Saturday, November 27, 2010

Egois!

Sampai kapan kamu akan terus egois?


Satu pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di telinga saya sejak beberapa waktu lalu. Dan berkutat terus saja di kepala saya hingga seperti menghantui hari-hari saya. Tidak, memang tidak ada siapapun yang bertanya seperti itu pada saya. Pertanyaan itu muncul begitu saja.


Rupanya saya, si mahasiswa tingkat akhir yang tugas akhir-nya tidak kunjung berakhir ini, mulai merasa semua ini harus diakhiri. Singkat kata, saya merasa sudah waktunya saya LULUS. Hahaha. Kamana wae atuh karek ngarasa ayeuna? Tapi memang dimana kaitannya ‘lulus’ dan ‘egois’?

Entah dimana, entah benar atau tidak, pokoknya saya merasa egois dengan tidak segera lulus. Egois pada ibu saya, keluarga saya, lingkungan saya, teman-teman saya, dan lain-lainnya.

Saya tentu egois pada ibu saya karena beliau yang masih membiayai segala macam, tetek bengek, yang saya inginkan dan butuhkan. Dan karena saya belum segera lulus, pastilah beliau masih memikirkan hidup saya yang belum jelas akan bagaimana. Tentulah ia khawatir karena belum bisa memikirkan dan menabung untuk masa tuanya nanti. Tentulah ia khawatir masih harus membiayai ini-itu-ina-itu. Tentulah ia khawatir karena tugasnya menyekolahkan anaknya hingga lulus perguruan tinggi seperti belum purna betul. Tentulah ia khawatir karena anaknya belum bisa memberikan kebanggaan apapun untuk dirinya. Tentulah ia khawatir takut anaknya stress karena tugas akhir-nya tidak kunjung berakhir. Tentulah ia khawatir harus membiayai pengobatan anaknya yang sering kambuh sakitnya. Tentulah ia khawatir karena anaknya memilih bermain daripada mengerjakan skripsinya. Tentulah ia khawatir anaknya hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Tentulah ia khawatir anaknya masih bertingkah egois. Tentulah ia khawatir. Dan selama ini, saya egois sekali tidak mengambil pusing atas kekhawatirannya yang (mungkin) mengkhawatirkan saya. Walaupun kekhawatirannya itu tidak pernah terucap.

Dan saya egois pula karena belum bisa membantu adik-adik saya yang masih sekolah, belum bisa berikan mereka tambahan uang jajan, belum bisa mengenalkan pada mereka hal-hal asyik dan unik di belantara dunia, belum bisa ajak mereka pelesiran kemana mereka mau. Belum bisa belikan bude-pakde-om-dan-tante barang satu lembar baju, padahal mereka sudah bantu ini-itu-ina-itu banyak sekali. Lalu saya egois karena belum mau kunjungi eyang tersayang yang masih sakit. Ah, memangnya saya ini egois selama ini. Hanya memikirkan diri sendiri. Hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Hanya ingin bermain dan terus bermain. Hanya bermalas-malasan.

Betapa jika saya lulus secepat-cepatnya, saya akan mengubah hidup beberapa orang, minimal orang-orang di sekitar saya. Betapa jika saya lulus secepat-cepatnya, saya mungkin bisa pergi kesana-kemari dan melakukan sedikit hal untuk lingkungan saya. Sedikit saja.

Dan lonceng di dalam kepala saya pun semakin keras berbunyi, menyadarkan untuk tidak larut dalam keegoisan yang semakin menjadi-jadi. Sudah waktunya saya lulus dan keluar dari cangkang ini, dari lingkungan ini, dari orang-orang ini.

Jadi kapan mau lulus?

-stuck bab 1-

Sunday, September 26, 2010

Padang Bulan

Buku telah menjadi teman saya selama bertahun-tahun. Walaupun tentunya saya belum membaca ratusan ribu buku seperti tokoh-tokoh di Bukuku Kakiku. Hehehe. Tapi memang karena buku, saya menjadi terbiasa membaca dan mengarungi tempat yang entah dimana adanya. Sayangnya, kebiasaan saya membaca buku kini agak terkikis. Blame on twitter, maybe. Hehehe.

Buku terakhir yang saya baca adalah seri pertama dari dwilogi Padang Bulan. Buku yang didesain unik ini adalah karya Andrea Hirata. Sebelumnya ia telah dikenal karena buku tetralogi Laskar Pelangi, karyanya, yang amat sangat meledak di pasaran. Sebenarnya, buku ini tidak tebal-tebal amat, berkisar 250 lembar. Tapi, oh tapi.. entah karena kemampuan membaca saya menurun atau apa, saya butuh waktu sekitar sepuluh hari untuk menamatkannya. L

Seperti yang dikatakan teman saya, buku ini memang tidak se-fenomenal Laskar Pelangi dan adik-adiknya. Tapi, entah kenapa saya suka pemilihan kata dan kalimat-kalimat yang digunakan oleh Hirata. Sangat Melayu dan, tentu saja, menggambarkan keadaan sosial masyarakat Melayu sebenar-benarnya. Dan satu hal juga yang tidak hilang dari serial-serial yang dibuat oleh Hirata, buku-bukunya selalu mengandung harapan, tentang pendidikan dan masa depan. Meski hampir semua tokohnya bernasib kurang baik, boleh dibilang miskin cekek. Tapi selalu ada harapan untuk bisa hidup lebih baik, misalnya dengan kursus Bahasa, pergi ke ibukota, kursus servis antena, atau bahkan sekedar menambah tinggi empat sentimeter.

Saya tidak akan berpanjang-panjang mereview buku pertama dari dwilogi Padang Bulan, karena memang tujuan awalnya bukan itu. Hehe. Saya hanya ingin mengutip bagian yang paling saya suka dari buku berjudul Padang Bulan ini.

Dikisahkan bahwa Ikal sedang sangat rindu dengan A Ling, pujaan hatinya sepanjang hidup berbelas tahun:

“Kupejamkan mata. Kuucapkan nama A Ling lima puluh kali. Kubuka Mata, kulihat sekeliling.

Lampu padam.

Malam diam.

Aku masih rindu. “ (hal. 239)

Cukup sekian dan terima kasih. Selamat malam senin. J

Saturday, September 11, 2010

Ijik Rodok Rompal!

Hey, siapa menteri atau pejabat Departemen Perhubungan atau Pekerjaan Umum yang pernah bilang sarana dan prasarana untuk mudik Lebaran 2010 telah siap-sesiap-siapnya? Sini Pak, Bu, saya bawa kau menyusuri Jalur Pantai Utara Jawa, mungkin mau tahu apa yang saya lalui ketika perjalanan mudik menemui Eyang dan saudara-saudara di kampung jauh.

Perjalanan mudik tahun ini, kemungkinan besar, adalah perjalanan mudik terlama yang pernah saya tempuh. Setidaknya selama dua-puluh tahunan saya pernah mudik. Bayangkan saja, jika perjalanan normal Bandung-Cepu bisa ditempuh dengan 13 jam saja. Maka kali ini, perjalanan Bandung ke daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur itu saya tempuh selama dua-puluh-delapan jam. OH EM JI.

Baiklah, mungkin kesalahan, selain ada pada Bunda Dorce, juga ada pada ibu saya dan saya yang memilih mudik di penghujung Ramadhan – dua hari sebelum Lebaran. Macet dimana-mana, ya risikolah. Tapi jika sampai 28 jam? Itu sudah gila namanyaaaaa. Sintiang.

Apa rupanya yang menjadikan perjalanan mudik itu menjadi begitu lama? Selain kealpaan internal yang telah saya sebutkan tadi, tentunya ada pula kealpaan eksternal. Dan itu adalaaaaahh.. infrastruktur yang tidak mumpuni untuk menanggung beban kendaraan yang begitu banyaknya. Banyak jalanan rusak: bergelombang, bolong-bolong, dan sedang diperbaiki.

Maka saya katakan, bohong besar jika petinggi-petinggi negara ini bilang jalur mudik, terutama Pantura, sudah laik guna. Oh, Pak, Bu.. bohong belakakah itu? Rupanya hanya naik pesawat saja kerjamu itu ya? Atau lebih baik menyalahkan kuantitas pemudik yang begitu banyak dan tumplek-tublek di jalanan itu dalam waktu yang bersamaan?

Perjalanan dari Bandung ke Majalengka saja, kemarin itu, butuh waktu dua belas jam. Macet di sana-sini, Pak, Bu. Jalur yang seharusnya bisa dua arah menjadi hanya satu arah karena kerusakan jalan dan penumpukan kendaraan. Maka itu, di Paseh itu, bis kami berhenti tiga jam. Tanpa maju satu centimeter pun, apalagi satu inch, tidak sama sekali. Malah sang supir bisa mematikan mesin dan berjalan-jalan dulu bertanya-tanya apa rupanya sumber kemacetannya?

Kemacetan itu berakhir pula, Haleluya, Alhamdulillah, ketika kami sampai di Cirebon. Tapi, tunggu dulu, di tol yang konon dimiliki keluarga Bakrie itu, macet pula. Oh, benar-benar jalan bebas hambatan. Brebes, Batang, Purwodadi, semuanya macet. Berjam-jam saja kami duduk diam di bis tanpa bisa melakukan apa-apa. Bisnya diam saja, tidak segera bergerak. Cuma penumpang-penumpang saja angkat pantat karena segera tepos dan penasaran apa pasal yang bikin bis berhenti.

Dan masalahnya rata-rata hampir sama. Jalanan-jalanan itu belum purna diperbaiki. Hingga bis-bis, mobil-mobil, motor-motor harus bersabar berjalan pelan-pelan untuk melaluinya. Dan kadang harus menunggu giliran karena bergantian dari arah yang sebaliknya. Mereka yang lewat situ, terpaksa menunggu, menghela nafas, dan menghentikan lelah demi bertemu sanak saudara yang entah jauh atau dekat. Padahal entah sudah berapa lama mereka menempuh perjalanan itu.

Jalanan itu bergelombang dan bolong-bolong. Seperti jalanan Bandung, yang tak habis kami bicarakan, yang tak bisa dilalui oleh sembarang kendaraan. Karena khawatir terjungkal atau, minimal, ban meletus. Oh, Bapak.. kemanakah waktu setahun yang kau bilang benar bisa digunakan memperbaiki jalur-jalur itu? Sepanjang tahun, sepanjang saya selalu lewat situ, selalu begitu saja. Tak juga baik, tak juga layak, apalagi indah. Sama sekali tidak. Jalur utama Pantai Utara, misalnya jalan baru di Alas Roban, itu juga ndak bagus-bagus amat kok , Pak. Ijik rodok rompal (baca: masih agak somplak).

