Sebagai perbandingan, harga tiket kereta ekonomi Cepu-Semarang kala musim mudik adalah Rp 28.000,- sedangkan harga tiket bisnis Rp 100.000,- dan harga tiket eksekutif mencapai Rp 160.000,-.
"Suruh siapa cuma beli tiket ekonomi, ya sebandinglah harga dan kualitas," mungkin demikian ujar beberapa orang. Tapi ya memangnya semua orang mampu beli tiket kelas bisnis atau eksekutif? Memangnya bisa mencegah orang untuk bertemu keluarga-keluarganya di kampung? Hah. Bagi banyak orang Indonesia yang menyenangi ritual, kesempatan mengunjungi keluarga di kampung halaman memang hanya ketika Idul Fitri ditambah dengan momen silaturahim yang ditunggu-tunggu.
Dengan sekian banyak peminat, dari tahun ke tahun, kereta api ekonomi ya begitu saja. Tidak ada perubahan yang berarti, kenaikan kualitas tidak, penurunan sih iya. Perasaan saya, mudik tidak hanya terjadi sekali dalam satu windu atau dasawarsa, tapi terjadi setiap tahun. Dalam setahun pun, kadang-kadang tidak hanya sekali. Apalagi sampai saat ini, kereta api masih dipercaya sebagai moda transportasi teraman untuk mudik. Jumlah kecelakaannya lebih sedikit dan jarang dibanding alat transportasi lain. Sayangnya tidak ada perhatian khusus bagi masyarakat yang mengandalkan kereta kelas ekonomi. Mengapa sih tidak tambah armada atau tambah jadwal perjalanan ketika musim mudik begitu? Tega banget kayaknya baca berita tentang orang sumpek-sumpekan di kereta api, beberapa bahkan sampai pingsan.
Saya sering bertanya-tanya, apakah SBY, Menteri Perhubungan, atau petinggi-petinggi PT KAI pernah naik kereta kelas ekonomi macam ini? Bisa tidak sih dia sidak yang benar-benar sidak? Menggunakan topeng sehingga benar-benar tidak dikenali orang, tanpa pengawal, sehingga ia bisa blusukan, dan tahu keadaan yang sebenar-benarnya tentang transportasi massal ini? Jika dia tahu, apa dia tidak peduli? Jahat nian.
Ceritanya, ibu saya sedang hobi sekali naik kereta api. Sudah dua kali pulang ke kampung halamannya, ibu mengandalkan alat transportasi itu. Sayangnya, PT KAI tidak melayani perjalanan langsung Cepu-Bandung ataupun sebaliknya. Maka, untuk mencapai Bandung, kami harus menuju Semarang, transit beberapa jam, lalu naik kereta jurusan Semarang-Bandung. Maka pada hari Sabtu yang cerah itu, saya diutus Ibu untuk membeli tiket kereta.
Rupanya arus balik belum juga usai. Kalau Pemerintah menetapkan Idul Fitri tanggal 31 Agustus, berarti ketika itu sudah H+10, tapi stasiun -apalagi stasiun kecil seperti Cepu- masih dipadati oleh pemudik yang mencari tiket dan menunggu kereta ke kota asal. Kebanyakan tujuan mereka adalah Jakarta, ibukota dengan daya tarik mahadahsyat untuk pekerja.
Saya beruntung tiket kereta Semarang-Bandung kelas eksekutif belum penuh. Yang menjadi masalah justru tiket Cepu-Semarang kelas bisnis yang sudah habis terjual. Ada dua kereta yang melayani perjalanan Cepu-Semarang. Yang pertama adalah Rajawali untuk kelas bisnis dan eksekutif. Yang kedua adalah KRL Blora Jaya yang khusus kelas ekonomi. Dengan beberapa pertimbangan, saya membeli tiket kelas ekonomi. Saya pikir, Cepu adalah stasiun kedua yang dihampiri oleh Blora Jaya, harusnya tidak penuh-penuh amat. Lagi pula, mbak penjaga loket bilang kalau tiket yang dijual dibatasi. Aman, pikir saya, tidak akan terlalu penuh, mungkin Ibu masih bisa dapat tempat duduk.
Singkat cerita, kereta lalu datang. Dari luar kelihatan masih beradab, kosong, dan tidak umpel-umpelan. Pintu kereta dibuka dan, selamat menghadapi kenyataan, sudah ada beberapa orang yang duduk di bawah. Ketika saya naik, di depan pintu sudah ada seorang ibu yang sedang menyusui balitanya. Orang-orang yang naik sebelum saya belum bergeser, sedangkan orang yang di belakang saya mendorong karena takut tidak kebagian tempat. Pada suasana seperti itu, calon penumpang menjadi gragas, mengerikan. Saya harus berteriak dan memberi tahu orang di belakang saya bahwa ada ibu dan anak kecil yang mungkin terjepit kalau kita tidak bersabar dan naik dengan manusiawi.
