Perihal keluarga, memangnya keluarga siapa yang sempurna?
Di umur yang segini, mungkin sudah saatnya mikirin tentang
keluarga. Bukan tentang berkeluarga, tapi tentang keluarga. Bukan tentang
memiliki keluarga, tapi tentang keluarga. Di umur yang segini, pasti sudah
tahu-menahu mengenai masalah keluarga, ditanyai pendapatnya, dapat tekanan dari
keluarga, pokoknya segala macam tentang keluarga. Di umur yang segini, pasti
sudah menimbang-nimbang tentang berkeluarga, mau keluarga yang seperti apa
kelak.
Kadang-kadang, mau nggak mau, suka tidak suka, pasti
kepikiran. Dan pengalaman-pengalaman atau cerita-cerita tentang keluarga, yang
jauh maupun yang dekat, pasti memengaruhi pendapat, pandangan, atau cita-cita
ideal kita.
Tentang keluarga inti, keluarga saya sudah kurang lengkap
sejak saya masih sekolah dasar. Kami hanya berdua, saya dan ibu saya. Salah
satu masalah saya dalam keluarga adalah karena saya kekurangan sumber masalah
(baca: saudara kandung). Dari dulu, karena hanya berdua dengan ibu saya, saya
sudah biasa mendengar masalah-masalah keluarga. Dan saya harus bersyukur, bahwa
tidak ada masalah yang terlalu besar yang mendera keluarga kami.
Alhamduuuuuuuuuuuu.. lillah.
Hubungan kami dekat. Saya cerita pada Ibu. Ibu cerita pada
saya. Hampir tentang semuanya. Tapi di suatu titik, ada saja yang menjadi
masalah. Memang seperti itu layaknya. Hubungan antara ibu dan anak perempuannya
memang tidak pernah mulus kan? Masalah baju saja, bila mood keduanya ada yang
sedang fragile, pasti bisa menjadi masalah besar. Tapi ya ujung-ujungnya baikan
lagi. Memang mau ngapain lagi. Rumah sepi dong kalau kelamaan diam-diaman.
Karena cuma berdua. Not to mention ada beberapa orang yang tinggal di satu
lantai, tapi tidak sedarah.
Selain keluarga inti, tentu masih ada keluarga-keluarga
lainnya di sekitar saya. Keluarga ibu saya, keluarga almarhum ayah saya,
keluarga bude saya, keluarga tante saya, keluarga om saya, keluarga sepupu
saya, keluarga teman saya, keluarga orang yang saya kenal, dan masih banyak
keluarga yang lain-lain. Semuanya, pasti punya masalah. Dari yang kecil,
sedang, besar, hingga besar sekali. Dari yang sederhana, menengah, hingga rumit
setengah mampus kayak sinetron yang nggak kelar-kelar.
Saya pernah ada di suatu titik yang membuat saya marah besar
karena keluarga dan menimbang-nimbang untuk lepas ikatan dari satu bagian
keluarga saya. Setelah dipikir-pikir dan banyak sharing dengan teman dan,
tentu, Ibu saya, saya jadi tambah mikir. Memangnya mau pilih keluarga yang
seperti apa, memang bisa minta, memang bisa diwujudkan begitu saja? Memangnya
bisa lepas ikatan begitu? Bagaimana pun blut ist dicker als wasser kan?
Serenggang-renggangnya hubungan keluarga, tapi tetap saja namanya keluarga. Mau
semarah apapun pada mereka, tetap saja saya ada butuhnya dengan mereka,
setidaknya hingga beberapa waktu nanti. Ah, mau bagaimana? Hadapi saja karena
memang harus dihadapi. Sulit dan memang sulit.
Keluarga lain, yang saya pikir seru pun, pasti tidak lepas
dari masalah. Kalau dalam Bahasa Srimulat, keluarga yang terbebas dari masalah
adah hil yang mustahal. Nihil. Dicari sampai ke penjuru dunia pun nggak mungkin
ketemu. Mau jadi keluarga Kerajaan Inggris yang popular itu? Masalah makin
banyak. Mau jadi anaknya Mimi dan Pipi yang terlihat mesra? Terbukti ternyata
bermasalah hingga cerai. Mau jadi keluarga Nixau? Tetep aja bermasalah karena
sebuah botol. Atau mau jadi keluarga Paris Hilton? Masalah semakin segudang.
Mau jadi keluarga Pak Harto yang kaya melintir tujuh turunan? Ah, tapi katanya
hasil korupsi.
Ah sudahlah. Tak ada batas jika kau terus cari. Jangan
terus-terusan dicerca. Bukan, bukan karena mereka yang paling benar, paling mengerti kita, atau paling baik sedunia raya. Kritik memang tetap perlu. Tapi, pada akhirnya, mungkin cuma mereka yang bisa saya
andalkan.
Karena tetap harus bersyukur setidaknya punya keluarga. Kalau
ada yang jahat, bersyukur saja karena ada yang tidak jahat. Kalau ada yang
tidak baik, bersyukur saja karena ada yang baik. Kalau ada yang tidak
perhatian, bersyukur saja karena ada yang perhatian. Kalau ada yang pelit,
bersyukur saja karena ada yang tidak pelit. Kalau ada yang jelek, bersyukur
saja karena ada yang tidak jelek. Kalau ada yang sering marah, bersyukur saja
karena ada yang jarang marah. Kalau ada yang tidak suportif, bersyukur saja
karena ada yang suportif. Kalau ada yang mengesalkan, bersyukur saja karena ada
yang tidak mengesalkan.
Lalu bagaimana keluarga inti yang akan saya bangun nanti ya?
Selamat datang masalah. Rumit ataupun sederhana, ya bagaimana nantilah. (belum)
habis perkara.
Family can annoy you.
Smother you. Suffocate you until you feel like dying. But I’ll take it anytime.
Death by love can’t be that bad. (@indraherlambang, 11 September 2010)
Cepu, le 7 Septembre 2011
No comments:
Post a Comment