Masalahnya Pak, Bu, buat saya yang kampunya di Cepu dan mudiknya naik bis, kami tidak bisa milih jalur, yang misalnya kata Bapak jalurnya atau jalannya sudah bagus. Masalahnya, bagi sebagian orang, jalanan itu, yang jelek-jelek, rompal, bergelombang, dan berbatu itu adalah satu-satunya jalan menuju kampung halaman.

Dan oh, kenapa nggak ada kereta langsung menuju Cepu dari Bandung, yang tanpa berhenti dan ganti kereta dulu di Semarang? #uuuuuuuu.

Eh, Pak, Bu, bukan dikorupsi kan itu uang perbaikan jalan? Pasti bukan. #optimis


Cepu, le 11 Septembre 2010.

Mengenang dua puluh delapan jam perjalanan Bandung – Cepu.

Wednesday, July 28, 2010

Jadi Gimana?


Perbincangan bersama beberapa teman, yang mengeluhkan teman yang lain, adalah hal yang rutin dilakukan. Sudah menjadi kebiasaan, seperti itu rupanya. Bergunjing? Bisa dibilang begitu. Daripada disimpan saja dalam hati dan mengerak tak selesai. Lebih baik membaginya dengan teman-teman yang bisa mengerti. Tapi, ya pilih-pilih teman juga untuk bercerita. *anggapan yang keliru, tentunya. :p

Perbincangan mengenai beberapa orang tidak akan ada habisnya. Kadang pembicaraan itu mengenai kebaikan hati, tapi yang sering malah mengenai kekesalan tentang seseorang, yang seperti tak habis-habis. Beragam sifat dan cara pikir masing-masing orang, menjadikan acapkali ada perbenturan. Hingga terkadang bingung sendiri bagaimana sifat dan cara pikir si orang tersebut. Yang kadang, tak masuk di akal saya. Entah kapasitas otak saya yang terlalu kecil atau saya terlalu bebal untuk menerima perbedaan. Atau bisa jadi malah karena alasan yang terakhir, memang orang-orang itulah yang “aneh” dengan cara pandang yang “aneh”. Bolehkah membeli label demikian? Bung Johnny Depp yang aktingnya ciamik itu pernah bilang, “I am doing things that are true to me, the only thing u have a problem is being labeled.”

Ah, interpretasikan saja sendiri ya..

Jika mulut telah sampai berbusa membicarakan kelakuan yang aneh-aneh, tidak jarang malah menjadi beban pikiran. Mengapa demikian? Yang pertama karena memikirkan kenapa ada orang yang berpikir demikian dan memiliki polah demikian. Yang kedua, bagaimana jika polah tersebut merugikan orang lain dan merugikan orang lain? Yang ketiga, yang paling penting, adalah am I one of them? Ketiga hal tersebut memang tidak penting, bisa dibilang begitu. Fungsinya hanya satu, memacu otak supaya berpikir: berpikir tidak penting dan lama-lama malah menjadi beban pikiran. Hahaha. Aneh.

Selama ini, saya berusaha menjadi orang yang apa adanya. Walaupun pada suatu ketika saya dipaksa menjadi orang baik. Tapi toh paksaan itu, seringnya, berasal dari dalam diri saya. Jadi tidak masalah, saya kira. Jadi, saya tetap berupaya menjadi saya.

Nah, masalahnya adalah apakah perilaku-perilaku saya selama ini, ketika saya sedang menjadi saya, merugikan orang lain? Adakah mereka yang di belakang sana, yang tidak terlihar dan tidak tertangkap di radar mata saya, memperbincangkan laku saya, yang mungkin juga menurut mereka adalah hal yang aneh dan di luar batas kewajaran? Apakah mereka menjadikan saya objek yang demikian hingga mengisi pertemuan dan perbincangan mereka, misalnya in negative way. Oh God, memikirkan satu orang yang demikian saja terasa cukup membingungkan.

Tapi ya apa mau dikata, agak tidak mungkin kalau tidak ada satu orang pun yang membenci saya. Bencinya tidak sampai ke ubun-ubun memang, tapi cukup saja dia tidak menyukai polah saya, setitik pun. Tidak bisa juga kita memaksakan semua orang untuk menyukai semua tingkah polah saya. If you’re too blind to see what is wrong with me, maybe you’re deeply in love with me. Hahaha.

Oh, saya jadi ingat ketika masih SMA (baca: masih muda). Setiap hari ada giliran muhasabah. Jadi setiap hari kami diberi kertas kosong berukuran kecil. Setiap hari pula, diundi siapa yang akan kena giliran muhasabah. Kemudian di kertas kosong itu boleh ditulis apa yang disuka dan tidak disuka dari teman yang sedang kena giliran muhasabah. Memang sih, tidak disebutkan siapa yang sebal dengan siapa atau siapa suka dengan senyum manis siapa. Tapi, itu kan teman sekelas, mudah sekali dilacaknya. *tapi nggak penting juga dilacak. Yang penting, tahu apa yang negatif dan positif dari diri saya.* Itu menyenangkan, mengetahui respon orang-orang. Kadang senang karena dipuji, kadang gondok setengah mati karena banyak juga yang jawabannya asal. Atau merasa sedih dan berpikir tak henti jika ada yang bilang sebal. Saya pernah dapat, beberapa masih saya simpan.

Dengan segala kerendahan hati, saya minta maaf jika ada yang tidak suka pada tingkah polah saya selama ini. Dan berikanlah pencerahan, apa yang kamu tidak suka pada saya dan bagaimana saya harus mengurangi atau menghilangkannya? :D

Tulus loh saya bilang begitu. Tapi kalau boleh tetap munafik, supaya tetap terasa Indonesianya, saya mungkin juga punya standar ganda. Untuk beberapa orang, I know that you hate me and I let you to do that. Because, vice versa. I hate you too, darling. Hahaha. Maksudnya, bisa jadi saya benci apa yang kamu lakukan dan saya diam saja, kadang saya hanya harus berjarak dengan kamu. Seperti begitu.

Yang pasti dalam doa, saya selalu berucap bahwa saya tidak ingin menjadi The Hater. I want a be a lover, tapi masalahnya tidak selalu berhasil. Saya akui itu. Boleh juga saya sadari bahwa selama ini, selama saya apa adanya, selama saya baik, berusaha menjadi baik, ataupun buruk, I am not everybody’s sweetheart. If you get what I’m trying to say.

Yang penting sih, kalau saya suka dengan yang pasti-pasti. Kalau kata Coldplay, if you love me, won’t you let me know? So does with the hate. If you hate me, won’t you let me know? Fair enough kan?

So, what’s your decision about me? :D


image from: www.dreamstime.com

Wednesday, July 7, 2010

ERK Without Adrian

Sebenarnya, cerita ini cerita basi. Sudah lama sekali adanya. Bulan lalu, Annelis, Betok, Memet, dan tentunya saya menyempatkan diri menonton pertunjukkan salah satu band favorit kami. Nama band-nya Efek Rumah Kaca. I bet you know this band.

***

Perkenalan saya dengan band ini dimulai dari seorang teman. Saya lupa siapa yang memberi dengar saya lagu-lagu mereka. Belum lagi akses internet luas tanpa batas yang kemudian membuat saya mendapat banyak informasi tentang mereka-mereka ini. Pernah juga menemani beberapa teman mewawancarai mereka. Lagu-lagu mereka pun menghiasi playlist saya.

Perkenalan yang membuahkan impresi baik kemudian membuat saya tertarik untuk menonton performa band yang beranggotakan tiga orang tersebut. Bersama teman-teman, saya mendatangi satu-persatu gig dimana mereka menjadi pengisi acaranya. Kami kejar saja itu acara berbayar murah, kalau gratis kami lebih semangat. Hahaha. Namanya juga mahasiswa. Hampir setiap mereka manggung di Bandung, kalau tidak ada acara yang lebih penting, maka kami sempatkan datang. Mulai dari saling tebak baju apa yang dipake Cholil, sang vokalis. Atau tebak-menebak lagu-lagu yang akan mereka bawakan. Atau bahkan sing along, tidak hanya liriknya yang kami nyanyikan, bahkan vokal latar yang kadang berbeda dengan lagu-lagu pada umumnya. Sambil lihat ekspresi sang bassist, Adrian, membawakan vokal latar tersebut.

***

Kemudian datanglah kabar dari @efekrumahkaca pada bulan lalu. Mereka mengabarkan akan lagi manggung di Bandung. Kabar tersebut disertai keterangan bahwa pertunjukkan tersebut akan menjadi pertunjukkan terakhir ERK di Bandung. Setelah itu, mereka hanya akan fokus melayani tawaran manggung di Jakarta. HELL? Mengapa mereka tega melakukan hal tersebut? *maaf lebay. Biar nggak ngantuk.* Rupa-rupanya mereka membatasi jadwal manggung di luar kota karena sedang fokus pada pengobatan Adrian, si bassist cum backing vocal.

Maka, pada Juni lalu, tanggal 6 kalau tidak salah, kami menyempatkan datang ke PVJ untuk melihat penampilan terakhir mereka di Bandung. Tumben teman-teman saya yang datang kala itu sedikit. Karena memang cuaca sedang tidak bersahabat, hujan terus-menerus sejak pagi. Ketika hujan sedikit reda langsung saja tancap boooiiii..

Menunggu beberapa jeda dan penampilan mereka pun dimulai. Dan guess what? Nggak ada Adrian dong. ia digantikan oleh salah satu 'stafnya' ERK. Kami kira, ungkapan ‘acara terakhir sebelum kami fokus pada penyembuhan Adrian’ itu merujuk pada satu penampilan dimana Adrian akan muncul terakhir kalinya di Bandung. Sedikit kecewa. Tapi ya sudahlah, mari nikmati saja. Kami sing along seperti biasa. Teriak-teriak nggak puguh. Melepaskan beban usmas sedikit. *tetep curcol belom usmas. Hehe*

fotonya diambil dari sini

Di tengah-tengah pertunjukkan, kami rasa ada yang aneh. Dan demikian pula dikata Akbar, sang drummer. Ia yang menggantikan posisi Adrian sebagai backing vokal dan, maka itu pula, ia merasa aneh dengan polah itu. Ia bilang, timbre suaranya berbeda dengan Adrian yang agak berat, maka beberapa vokal latar menjadi aneh jika dia yang menyanyikannya. Ada lagu-lagu tertentu yang hanya bisa dijiwai oleh Adrian, dipandang dari sisi vokal dan ekspresi wajah. *tampak ilmiah.* You should listen their song and you’ll know which part when Adrian became a backing vocal. His face always show some effort to produce the right sounds. Hehe. Kocak ngeliatnya. The ambiance of the song jadi berbeda jika dilatari dengan vokal Akbar dan memang sepertinya hanya pas jika dilakukan oleh Adrian.