Perjalanan dimulai, sayang sekali semua bangku sudah penuh. Maka Ibu harus duduk di koper yang kami bawa, sedangkan saya berdiri. Mmm, sebenarnya ini bukan kali pertama saya menaiki kereta ekonomi yang penuh sesak, namun ini kali pertama bagi Ibu. Untungnya durasi perjalanan pendek saja, hanya tiga jam. Di tengah perjalanan, saya tidak bisa gunakan lagi kata 'untungnya'. MENGGILA! Penuhnya bahkan melebihi kereta ekonomi Yogyakarta-Bandung yang pernah saya naiki di kala week-end. Peminat kereta ekonomi ini sangaaaaaaaaaat banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!
Kereta berhenti dan membuka pintu di setiap stasiun kecil, sehingga sepenuh apapun, orang-orang tetap memaksa masuk. CHAOS! Maka perkataan mbak penjaga loket yang bilang bahwa penumpang sudah dibatasi adalah bohong besar. Setiap penumpang di stasiun berikutnya naik, pasti ada erangan dan teriakan dari penumpang yang sudah ada di dalam kereta. Sudah tidak dapat tempat duduk, berdiri, kipas angin mati, gerah, dan harus bersedia kakinya terinjak-injak. Naas.
Memang sih tidak ada orang yang duduk di atap kereta, karena ini kereta listrik, tapi karena itu pula kapasitas di dalam kereta membengkak, jauh di atas kapasitas normal. Petunjuk di pintu gerbong menyatakan kapasitas normal gerbong adalah 64 orang. Dan berapa kapasitas gerbong kala musim mudik seperti itu? Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin sepuluh kali lipat kapasitas normal. Bahkan beberapa orang terpaksa berdiri di toilet. Gila!
Kapasitas normal |
Masalahnya mungkin memang terletak pada jumlah penduduk Indonesia yang terlalu banyak, pembangunan yang tidak merata, kemakmuran yang belum dirasakan seluruh rakyat, dan transportasi massal abal-abal yang dibuat seadanya. Bagi banyak orang, kereta ekonomi adalah satu-satunya pilihan. Dengan harga murah, mereka bisa pergi hingga ke kota jauh. Sebagai perbandingan, harga tiket kereta ekonomi Cepu-Semarang kala musim mudik adalah Rp 28.000,- sedangkan harga tiket bisnis Rp 100.000,- dan harga tiket eksekutif mencapai Rp 160.000,-.
"Suruh siapa cuma beli tiket ekonomi, ya sebandinglah harga dan kualitas," mungkin demikian ujar beberapa orang. Tapi ya memangnya semua orang mampu beli tiket kelas bisnis atau eksekutif? Memangnya bisa mencegah orang untuk bertemu keluarga-keluarganya di kampung? Hah. Bagi banyak orang Indonesia yang menyenangi ritual, kesempatan mengunjungi keluarga di kampung halaman memang hanya ketika Idul Fitri ditambah dengan momen silaturahim yang ditunggu-tunggu.
Dengan sekian banyak peminat, dari tahun ke tahun, kereta api ekonomi ya begitu saja. Tidak ada perubahan yang berarti, kenaikan kualitas tidak, penurunan sih iya. Perasaan saya, mudik tidak hanya terjadi sekali dalam satu windu atau dasawarsa, tapi terjadi setiap tahun. Dalam setahun pun, kadang-kadang tidak hanya sekali. Apalagi sampai saat ini, kereta api masih dipercaya sebagai moda transportasi teraman untuk mudik. Jumlah kecelakaannya lebih sedikit dan jarang dibanding alat transportasi lain. Sayangnya tidak ada perhatian khusus bagi masyarakat yang mengandalkan kereta kelas ekonomi. Mengapa sih tidak tambah armada atau tambah jadwal perjalanan ketika musim mudik begitu? Tega banget kayaknya baca berita tentang orang sumpek-sumpekan di kereta api, beberapa bahkan sampai pingsan.
Saya sering bertanya-tanya, apakah SBY, Menteri Perhubungan, atau petinggi-petinggi PT KAI pernah naik kereta kelas ekonomi macam ini? Bisa tidak sih dia sidak yang benar-benar sidak? Menggunakan topeng sehingga benar-benar tidak dikenali orang, tanpa pengawal, sehingga ia bisa blusukan, dan tahu keadaan yang sebenar-benarnya tentang transportasi massal ini? Jika dia tahu, apa dia tidak peduli? Jahat nian.
Bandung, le 11 Septembre 2011
No comments:
Post a Comment