Saya rasa saya memang tidak ditakdirkan untuk diam, selain
ketika tidur.
“Coba, bisa nggak ya aku diem selama perjalanan dari sini
(gerbang tol Cileunyi) sampai depan rumah?!”
“Bisa aja sih.”
Dan sejak itu saya mulai diam, sambil melirik penunjuk waktu
di dashboard mobil. Kalau tidak salah
ingat, itu pukul 21.03. Selama diam itu pula, saya berkali-kali memalingkan
wajah untuk melihat penunjuk waktu itu. Demi jagat raya, waktu terasa sangat
lambat, padahal si teman memacu kecepatan mobil dengan kecepatan tidak seperti
biasa. Kombinasi dari waktu yang terasa lambat, keheningan, dan kecepatan yang
110 - 120 km/jam itu, bisa saya katakan, bukan kombinasi yang bagus. Padahal bisa
saya bilang, itu perjalanan tercepat saya dari Jatinangor ke Bandung.
Dan terus begitu selama beberapa menit.
Ya, hanya beberapa menit. Di jarak yang telah tertempuh 12
km, saya tiba-tiba berkata, “Bosen banget ternyata. Bisa diterusin, tapi
ngebosenin banget.”
Setelah saya mengatakan hal itu, saya melanjutkan diam, dia
juga masih diam. Dan kata pertama yang si teman ucapkan adalah kata “sorry” di
gerbang tol Pasteur, ketika dia mengembalikan kembalian uang bayar tol dengan
tangan kiri. Setelah itu, hening lagi, sampai depan rumah saya. Mungkin
jaraknya sekira 5 atau 7 km dari gerbang tol itu.
Dan setelah itu, saya menyadari kalau saya tidak bisa diam.
Memang sih, saya tidak secerewet itu. Di rumah pun saya banyak diam, karena
lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di kamar. Tapi, percayalah, ketika ada
orang di sebelah kita, saling kenal, dan tidak ada sepotong percakapan pun
antara kita dan orang itu, bisa jadi itu menjadi waktu paling lama yang pernah
kita buang.
Waktu SMA, saya dan teman-teman sedang berkumpul di ruangan
ekstrakurikuler. Karena kami senang bercerita ini itu dan seperti ada saja yang
harus diceritakan, seorang instruktur bilang kami berisik dan bilang pada kami
untuk mencoba diam. Kami mencoba dan memang hanya bertahan sampai lima menit.
Sebelum menit kelima, seorang dari kami sudah tidak tahan dan berbicara. Di
menit kelima, kami tertawa berbarengan dan mengobrol lagi, mungkin lebih
berisik dari sebelumnya. Haha.
Perihal diam ini pun pernah terjadi di ruang himpunan.
Ketika sedang rehat merencanakan sesuatu, maka obrolan-obrolan kami beralih ke
hal yang tidak penting. Seorang senior mengajak untuk diam selama beberapa
menit. Di menit ketiga atau keempat, ajakannya berubah dari chaos yang lebih lagi. Nah.
Berada di keheningan yang diciptakan demikian dan bukan di
tempat yang semestinya, misalnya tempat yoga dan memang sedang latihan hening,
adalah tantangan yang amat berat. Bukan ketika memulai, tapi ketika sudah
waktunya mematahkan keheningan itu. Sumpah, susah banget! Produksi suara juga kayaknya malah jadi mandeg. Dan bingung mau bilang
apa, karena banyak yang sebenarnya jadi ingin dibicarakan. Aneh.
Selain hening yang ini, saya pernah berupaya mengosongkan
pikiran. Saya pernah berusaha mendiamkan pikiran saya ketika akan tidur. Karena
kata orang, supaya relaks. Saya berusaha selama beberapa menit, selama beberapa
hari, dan hening pikiran itu tidak pernah terjadi pada saya. Imbasnya, saya
malah lelah. Kacau! Hahaha. Kini saya tahu mengapa latihan-latihan demikian itu
lama dan mahal.
Hening itu melelahkan.
Bandung, le 14 Septembre 2011
Nggak ah, hening itu tidak melelahkan. Atau mungkin aku cuma kebalikan total dari kamu. Aku bisa seharian ga ngomong sama siapa2 / gak buka fb/twitter/smsan/yman. Tapi, berada di suatu tempat tanpa orang yang dikenal emang melelahkan, sih.
ReplyDeleteheuheuheu. iya sih, eh tapi aku kadang memang butuh waktu sendiri juga setelah 'bersosialisasi'. butuh waktu diem, sendiri. jadi hening itu selain melelahkan, juga melegakan. ehehe. harus ditambahin kali ya? etapi nggak bisa seharian banget lah aku mah. tetep harus ngobrol, minimal sama ibu. :p
ReplyDelete