Rupa-rupanya pengobatan seperti apa yang sedang dilakukan Adrian sehingga mengharuskannya istirahat dari manggung? Nggak taulah, cuma dokter, dia sendiri, dan Bunda Dorce yang tahu. *tepok jidat*.

Salah satu lagu yang dibuat oleh Adrian bertajuk “Sebelah Mata”. Ceritanya tentang orang yang hidup dengan sebelah matanya saja. Nah, usut punya usut, lagu ini didasarkan pada kisah pribadinya. Yaps, selama ini hanya sebelah matanya saja yang berfungsi normal. Sebelah lagi, kemampuan melihatnya sangat terbatas.

Beberapa lama lalu, @efekrumahkaca mengatakan bahwa Adrian menderita Retinitis Pigmentosa yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit tersebut berdasrkan diagnosis dokter-dokter di Indonesia. Berdasarkan keterangan Om Wiki, Retinitis Pigmentosa adalah penyakit genetis yang salah satu gejalanya berkurangnya daya penglihatan di malam hari dan dapat menyebabkan kebutaan.

Namun, cukup lama berselang, di catatan perjalanan Efek Rumah Kaca ketika tour ke negeri jiran Singapura dan Malaysia pada Maret lalu, diagnosa tersebut diralat. Menurut dokter-dokter di Singapura, masalah penglihatan yang dialami Adrian adalah inflammation atau terdapat virus/bakteri di darah dan tidak bekerjanya aliran darah ke mata. Dan berdasarkan catatan perjalanan itu pula, penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan beberapa perawatan.

I have no idea sih yang mana yang bener. Yang penting sih semoga Adrian bisa cepet sembuh dan manggung lagi dan bisa dipertemukan dengan Hilman. Oemji, mereka berdua mirip. Setuju kan temen-temen? Plis setujuuuuuu… :D :D


Bandung, le 6 Juillet 2010

Tuesday, July 6, 2010

L'APPARTEMANT de 1505

Ada hal-hal yang sebaiknya memang dibiarkan mengambang saja. Tidak usah diungkapkan lewat tulisan, pun diejawantahkan melalui lisan. Cukup demikian saja, diposisikan seperti pelampung yang mengapung mengambang di kolam renang, yang kedalamannya bahkan kau tak tahu seberapa benar.

**

Mengapa aku lalu bisa berkata demikian? Bukankah harusnya aku senang semua rasaku telah termuntahkan pada sasaran yang tepat? Bukankah kejadian semalam, yang terjadi hanya sekejap saja, dan mungkin telah kurencanakan berjuta-juta detik dan selaksa waktu dalam lelah hidupku, adalah yang ada aku inginkan? Bukankah yang peristiwa malam tadi adalah semua yang pernah ada dalam pagar mimpiku, yang karenanya aku tersedu menangis bahkan ketika aku tidak menyadarinya? Bukankah begitu?

Tadi malam itu, di sebuah kafe yang tidak terlalu mahal, disertai segelas es cokelat yang juga tidak terlalu mahal, aku bertemu dengan dia. Entah untuk keberapa kalinya? Sejelas-jelasnya, ini bukan kali pertama. Karena di kali pertama yang lalu itu, aku bertemu dengannya bersama rasa yang sama sekali ringan, tidak ada secuil pun rasa yang membelenggu. Dan kali ini, seperti juga seperti pertemuan kedua kami, aku membawa rasa yang begitu berat dan tak tahu apa namanya.

Sepulang dari pertemuan kedua itu, dimana aku juga memesan es cokelat untuk teman mengobrol kami, telah kurencanakan semua yang terjadi malam tadi itu. Rencana yang berubah-ubah seiring adanya pertemuan ketiga-keempat-kelima-keenam-ketujuh-keseratus-keseribu-dan hingga aku hilang hitungan.

Setelah rangkaian yang demikian merantai itu, aku janjikan pada diriku bahwa akan ada saatnya aku berbicara seserius hukum Fisika untuk membicarakan semua rasa yang ada pada aku. Seserius campuran kimia yang mungkin salah takaran. Aku janjikan itu. Dan mungkin memang benar tadi malam adalah masa yang setepatnya. Dan kini, aku gamang, justru karena janjiku yang telah terucap.

***

Mengingat segelas es cokelat yang kusedot dikit demi sedikit itu juga membuat hatiku perih karena ia lama-lama habis. Dan mengingat ia, yang bersamaku semalam, juga membuatku sedih karena ia lama-lama hilang. Ironisnya, aku sadari itu, sejak pertemuan kedua kami.

Maka pagi ini, berselang berapa waktu atas pertemuan yang samar itu, aku rebahkan diriku saja di kasur dengan kenyamanan tingkat tinggi ini. Aku ingin bergelung saja dengan selimut yang menghangatkanku hingga aku merasakan aman. Sedikit saja kubuka mata untuk melihat jam di dinding kamarku yang sudah kusam. Warnanya kumaksudkan jingga, sebagai hasil googling. Katanya warna yang jingga itu berikan semangat yang menyala di setiap hariku.

Inginnya aku tidak mengingat kejadian semalam itu. Ketika aku duduk berhadapan dengannya dan menceritakan kehidupan kami masing-masing, yang semakin lama semakin kabur dengan idealisme yang kami miliki dahulu. Perbincangan dengannya menjadi suatu perbicangan yang kutunggu di setiap waktuku. Berbincang dengannya bisa memakan waktu berjam-jam dengan jeda sunyi yang bisa dimaafkan tapi tetap menyenangkan.

Tapi ketika aku bangun dari tidur semalam itu, semuanya seperti film yang diputar mundur. Seperti aku bisa mengingat semua percakapan kami sejak detik pertama kami bertemu. Detik berikutnya, di pagi yang cerah-ceria itu, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuka mata.

Untungnya hari ini aku tidak memiliki kewajiban apapun. Aku bebas menentukan apa yang kulakukan sepanjang hari. Dan yang kupilih adalah tidak melakukan apa-apa, selain bermain dengan pikiranku sendiri dan gulang-guling di kasur berseprai biru ini. Sesekali saja aku menuju kamar kecil dan mengambil air mineral di dapur super-mini di apartemenku ini. Beruntung perutku tidak lapar sama sekali, maka aku tidak perlu keluar dari kamar ini untuk membeli pengganjal perut.

Satu jam, dua jam, tiga jam, lima jam, delapan jam, dan hingga sore hari pun aku masih tidak keluar dari sangkarku yang senyap ini. Bahkan tidak ada celoteh bintang opera sabun dari televisi atau sejernih suara dari penyanyi kesukaanku. Aku tidak menyetel lagu riang, bahkan lagu sedih pun tak rela kunyalakan. Aku berdiam saja, berdamai dengan sepi, dan tentu berdamai dengan memori tadi malam.

***

Tadi malam, malam yang penuh dengan es coklat, adalah malam yang biasa saja sebenarnya. Menjadi tidak biasa ketika aku memintanya untuk mendengarkan aku berbicara, menyerocos tanpa henti, tanpa jeda, dan tanpa peduli.

Aku nggak tau apa yang ada di aku. Yang aku tahu ada hal-hal yang berubah, terutama di aku, sejak kita ketemu kedua kalinya. Kalau nggak salah waktu kita janjian di tempat minum kopi deket rumahku itu. Dan, ya aku nggak tau juga kenapa semuanya berubah di aku. Mungkin aku suka kamu. Maybe I’m falling in love with you. Mungkin aku sebel sama kamu. Aku juga nggak tau pasti. …”

Sejeda kemudian kuteruskan racauanku.

“Tenang aja, kamu nggak perlu bilang apa-apa. Kamu nggak berkewajiban untuk menjawab apa yang aku bilang sekarang ini. Yang pasti aku merasa nyaman sama kamu. Aku seneng cerita-cerita semua hal sama aku. Tapi beneran, kamu santai aja. Aku nggak maksain apa-apa. Aku sih ngarepnya kita bisa temenan aja kayak biasanya. Klise banget kan ya aku? Ya tapi gitu deh. ..”

Dia, yang duduk di seberangku, hanya terpaku. Mungkin ia kaget dengan segala yang aku katakan. Ia, mungkin, seperti aku sendiri, tidak pernah menyangka bahwa aku benar-benar bisa mengatakan hal yang demikian itu. Mata bulatnya seperti menyelidik, berusaha menggali apa yang sebenar-benarnya aku rasakan. Ia menebak-nebak seberapa jujur perkataanku barusan. Aku memandangnya sejenak, rambut, mata, kerah baju, hingga kaos berkerah warna berwarna biru tua yang sudah sering ia pakai. Aku sedetik terkesima dan kembali ke dunia nyata.

“Oke, aku mau pulang dulu. Kamu nggak usah anter aku nggak papa. Aku lagi pengen naik taksi aja. Hehe. Nanti kalau sudah sampai kamar, kamu kasih kabar ya. Salam buat si pacar. See you when I see you yaaa.. “

Aku tidak memberinya kesempatan untuk berbicara sepatah kata pun. Entah apa pula yang berada di pikirannya. Biar saja jika ia bilang aku agak aneh. Sudah selesai saja perjuangan menyusun kata sejak setriliun detik dan selaksa waktu itu. Sudah saja. Dan aku meraih jaket merah tebal kesayanganku yang tersampir di kursi sebelahku. Aku meletakkan uang sebesar dua gelas es cokelat yang kupesan. Dan demikian saja, aku berjalan keluar kafe yang masih ramai itu.

Penjaga apartemenku yang ramah itu masih di sana. Setia menunggu hingga pukul dua belas nanti. Kulemparkan senyum padanya dan tentu ia sampaikan senyumnya juga padaku. Ia perempuan yang baik. Hanya itu saja pikiranku tentangnya malam itu. Sisanya, ketika aku memilih menaiki tangga hingga sampai ke lantai dimana kamarku berada, kupenuhi pikirku dengan kejadian di kafe tadi. Perjalanan yang hanya lima menit, kukalikan tiga jadi lima belas menit.

Ternyata aku tidak tenang. Ternyata masih ada yang mengganjal di hatiku biarpun setelah semuanya terucapkan. Mungkin ini yang namanya penyesalan. Mungkin seharusnya aku tidak katakan apa-apa padanya.

Sampai di kamar, aku tidak berganti baju. Tidak mencuci muka dan tidak sikat gigi. Juga tidak minum air putih. Aku rasa lelah sekali dan langsung tertidur. Hingga pagi ini. Dan masih di kamar ini hingga sore ini. Bahkan jendela pun tidak kubuka barang seinchi. Aku kacau.

***

Aku masih mengulang kejadian di café itu dalam ingatanku hingga kusadari hariku telah beranjak malam. Harus ada yang kumakan, pikirku. Maka aku beranjak mencuci muka, menyikat gigi, dan menyisir rambut. Tak berjarak jauh dari apartemenku ada yang berjualan mie ayam yang enak sekali. Aku putuskan seporsi mie ayam pangsit yang akan mampir di perutku.

Kubuka pintu dan siapa ini yang menaruh satu toples kue kering di depan pintuku? Oh, mungkin tetangga baru. Betapa baiknya ia, seperti apa wujudnya ia? Apakah ia setampan pemain sepakbola dari Eropa yang kemarin kulihat posternya? Atau ia hanya wartawan yang berpakaian asal-asalan? Siapalah dia yang penting kue kering ini.

"castangel paling enak di dunia ini tentunya tidak gratis, malam minggu nanti bila tak ada acara, makan malamlah di kamarku. sekadar membuktikan bahwa setidaknya ada lima kue kering lagi yang mungkin lebih enak dari castangelku,

salam hangat, Kamar 1502.”

Kubaca pesan yang mengiringinya. Kubuka toples itu dan kucoba kue itu. Aku kembali ke kamar, melupakan sejenak tentang ia, tentang aku, tentang tadi malam, dan tentang mie ayam. Dan terus mengunyah kue yang enak itu.

Dengan suasana hati yang membaik, aku mengambil spidol, menulis berapa kata, dan menuju pintu kamar 1502.

"Undangan diterima dengan senang hati. Sampai berjumpa di suasana hati yang lebih baik. Terima kasih caastangel-nya. Makanan paling nikmat hari ini.

1505"


Bandung, le 5 Juillet 2010

C'est bizzare, l'histoire. :D



Cerita ini hanya satu dari sekian cerita dari seri L'Appartemant. Cerita lain dapat diakses di:

Selamat menikmati.. :D

Saturday, July 3, 2010

Pasar Balubur

Sudah dua hari ini, saya ikut ibu ke pasar. Tujuannya sih bukan bantuin belanja, tapi pengen liat suasana pasar yang baru. Pasar yang saya maksud adalah Pasar Balubur. Jaraknya sekitar seratus langkah dari kamar saya. Eh, bener nggak ya? Ya pokoknya nggak jauh deh dari rumah saya. Masih se-RW (rukun warga) sih kayaknya.

Pasar Balubur sebenarnya sudah ada sejak mammoth masih ada. (maaf ya, kalo nge-blog di pagi hari saya jadi garing. Nggak nyambung. Auk ah.. ). Jadi gini, Pasar Balubur sebenarnya sudah ada sejak saya masih dikandung ibu saya, atau mungkin jauh sebelum itu. Lokasinya di Taman Sari seberang Gedung Rektorat ITB. Walaupun ketika Pasar Balubur berdiri di tahun 1980-an tentu saja Gedung rektorat itu belum berdiri megah. Sekitar dua puluh tahun berlalu, si pasar masih nongkrong asik di situ.

Di landscape yang lama, berbagai tukang jualan di sana dan tentu saja ada pembelinya juga. (ya namanya juga pasar. Tuh kan, garing. Zzzz). Saya masih ingat dengan jelas posisi penjual-penjualnya. Karena in my childhood, saya sangat sering sekali ke pasar itu. Kata ‘sangat-sering-sekali” di kalimat sebelumnya itu benar-benar menunjukkan bahwa saya sangat sering sekali ke pasar itu. Sekali bisa tiga atau empat jam kali saya di sana. Gila kan. Ngapain coba? Ya mulai dari nemenin ibu belanja, saya yang belanja, atau nemenin temen belanja. Hehe. Hampir semua pedagangnya kenal sama ibu saya. Hehe. Preman Pasar Balubur dia.

Jadi ceritanya, si Pasar Balubur ini, selain deket dari rumah, juga cukup lengkap. Pasar ini menjual sayuran, ayam, ikan, tahu, tempe, jengkol, leunca, semangka, jeruk seperti pasar pada umumnya. Selain itu, pasar ini juga dikenal sebagai salah satu sentra alat tulis di Bandung Raya. Selain Cibadak dan Caringin. Harga alat tulis murah dan bersahabat karena kebanyakan pembelinya adalah mahasiswa.

Kemudian, sekitar tahun 2002-2003, ketika pembangunan jalan layang Pasupati yang sempat terhenti dilanjutkan, maka pasar ini dipindah. Yang memindahkannya bilang, kalau pasar tetap berada di situ, maka akan mengganggu estetika Jalan Layang Pasupati. Nah yang saya bingung, pemukiman yang padat rapat di bawah Pasupati memangnya tidak mengganggu estetika pula? Ah, yasudahlah. Pedagang dan pembeli setia di Pasar Balubur ini kemudian dipindahkan ke tempat yang baru dan dijanjikan akan pindah lagi ke lahan yang lama setelah dua tahun. Tempat yang lama akan diperbaiki dan diatur sedemikian rupa sehingga sedap dipandang dan nyaman.

Ingat ya, janjinya dua tahun. Dan ternyata, dua tahun itu mungkin terlalu sebentar untuk menyanggupi janji. Pihak-pihak yang terkait dengan Pasar Balubur tersebut ingkar. Hingga delapan tahun lamanya, pedagang Pasar Balubur menempati tempat penampungan sementara (TPS) milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Lokasinya sih tidak jauh dari tempat yang lama.

Tapi entah kenapa, berdasarkan pengalaman dan obrol-obrol ibu saya dengan pedagang pasar, mereka merasa omzet di tempat penampungan tersebut tidak sama dengan omzet di tempat yang lama. Intinya, pasar jadi sepi. Padahal, kalau boleh diakui, tempat penampungan itu juga nggak buruk-buruk amat. Khas orang Melayu-lah, awalnya aja rapih dan bersih, lama-lama sih wassalam. Ya dibandingkan pasar yang lama yang gelap dan becek, tentu saja tempat penampungan ini sedikit lebih manusiawi. Itu kalau kita abaikan tumpukan sampah di belakang pasar. :p

Saya sempat memotret keadaan tempat penampungan yang baru ini pada 2006 silam untuk tugas Orientasi Jurnalistik. Tapi foto dan klisenya harus diserahkan, maka tak ada yang bersisa untuk dipajang di sini. Di luar pasar terdapat spanduk-spanduk. Kebanyakan mengeluhkan waktu kepindahan mereka yang tak kunjung jelas. Ya bayangin aja, dijanjikan dua tahun lalu ngaret jadi delapan tahun. Digantungin kan nggak enak bok. Haha.

Pembangunan Jalan Layang Pasupati telah selesai sekira lima tahun yang lalu, waktu saya kelas tiga SMA kalo nggak salah. Tapi ternyata pedagang Pasar Balubur itu baru dipindah tepat dua hari yang lalu. Jadi kemarin itu, Jumat (2/7) adalah pertama kalinya Pasar Balubur beroperasi di tempat yang baru. Kenapa bisa ngaret enam tahun ya? Wah, nggak tahu. Tapi pikiran negatif saya sih, mungkin Pak Walikota Bandung You-Know-Who yang reputasinya udah nggak bagus di mata saya dan teman-teman, nunggu investor yang paling dermawan kepadanya. Hahaha.

Masalahnya, sejak si Balubur dipindahkan ke TPS itu, lahan kosong bekas pasar lama sempat dibiarkan kosong beberapa tahun. Rumput liar, kayak San Chai, bermunculan, nggak ada yang ngerawat. Jadi mungkin isu estetika yang tadi sudah saya bahas adalah omong kosong belaka. Malah jadi tempat buat pedagang domba doang setiap Idul Adha menjelang. Mau dijadiin lahan maen anak-anak juga agak membahayakan, karena banyak pecahan-pecahan bata bekas reruntuhan bangunan.

Pokoknya, isu menata daerah tersebut menjadi hal yang heboh sekali pada masanya. Keluarganya Hapsari juga dulu punya kantin di situ. Tapi ya itu, ikut kena gusur, entah deh dapat ganti rugi berapa. Ada pedagang yang keukeuh, dia nggak mau meruntuhkan bangunannya sendiri karena menganggap ganti rugi yang tidak sesuai. (ya namanya juga ganti rugi, mana ada yang sesuai). Tapi pada suatu ketika, runtuh pula bangunan itu, nominal ganti untungnya mencapai miliaran.

Pada 2009, barulah “hal yang dijanjikan” tersebut mulai dibangun. Kalau yang ada di benak Anda HANYA akan dibangun pasar tradisional saja, maka tentu saja benak Anda dan, tentunya, saya salah besar. Pemerintah Kota Bandung mengizinkan pembangunan gedung bertingkat empat sebagai ganti Pasar Balubur yang lama. Dan apakah estetis? NGGAK. Adanya di ujung jalan dan pas di belokan. Di mana ada estetisnya. Saya cuma berharap Taman Sari nggak tambah macet dengan adanya Pusat Perbelanjaan Balubur itu. Selain itu, gedung ini juga menghalangi pemandangan indah ke arah Bandung Utara dari rumah saya. Wlek.

Setelah negosiasi harga kios, pungutan harian, dan sewa parkir per-bulan, maka voila, Pasar Balubur menempati lahannya yang lama. Sisi positifnya dari pembangunan pusat perbelanjaan ini adalah, tentu saja, pasar yang lebih rapi dan bersih. Ada cleaning servicenya bok dan saluran air yang lumayan (masih) berfungsi dengan baik. Sisi negatifnya sih, tentu saja lagi, mahal. Mahal di sini merujuk pada harga kios dan pungutan harian. Sehari satu kios bisa dipungut sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah. Murah sih kalo buat makan di KFC. Tapi tetep aja dong mahal buat pedagang kecil-kecilnya, belum lagi kalo nggak laku. Ya nasib.

Tapi berhubung pemerintah sedang menggalakkan yang namanya pasar tradisional tapi moderen, yang kayak di BSD, Tangerang dan Batununggal, Bandung, maka sah-sah sajalah. Hehehe. Oh satu lagi, untungnya pasarnya mudah dijangkau dan cukup menjadi prioritas. Maksudnya gini, beberapa kendala yang menjadi hambatan pasar tradisional untuk berkembang jika sudah dipindahkan ke gedung pusat perbelanjaan gitu adalah letaknya yang kurang strategis. Tapi untungnya ini nggak. Maka doaku menyertaimu wahai pedagang Pasar Balubur. Semoga kasih harga yang murah buat Ibu. :*

Buat yang nyari alat tulis, mereka yang pernah menempati tempat penampungan yang lama juga semuanya pindah ke sini. Jadi, enjoy your shopping in new place yap. Lebih nyaman sih. Semoga tidak jadi tambah mahal karena mahalnya sewa ya. Amin.

Dan tipikal pusat perbelanjaan yang segala ada macamnya Pasar Baru Bandung, maka tunggu aja tanggal mainnya, pasti bakal penuh geje gitu deh semua tumplek-tublek di sini. Ada baju-baju, sepatu, komputer, handphone, segala rupa. BLESS CONSUMERISM!


Bandung, Le 3 Juillet 2010

Friday, July 2, 2010

Pa to the Rah

Yah, baiklah.. blog terlantar selama sejuta taun karena males sekali mau nulis. :p
Catch you later..

*bisous.. :*


Jatinangor, le 2 Juillet 2010

Wednesday, June 23, 2010

Itu Sudah

Nggak tahu kenapa saya sedang ingin repost tulisan yang ini. Asalnya dari Multiply saya dan ditulis sekitar berabad silam. Ketika sedang baca-baca lagi, timbullah keinginan untuk repost itu. Bagi yang sudah pernah baca, maaf jika membosankan dan harus membaca posting-an ababil ini. hehehe. Judul aslinya memang "Itu Sudah".

************

Bagaimana mengucapkan selamat tinggal tanpa menyakitkan? Mengucapkan selamat tinggal pada orang yang kita sayang ataupun pada kenangan-kenangan indah yang menyertainya. Lalu kembali berjalan tegak kembali menapaki masa kini dan masa depan. Tanpa perlu lagi menengok ke belakang, mengingat masa yang pernah indah. Tanpa air asin yang menetes dari kelenjar air mata. Tanpa suara tangis yang meraung-raung dan terdengar menyedihkan. Tanpa melodi-melodi lirih yang minor. Tanpa duduk diam di ujung ruangan dengan mata yang sembab. Tanpa lamunan panjang yang kosong.

----

Jika memang tidak ada perpisahan yang tidak menyakitkan. Maka biar saja aku yang menanggung semuanya. Karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Biarlah aku saja yang sementara terseok karena kerikil perpisahan ini. Sementara lumpuh karena ombak kesedihan ini. Tanpa pelukan. Tapi dengan air mata yang hingga kering.

Biarlah aku yang nampak tegar mengarunginya sendirian. Mungkin ini lebih baik. Daripada ada kamu di sebelahku . Jika begitu, mungkin malah aku yang akan sakit dan tidak kunjung sembuh. Dan luka itu akan terus ada, bahkan menjadi infeksi yang sulit disembuhkan. Akan kuusahakan sehingga baik untukku juga untukmu.

Misalnya saja kamu merasakan hal yang sama. Kamu boleh juga bercerita padaku. Tapi jangan pandang mataku. Aku takut terlalu bodoh untuk kembali lagi mengingat masa lalu, tertahan di situ, dan tak bisa mengucapkan selamat tinggal. Ayo kita saling bantu untuk menyembuhkan luka kita masing-masing. Sekali waktu bolehlah kita bertemu, saling tatap, dan beri satu pelukan lagi. Sekali waktu saja. Sebagai ucapan terima kasih karena pernah memberi masa yang begitu indah. Walaupun sekarang adalah masanya selamat tinggal.

Tolong lupakan apa yang pernah terjadi. Tapi jangan semuanya. Sisakan saja sedikit untuk kita mengingatnya. Nanti itu akan jadi hal yang bodoh yang buat kita tersenyum. Wondering why we did that stupid thing together. Menjadi kenangan yang akan kita sampaikan pada keturunan kita nanti. Betapa kamu pernah ada untuk aku.

Kalau nanti, beberapa masa lagi, aku masih merasa sakit dan merindumu, mungkin aku akan kirim pesan melalu teknologi canggih seperti telepon genggam atau surat elektronik. Atau bahkan melalu sebuah chatroom. Tapi tidak akan melalui pos atau merpati. Boleh saja pesan-pesan itu kau abaikan. Apalagi jika kau sudah benar-benar melupakan masa itu. Tapi kalau kamu ingin membalasnya juga boleh. Tapi jangan balas pesan itu dengan ungkapan sayang. Jangan buat aku untuk kembali memakai sayap dan terbang menghampiri masa itu lagi.

Ini memang menyakitkan. Apalagi untukku. Sudah, jika memang kamu tidak merasakannya, kamu boleh pergi sejauh kamu bisa. Ke Barat, menghampiri matahari terbenam. Atau ke Timur menghampiri matahari terbit. Yang mana saja yang menurutmu lebih indah. Atau ke Utara. Atau ke pantai Selatan. Aku akan masih di sini sendiri untuk beberapa waktu. Meratapi kisah itu dan mencoba merajut asa yang baru. Dengan benang dan jarum yang lebih kuat.

Aku sudah menyiapkan salam perpisahan ini sejak lama, sebenarnya. Tapi aku tahu aku tidak siap. Aku menyadari ketidaksiapanku. Maka kubiarkan saja semuanya mengalir. Hingga masa ini. Hingga waktunya, secara logis, aku harus menarik diri. Aku masih tidak siap, sebenarnya. Tapi kupaksakan saja. Daripada nanti, semakin lama dan semakin gila buatku. And I for see the dark ahead if I stay. *

Kata selamat tinggal mana yang akan kupilih? Au revoir saja. Bukankah kata orang, bahasa Perancis itu adalah bahasa cinta yang indah? Bahasa yang romantis? Maka tutup saja buku atau fragmen ini dengan sesuatu yang indah. Yang mungkin bisa menyamarkan sakitnya karena perpisahan ini.

Ah, sungguh aku tidak ingin begitu tenggelam dalam kisah ini dan begitu tertatih menghadapi masa depan, yang tidak ber-kamu. Tidak, tidak, jangan anggap dirimu begitu berharga untukku. Hanya saja aku sudah terlalu terbiasa dengan kamu. Sangat sulit memang menghilangkan kebiasaan itu. Tapi perlahan saja. Aku yakin aku bisa tanpa kamu. Karena sejak itu pun kamu memang tidak seratus persen menjadi bayanganku. Bahkan akan lebih baik lagi, mungkin.

Tidak, aku tidak ingin berjanji untuk akan menjalin hubungan baik denganmu. Sudahlah, biarkan saja semua berjalan semestinya dan apa adanya. Tidak usah ngoyo. Jika nanti kita tidak akan tetap baik, maka itu adalah pilihanku. Dan mungkin satu cara bagiku untuk melupakan yang dulu. Jika ternyata kita tetap baik, maka memang itulah adanya. Atau mungkin saja itu aku berpura-pura. Karena memang akulah yang terbiasa dan pintar dalam berpura-pura. Sudah. Sudah.

Sudah, sudah, surat ini aku cukupkan sekian. Sampai jumpa lagi dalam kenangan-kenangan masa silam. Tanpa peluk. Tanpa cium. Selamat tinggal. Sederhana kan? Tenang, waktu akan mengobati luka ini. Semoga segalanya akan lebih menyenangkan nantinya. Semoga ada masa yang lebih baik dari kemarin itu. I’ve got to get move on with my live. It’s time to be a big girl now. * Itu sudah.

Kini ku hanya ingin lupakan semua. Mengenangmu menyesakkan jiwa. Kan kuhapus air mata hingga kudapat sembuhkan luka. Semoga kelak lupakan semua. (Cokelat – Luka Lama)

*Fergie – Big Girls Don’t Cry.


Bandung, le 1 Septembre 2008
di-post-kan lagi di Bandung, le 23 Juin 2010

Minggu Pagi di Victoria Park


Banyak orang bertanya pada saya, apakah film “Minggu Pagi di Victoria Park” rame? Well, saya tidak bisa jawab film ini rame atau tidak. Rame sih karena para TKW itu berkumpul , berkerumun di Victoria Park. Oke, maaf kalo jayus. Begini maksudnya, film ini tidak rame, menurut saya. Tapi film ini bagus.

Tidak rame karena memang kita tidak akan menemukan adegan tembak-tembakan di film ini. Tidak ada pula alur yang begitu menegangkan dan membuat jantung berdegup kencang. Tapi film ini bagus. Jadi ya tipikal film Perancis mungkin, tidak rame tapi bagus. Tapi tentu saja masih mending film ini sih daripada film Perancis yang alurnya lambat macam siput itu.

***

Sekar sampai di Hongkong itu karena himpitan ekonomi keluarga. Ia ingin bahagiakan orang tuanya dengan materi berlimpah. Maka ia putuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Setahun di Hongkong, ia bisa kirim uang pada keluarganya di Jawa Timur. Dari uang kiriman Sekar, bapaknya bisa memperbaiki rumah. Kini, rumahnya berdinding bata.

Setelah setahun itu, kontraknya habis dan putus. Sedangkan keluarga di rumah tetap butuh sokongan dana darinya. Maka, berbulan sudah ia bekerja serabutan di Hongkong. Menghutang ke kantor kredit dengan bunga tinggi. Tak ada lagi kabar sampai ke rumah orangtuanya di Jawa Timur.

Maka sang ayah, yang menganakemaskan sekar, mengutus sang kakak, Mayang, ke Hongkong. Mayang yang bekerja di perkebunan tebu tidak pernah mengangankan kerja di negeri orang hingga sang ayah memaksanya berlaku demikian. Sejak itu, kepedihan dan amarahnya tersimpan dalam hati.

Dari situlah konflik dimulai. Perjalanan Sekar mencari penghasilan demi hidup dan membayar utang. Dan perjalanan Mayang mencari adiknya, yang seakan lenyap dari pergaulan TKW di negeri tersebut. Perjalanan kedua orang ini berkelindan dengan kehidupan tenaga kerja-tenaga kerja Indonesia yang merantau di tempat yang sama. Dari sini, mata dan hati kita lalu melihat apa yang terjadi di pada mereka yang jauh dari keluarga.

***

Jika kamu pernah menonton "Pertaruhan (At Stake)" produksi Kalyana Shira Foundation yang diputar di bioskop pada 2008 silam, mungkin kamu sudah tidak terlalu kaget dengan apa yang ada di film arahan Lola Amaria ini. Di film ini, adegan percintaan dibiarkan bebas. Percintaan sesama jenis seperti bukan sesuatu yang tabu. Dari beberapa dialog, kita menjadi tahu bahwa standar berpacaran mereka bisa jadi berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.

Atau, secara sederhana, penuturan-penuturan tokoh di film ini mengantarkan pada pengetahuan tertentu tentang apa yang terjadi sebenarnya pada TKW-TKW kita. Bagaimana rasanya menjadi miskin dan secara terpaksa untuk mengejar materi di negeri orang, yang sama sekali berbeda bahasa dan budaya. Bagaimana rasanya menjadi tulang punggung keluarga, ketika mereka yang ditulangi itu bisa jadi hanya ongkang-ongkang kaki di rumah dan menunggu kiriman dari negeri timur jauh itu.

Persoalan TKI, atau lebih spesifik lagi TKW, adalah persoalan yang entah kapan bisa selesai. Konflik sosial yang berantai ini tentu lebih penting dari kasus video persetubuhan artis-artis ternama itu. Lebih kurang sama pentingnya dengan kasus Anggodo dan Gayus Tambunan. Ataukah persoalan kemiskinan semacam ini bisa dipecahkan oleh dana aspirasi atau dana desa yang diusung Golkar?

Sebutan pahlawan devisa yang jamak dialamatkan pada mereka tentu saja indah didengar. Tapi nyatanya, mereka juga tidak terbantu apapun dengan julukan itu. Tetap saja mereka “dipalak” di teminal kepulangan mereka di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ternyata masih saja ada mereka yang diperlakukan tidak wajar oleh majikannya. Atau bahkan dilecehkan oleh orang dari negara lain. Maka menjadi penting hal-hal yang dilakukan oleh Gandhi, seorang lelaki dari KBRI yang kerjaannya mengurusi TKI. Di film ini diperankan oleh Doni Damara. Maka menjadi penting bagi mereka untuk berkumpul di Victoria Park pada hari Minggu. Untuk sekedar tahu bahwa banyak orang yang merasa bernasib sama dan bisa bertahan untuk mencari dollar yang bisa sepuluh kali lipat dari penghasilan “pembantu” di Indonesia.

Satu lagi yang terpenting dari film ini, bagi saya, adalah kemampuannya mengingatkan kita bahwa orang yang hidupnya lebih tidak beruntung dibanding kita. You are less miserable than them. Tidak ada waktu untuk mengumpat keluargamu jika mereka masih mau menanggung apa yang kau minta. Bahkan mereka yang harus menanggung beban keluarga mereka. Ketika kita lupa bersyukur dan merasa hidup kita paling menderita sedunia raya, maka jangan lupa bahwa cerita-cerita tentang TKW yang menjadi PSK adalah benar adanya. Tidak dibuat-buat. Tekanan-tekanan yang dirasakan mereka yang merantau jauh itu nyata adanya, walaupun mungkin hanya bisu.

Jadi ayo skripsi. *tetep ujung-ujungnya skripsi.

***

Boleh applause buat Titi Sjuman untuk aktingnya menjadi Sekar. Untuk Lola Amaria yang menjadi Mayang. Boleh juga applause untuk kegantengan Vincent alias Donny Alamsjah. Dan doa selalu menyertai Yati, yang harus memilih bunuh diri karena tekanan-tekanan yang dirasanya. Untuk Sabrang Mowo Damar Panuluh yang bersedia memproduseri film macam ini.

Oh, iya.. bagi yang belum menonton, jangan harap mendapat visualisasi yang terlalu bagus ya. Pengambilan gambarnya sangat identik dengan film dokumenter. Nggak indah seperti film-film fiksi.

Oh iya, kenapa kalo film beginian nggak ditonton menteri ya? Kenapa Laskar Pelangi dan Tanah Air Beta yang ditonton menteri ya?

Saturday, June 19, 2010

You Can Handle It!

Nah, seperti yang saya bilang di posting sebelumnya, bahwa PMS sebenernya bisa dicegah. Dengan kekuatan pikiran, yoga, atau yang lainnya. Tapi Om Wiki juga baik hati memberikan tips supaya PMS tidak terlalu menggila:
  • Batasi konsumsi makanan tinggi gula, garam, daging merah, alkohol, kafein (kopi, teh),coklat, dan minuman bersoda.
  • Kurangi rokok atau berhenti merokok.
  • Makan ikan, ayam, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Tapi jangan berlebihan, tetep ada pembatasan.
  • Batasi konsumsi susu dan olahan yang mengandung susu.
  • Makan sayuran hijau (NAH LOH!) dan meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung asam lemak esensial. Batasi lemak hewani dan lemak dari makanan yang digoreng.
  • Konsumsi vitamin B kompleks, vitamin E, kalsium, magnesium, dan omega 6.

Selain pembatasan makanan, hal lain yang bisa mengurangi PMS adalah:
  • OLAHRAGA, ya intinya aktivitas fisik deh.
  • Menghindari dan mengatasi stress
  • Menjaga berat badan. Berat badan berbanding lurus dengan PMS. Semakin berat, maka semakin parah PMSnya.
  • Catat jadwal siklus haid dan kenali gejala PMSnya.

Nah, mungkin yang terakhir yang juga harus dicermati adalah minta maaf pada orang-orang yang pernah kena amuk pas PMS. Hahaha.

Bismillah deh, semoga sejak sekarang, PMS bisa dikontrol. Kan udah tau tuh tipsnya. Walaupun dietnya agak ribet ya. Tapi pasti bisa deh dikontrol. Nah, berhubung saya nggak yakin dengan diri sendiri bisa mengatasi hal-hal tersebut, maka ketika PMS menerjang mungkin si saya akan mengurangi kontak sosial sajah ah. Haaha. Kalo nggak penting-penting amat, skip dulu lah ya.

Sebenernya mungkin ini nggak hanya berlaku pada saat PMS. Tapi kalau emosi lagi nggak jelas turun-naiknya. Daripada ngerugiin orang sekitar dan diri sendiri, maka mendingan off dulu deh. Ngadem di rumah atau cari kegiatan sendirian aja. Tapi lebih baik lagi sih kalo bisa mengadaptasikan diri dengan keadaan sekitar. Semacam kontrol diri gitu deh.

Hayuuuukkklaaaaah.. :D :D :D

Bandung, le 19 Juin 2010

Till Drop!

Last week, I got a menstruation. Oh well, baiklah, bisa diperhalus sebagai tamu bulanan. Beberapa hari sebelum itu, saya rasakan emosi saya naik turun. Atau tidak naik, tapi hanya turun dan terus menurun. Saya kira itu adalah masalah skripsi yang tak kunjung usai, soalnya dikerjakan juga belum. Hehe. Maka sampai di rumah, saya masuk kamar, matikan lampu, dan bikin playlist lagu-lagu mellow. Playlistnya saja saya beri judul “Till Drop”. Isinya lagu-lagu Sigur Ros atau Tika. Hehe.

Semua hal yang buruk saya pikirkan. Tentang orang itu. Tentang pertemanan. Tentang ini dan tentang itu. Beberapa hari itu, saya adalah orang yang paling beraura negatif di seluruh dunia raya. Di kampus, saya menjadi pendiam, bersikap sinis pada beberapa orang, berargumen, dan hal lainnya.

Beberapa hari setelah itu, bertamulah ia si tamu bulanan perempuan. Tidak seperti biasanya, kali ini diiringi sakit perut menyiksa. Satu hal yang jarang-jarang terjadi pada saya. Ditambah Leno yang beberapa kali mati secara tiba-tiba, tidak bisa ikut berkumpul dengan teman-teman, dan tidak punya uang untuk membeli hal-hal yang saya inginkan, bikin saya merengut kayak marmut. Pokoknya, beberapa hari itu, anggap saja saya bukan temen kalian. You’ll be sorry if you near me, that time.

Ketika saya menjadi orang yang seperti itu, maka saya berdiam saja di rumah. Meminimalisasi kegiatan sosial saja. Saya sebenarnya tidak mau mengakuinya, tapi itulah monster yang mengiringi kedatangan tamu bagi wanita per bulannya. Ia si PMS.

Nah, itulah hal bodoh yang tidak pernah saya sadari. Saya selalu saja terlambat menyadari bahwa si PMS sedang menyerang. Saya tidak suka orang yang sedang PMS, apalagi jika mereka mengambinghitamkan si sindrom itu ketika mereka marah-marah. Uggh, big no no. Tapi, oh hell, saya juga mengalaminya. Saya sebenarnya yakin PMS itu bisa dilawan dengan kekuatan pikiran dan kesabaran.

Bagaimana bisa saya tidak menyadari kedatangan PMS? Entah bagaimana. Hahaha. Saya selalu menyadarinya sebagai mood saya yang sedang buruk. Bilang saja jika ‘id’ saya sedang keluar. Haha. Maksudnya, saya menganggap hal buruk yang sedang ada pada saya adalah hanya sebagai ungkapan kekesalan dan keterbatasan diri yang sedang hadir pada suatu waktu tertentu. Maka itu, saya menarik diri. You can call me as an unsocial, in time like that. Itu terjadi pula kan pada kamu, ketika kamu benar-benar ingin sendiri dan tidak ingin bertemu siapapun, padahal belum masanya PMS. Seperti itulah. Dan memang saya mengalaminya di waktu-waktu tertentu ketika pun saya tidak sedang menstruasi atau PMS. Misalnya saja, ketika mentok ketika mengerjakan skripsi, semuanya jadi terlihat salah kan? (curhat mulu).

****


So, what is PMS? Menurut Om Wiki, PMS (Pre Menstrual Syndrome) adalah kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi terkait dengan siklus menstruasi wanita. Yang bisa saya syukuri dari ini adalah, bahwa saya masih wanita. Hahaha.

Gejala tersebut terjadi menjelang siklus menstruasi wanita. Bisa seminggu sebelumnya atau bahkan dua minggu sebelum si wanita mendapatkan tamu tersebut. Bisa dibayangkan betapa menyiksanya itu pada wanita. Beberapa orang yang saya kenal menjadi sangat foodie ketika siklus ini datang. Segala makanan dilahap, seperti tidak kenyang-kenyang. Ada juga mereka yang benar-benar menjadi monster, senggol dikit bacok. Nggak bangetlah pokoknya. Mereka menjadi musuh komunitas jika sedang begini. BEWARE!

Menurut Om Wiki lagi, penyebab munculnya sindrom ini memang belum jelas. Beberapa teori menyebutkan antara lain karena faktor hormonal yakni ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron. Teori lain bilang, karena hormon estrogen yang berlebihan. Para peneliti melaporkan, salah satu kemungkinan yang kini sedang diselidiki adalah adanya perbedaan genetik pada sensitivitas reseptor dan sistem pembawa pesan yang menyampaikan pengeluaran hormon seks dalam sel. Kemungkinan lain, itu berhubungan dengan gangguan perasaan, faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin yang dialami penderita.

Ada hal-hal yang memperberat sindrom pramenstruasi pada seseorang, misalnya saja stress. Nah, jadi mungkin bulan ini, I got my worst PMS ever, ya gara-gara stress itu. Stress belum skripsi. (Yes, skripsi bisa disalah-salahin. :p) Hal lain yang juga mempengaruhi PMS adalah konsumsi makanan dan minuman, kegiatan, dan tentu saja usia. Bisa jadi ketika usia kita bertambah nanti, PMS yang kita rasakan semakin parah.

Seperti juga kepribadian perempuan, laki-laki, dan transgender, PMS memiliki beberapa tipe berdasarkan gejalanya. Menurut Om Wiki yang hampir serba tahu, beberapa tipe PMS adalah:

  • PMS tipe A (anxiety) ditandai dengan gejala seperti rasa cemas, sensitif, saraf tegang, perasaan labil. Bahkan beberapa wanita mengalami depresi ringan sampai sedang saat sebelum mendapat haid. Gejala ini timbul akibat ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron: hormon estrogen terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon progesteron. Pemberian hormon progesteron kadang dilakukan untuk mengurangi gejala, tetapi beberapa peneliti mengatakan, pada penderita PMS bisa jadi kekurangan vitamin B6 dan magnesium. Penderita PMS A sebaiknya banyak mengkonsumsi makanan berserat dan mengurangi atau membatasi minum kopi.
  • PMS tipe H (hyperhydration) memiliki gejala pembengkakan, perut kembung, nyeri pada buah dada, pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan sebelum haid. Pembengkakan itu terjadi akibat berkumpulnya air pada jaringan di luar sel karena tingginya asupan garam atau gula pada diet penderita. Untuk mencegah terjadinya gejala ini penderita dianjurkan mengurangi asupan garam dan gula pada diet makanan serta membatasi minum sehari-hari.
  • PMS tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin mengkonsumsi makanan yang manis-manis (biasanya coklat) dan karbohidrat sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20 menit setelah menyantap gula dalam jumlah banyak, timbul gejala hipoglikemia seperti kelelahan, jantung berdebar, pusing kepala yang terkadang sampai pingsan. Rasa ingin menyantap makanan manis dapat disebabkan oleh stres, tinggi garam dalam diet makanan, tidak terpenuhinya asam lemak esensial (omega 6), atau kurangnya magnesium.
  • PMS tipe D(depression) ditandai dengan gejala rasa depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan kata-kata (verbalisasi), bahkan kadang-kadang muncul rasa ingin bunuh diri atau mencoba bunuh diri. Biasanya PMS tipe D berlangsung bersamaan dengan PMS tipe A, hanya sekitar 3% dari selururh tipe PMS benar-benar murni tipe D. PMS tipe D murni disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen, di mana hormon progesteron dalam siklus haid terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon estrogennya. Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung vitamin B6 dan magnesium dapat membantu mengatasi gangguan PMS tipe D yang terjadi bersamaan dengan PMS tipe A.

Oiya, kalau kram perut yang mengiringi menstruasi, tidak termasuk dalam PMS. Walaupun suka nyempil pas kita PMS, kram perut (Dismenorea) ini, Alhamdulillah-nya, cuma muncul sehari atau dua hari menjelang atau pas mens datang. Jadi dia akan segera hilang setelah si darah-darah kotor itu keluar dari tubuh kita. Sedangkan PMS, kadang-kadang dia masih aja ngikut kita kemana-kemana bahkan setelah si mens-nya datang. Mungkin bisa kita bilang, PMS juga sama dengan Pas Menstrual Syndrome. Hahaha. :p

Perempuan selalu punya alasan untuk kemarahan-kekesalan-kemanjaan-dan-kemenyebalkanannya. Menurut literatur yang saya baca, ada juga PMS (post menstrual syndrome). Haha. Bingung kan lo? Nah, berhubung saya lupa pernah baca dimana, maka nanti aja dibahasnya, pas udah nemu lagi literaturnya. Maka, bersiaplah atas emosi yang turun naik atau gejala-gejala lainnya selama sebulan penuh. :p :p

Tapi, semoga sih nggak yaaaaaaaa..

Bandung, le 19 Juin 2010


*sumber: id.wikipedia.org

gambar: http://janninglai.blogspot.com/

Saturday, June 12, 2010

Please deh, Jangan Lebay!

Oke, jadi begini ceritanya, Indonesia sedang dihebohkan dengan video seks yang ‘pemeran utama’-nya artis. Tokoh di video pertama, diduga, yang lelaki adalah seorang vokalis band ternama. Dan yang perempuan, diduga, adalah bintang iklan sabun-presenter-duta beberapa produk-duta PBB-aktris-cum penyanyi. Selang beberapa hari, video kedua muncul. Lelakinya diduga masih lelaki yang sama. Namun, yang perempuan berganti. Diduga si perempuan adalah presenter acara gosip ternama.

Seminggu setelah video pertama menyebar, melalui situs-situs internet, media massa di Indonesia heboh. Terutama televisi dan media online. Hebohnya keterlaluan, berlebihan, bagi saya. Mulai dari infotainment, yang kerjanya memang membahas artis-artis, hingga program berita, yang biasanya membahas berita yang tidak demikian. Asalnya saya tidak ingin turut berkomentar, tapi pemberitaan-pemberitaan itu minta banget dikomentarin. Hahaha.

Semua orang juga berkomentar. Mulai dari sesama artis, hingga anggota DPR yang tidak bersinggungan sama sekali. Mulai dari menteri, hingga psikolog dan ginekolog. Mulai dari masyarakat, hingga ahli yang mengaku bisa mengetahui validitas video tersebut. Siapa mereka hingga berhak berpendapat macam-macam? Beberapa daerah bahkan memboikot ketiga artis tersebut.

Baiklah, kalau boleh sedikit disimpulkan, orang Endonesa memang seringkali bertindak (agak) berlebihan. Oh iya, dan mungkin berkaitan dengan ciri masyarakat kolektif, maka masyarakat Endonesa terlalu ingin ikut campur urusan orang. Saya nih salah satu contoh spesiesnya.

***

Sejak seminggu lalu, sejak sehari setelah video pertama beredar, hingga kemarin, Jumat (11/6), saya menghitung ada 105 berita di Kompas.com, salah satu portal berita online di Indonesia. Untungnya saya tidak berniat menghitung berita di situs-situs berita lain. Bayangkan saja, di detik.com, pasti jumlahnya lebih menggila. Misalnya media tidak heboh dan berlebihan seperti ini, saya sebenarnya cukup yakin bahwa masalahnya tidak akan menjadi sebesar ini.

Selain itu, di televisi. Semua program berita pasti headline-nya tentang sex tapes ini. Bahkan sudah tiga atau empat kali berturut-turut, Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi, yang disinyalir sebagai salah satu program berita andalan TVONE, turut membahas hal ini. Mungkin sekalian mengaburkan isu dana desa yang digulirkan oleh partai si empunya stasiun televisi tersebut. Entah. Televisi berita yang satu lagi lain pula. Ia juga bahas tentang video ini, walaupun tidak seberlebihan tv saingannya. Namun, di program internasional, macam Indonesia Now, yang berbahasa Inggris dan dipandu oleh wartawan senior asal Filipina pun, berita ini tetap menjadi sorotan.

Bagaimana dengan infotainment? Tidak usah ditanya. Sudah pasti mereka tidak munculkan berita penting. Mereka cuplik-cuplik saja adegan-adegan dari video seks tersebut. Memang sih bagian-bagian tertentu. Tapi justru itu yang berbahaya bukan? Orang menjadi semakin penasaran dan lalu mencari bagaimana sebenarnya isi video tersebut. Dan, voila, semakin menyebar saja video itu dan dibilanglah semua itu merusak moral bangsa.

Media, sebagai penyampai informasi di masyarakat, juga seperti tidak menyadari bahwa mereka punya batas dalam hal berita-memberitakan. Bahkan ada judul berita yang mengutip dari pembicaraan di video tersebut. Look at this, “Kamu Keluarin di Mana?”. That was one of the news title from Kompas.com. Krezi thing. Belum lagi di awal kemunculannya, berita-berita televisi menggunakan cuplikan video tanpa sensor. Di-blur pun tidak. Maka tidak heran kalau Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Dadang Rahmat Hidayat, yang juga dosen saya, kemudian melarang penayangan cuplikan video tersebut. Seharusnya media, jika memang ingin bicara moral, harus punya semacam sensor bagi diri mereka sendiri. Jangan asal cuplik, jangan asal tayangkan. Jangan asal wawancara. Jangan asal bikin skrip.

Lalu mengapa mesti meminta pendapat orang-orang yang begitu judgemental. Belum mereka mengadakan penelitian pada orang yang bersangkutan, mereka lalu terang-terangan bilang kalau pelaku yang lelaki adalah narciss dan mengalami penyimpangan seksual. Bagi saya, hal tersebut bukan hal yang harus diberitakan pada orang lain, apalagi jika belum ada penelitian lebih lanjut.

Hey, wake up! Siapa yang sudah rusak moralnya. Apakah koruptor tidak rusak moralnya? Mereka benar-benar merusak bangsa karena mencuri apa yang seharusnya bisa menjadi milik penduduk Indonesia. Efeknya jelas terlihat. Seandainya mereka berbaik hati tidak mengambil hal yang bukan haknya, maka warga Indonesia mungkin lebih makmur dan tidak demikian mudah terpengaruh pada isu yang seperti ini. Mereka punya hal lain yang lebih menyenangkan untuk diperhatikan. Hal seperti ini bukankah semacam eskapisme dari kehidupan yang terlalu sulit.

Lalu kenapa menjadi terlalu sibuk mengurusi video yang bukan mereka yang di dalamnya, yang dianggap akan merusak moral bangsa, padahal belum tentu. Mengapa begitu takut video itu merusak? Apakah memang seperti itu pula mental orang Indonesia sebenarnya? Sebegitu pesimisnyakah kita? Tidakkah ada keyakinan pada masyarakat kita, bahwa masyarakat memiliki benteng tersendiri dalam hal demikian?

Hal ini mungkin yang dimaksudkan dengan Teori Jarum Hipodermik dalam ilmu komunikasi. Dalam teori ini disebutkan bahwa penonton adalah khalayak yang pasif. Teori ini menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntukkan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Bekerja di bawah sadar. Padahal kan, khalayak juga dimungkinkan sebagai khalayak yang aktif, seperti dalam Uses and Gratification Theory. Masyarakat bisa memilih apa yang ingin diketahuinya dan apa yang tidak. Tapi ya iya ya, bagaimana mau memilih berita yang akan dilihat, jika semuanya menampilkan berita yang sama. Haha.

Tapi ya sudahlah. Maka simpulan selanjutnya, selain masyarakat Endonesa adalah masyarakat yang berlebihan, masyarakat Endonesa, mayoritas atau mungkin minoritas saja, adalah masyarakat yang pesimis dan berprasangka buruk. :p

***

Video menyebar dari satu tangan ke sejuta tangan yang lain. Yang kemudian terkena imbasnya adalah siswa sekolah menengah. Razia telepon genggam digalakkan oleh sekolah mereka. Memang agak aneh sih mengapa mereka mesti menyimpan video tersebut di telepon genggam. Tapi yasudahlah, namanya juga ABG. Labil.

Yang saya nggak ngerti, mengapa mesti pihak sekolah yang aktif dalam melakukan hal demikian. Apakah benar orang tua sudah tidak ada peduli dengan anak-anak ini? In my humble opinion, yang belum punya anak ABG tapi sudah pernah jadi ABG, seharusnya keluarga lebih berperan loh. Jangan lalu semua hal mesti ditangani oleh sekolah. Sekolah memang mengajarkan etika dan kehidupan sosial, tapi kata semua orang, lapisan pertama tetap tanggung jawab keluarga.

***

Ini pendapat saya loh. Maaf deh ya kalo salah. Jadi salah gue? Salah temen-temen gue? Hahaha. Tapi bukan berarti saya permisif ya terhadap hal-hal seperti ini. Tapi ada kan yang namanya privasi. Mengapa mesti menjadi heboh dan tidak mengurusi hal lainnya yang lebih penting? Seperti skripsi, contohnya. *ngakak*

Sepertinya ini bukan menjadi satu-satunya postingan yang membahas tentang hal ini. Mungkin saja masih ada seri selanjutnya. Kita lihat saja mood saya nanti. Hahaha. :p


Can't You See That My Pain's So Real?

Wah, sudah sekian hari dan saya melanggar janji pada diri sendiri. Janji untuk mengunggah cerita ke blog, satu cerita per hari. Gagal sudah. Hahaha. Pasti si Andi bakal senang sekali karena ketidakkonsistenan saya ini. Sebenarnya banyak yang ingin diceritakan, dari yang dangkal, sampai dangkal sekali. tapi apa daya, hambatan memang berasal dari dalam diri. Haha. Malas akut luar biasa. Dan pula procrasinator sejati, si saya ini.

Sekarang, mumpun sedang geje di rumah, marilah kita coba urai satu-persatu hal yang ingin diceritakan. Dan kita mulai dari hal yang paling aneh sedunia raya.

Jadi begini ..

Sudah dua hari ini, ada benjol duduk manis di jidat saya. Apa ya bahasa halusnya jidat? Oh ya, dahi (terima kasih buat Alien yang sudah mengingatkan. Gini doang lupa. :p). Mengapa benjol tersebut ada di dahi saya? Cerita ini absurd. Dan, tentu saja, membuka aib (baca: kebodohan) saya sendiri. Tapi tak apalah. Supaya jadi pelajaran, jangan bodoh seperti saya. :p

Jika Kau bisa bayangkan, kemarin kami ke ATM Centre di BEC. Letaknya berdekatan dengan loket pembayaran parkir. Annelis dan saya menemani Kiki untuk mengambil uang di ATM tersebut. Transaksi selesai, saya dan dua sahabat terbaik itu keluar dari ATM Centre.

Ketika kami keluar, sebuah mobil melintas dan membayar uang parkirnya dengan santai. Tiba-tiba, entah kenapa, saya yang tidak santai. Melihat akan ada mobil selanjutnya yang membayar parkir, maka saya berlari. Entah kenapa, seperti refleks saja saya berlari. Padahal, si dua sahabat terbaik itu masih berjalan dengan santainya.

Ketika saya sudah sampai di dekat loket pembayaran parkir, masih agak berlari, mereka berteriak. Saya tidak mendengar jelas kata-kata apa yang mereka teriakkan. Yang saya tahu, ada sesuatu yang menimpa kepala saya dengan sangat keras. DHAAAAAAARRR. Boleh saya ulangi lagi? Dengan sangat keras. Lalu saya berbalik ke belakang dan bertanya pada kedua sahabat terbaik, “Apaan teriak? Eh, tadi yang nimpa aku apa sih?”

Ya seperti yang sudah Anda tebak. Saya terkena palang loket parkir otomatis. Berhubung musibah tersebut juga menyebabkan saya terjatuh, jadilah memar tidak hanya di dahi. Setelah sampai rumah baru saya periksa, ternyata lutut juga memar dan ada bagian kecil di kaki saya yang juga luka karena kegesrek aspal. Jadi mohon saja dibayangkan, berapa kecepatan palang tersebut dan bagaimana sakitnya jidat saya yang terkena palang tersebut. Saya hanya memegangi kepala saya. Untuk mencegah si kepala atau mata saya jatuh. Karena rasanya seperti ada bagian yang tercerabut dari muka ditambah peureus (ungkapan Sunda. Perih seperti jika ditampar). Setelah kejadian itu, kedua sahabat terbaik hanya bisa menanyakan, apakah saya baik-baik saja, berulang-ulang kali. Saya jawab, baik-baik saja, tinggal menunggu benjol.

Dan benar saja, tidak lama berselang, tidak sampai dua menit, si benjol lalu muncul. Dan malam harinya, seperti yang juga saya bisa prediksi, kepala saya pusing setengah mampus. Ahaha. Maaf, agak lebay. Untungnya belum ada lebam berwarna biru. Jadi tidak seperti kena kekerasan dalam rumah tangga.

Ya intinya, kebodohan ada pada saya. Segala kesempurnaan memang hanya ada pada Tuhan. :D Maksudnya, entah apa yang terlintas di pikiran saya, maka saya memutuskan lari. Padahal, saya jelas-jelas tahu ada mobil yang telah membayar dan berarti si palang tersebut akan menutup secara otomatis setelahnya. Hadeuh. Dan bisa-bisanya, saya tidak sadar akan apa yang menimpa saya kecuali setelah si dua sahabat itu mengatakannya.

Beberapa kali saya melihat mobil yang terkena palang parkir ini. Pernah juga melihat anak kecil yang terkena palang parkir ini, hingga si palang parkir patah. Awalnya memang sudah agak rusak tapi karena kena kepala si anak, jadi patah. Kejadian tersebut saya lihat di Tamini Square. Seorang bapak, mengendarai motor, ia menerabas palang parkir setelah satu mobil membayar parkir. Berhubung palang itu otomatis, jadi setelah satu kendaraan keluar, maka palang tersebut menutup. Dan ketika palang tersebut akan menutup, si bapak tadi melaju. Maka, dhuaaar, yang terkena si palang parkir adalah anaknya, yang berada di tengah. Dan bukan ibunya atau bapaknya, yang berada di belakang atau di depan si anak. Bisa diduga si anak menangis sekeras-kerasnya.

Dan ternyata kejadian tersebut terjadi pada saya. Can’t believe that. Benjol akibat hantaman palang tersebut masih terasa. Kepala pun masih sedikit pusing. Yang penting, mata saya tidak terkena imbasnya. Amin. Dan semoga, saya tidak tambah tolol karena kejadian ini. Hahaha.

Saya tidak tahu bagaimana ekspresi si mbak penjaga loket pembayaran parkir tersebut. Dan bagaimana pula ekspresi orang yang ada di mobil belakang yang berusaha saya hindari itu. Ekspresi saya, tentu saja, meringis kesakitan. Dan di waktu yang sama juga nyengir dan tertawa menertawakan diri sendiri. Konyol. Ekspresi si dua sahabat terbaik? Tertawa sambil khawatir. Mau ketawa, kasian ke saya. Tapi kalo kejadiannya konyol, amat-sangat pantas untuk ditertawakan.

Yang penting abis itu makan pempek.

** ungkapan dua sahabat terbaik hanya akan ada di posting-an ini. Cih. Hahahaha.


Bandung, le 12 Juin 2010

diedit le 15 juin 2010. Karena si annel mengingatkan bahwa ada detail yang terlupa.

baca aja lagi. kalo yang udah baca mungkin ngeh dimana yang kelupaannya. :D

Tuesday, June 8, 2010

Hello There!

Friends are those rare people who ask how we are and then wait to hear the answer.” (Ed Cunningham)


Kamu punya teman? Saya punya.

Apa jadinya jika teman-teman itu satu-persatu mulai pergi, secara perlahan-lahan? Bagi saya, hal ini adalah hal yang tidak baik. Sangat tidak baik. Apalagi jika kau sangat tergantung pada kehadiran mereka. Orang tua sibuk bekerja, tidak punya adik dan tidak punya kakak, dan belum mau punya pacar. MAYDAY. Hehehe.

Beberapa bulan belakangan dan tentu saja, beberapa bulan mendatang, sepertinya memang saya harus mempersiapkan diri menghadapi hal tersebut: teman-teman yang mulai pergi, satu persatu dan perlahan-lahan. Bagaimana cara mempersiapkan diri untuk menghadapi hal yang demikian sulitnya? Tidak tahu.

Sejak kecil, saya sudah diajari bahwa setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Hari ini beli mainan baru, keesokan harinya sudah rusak, atau bahkan hilang. Hari ini dapat teman baru, setahun kemudian berpisah karena lulus dari taman kanak-kanak itu. Dan begitu saja selanjutnya terjadi. Bagus jika dapat me-maintain hubungan pertemanan. Beberapa bisa di-maintain, beberapa tidak. Mungkin karena saya tidak jago dalam hal demikian. :p

Sejak lama juga pikiran saya berputar-putar, setiap orang yang beranjak tua, semakin sedikit pula teman yang menemaninya. Maka itu, tidak heran, banyak orang tua yang menjadi kekanak-kanakan di masa tuanya. Mungkin ia cari perhatian, supaya dapat teman untuk sekedar mengobrol.

Beberapa keluarga memiliki sahabat keluarga. Tapi sedikit sekali jumlahnya yang demikian itu. Jangankan punya sahabat keluarga, punya teman saja sudah untung. Tentu saja akan ada perbedaan situasi, tidak lagi seperti kita masih di sekolah atau kuliah. Semua orang akan nampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Hal yang sangat jelas karena lalu memiliki perbedaan pandangan untuk mengarungi hidup yang lebih nyata. Semuanya berubah: kau akan lulus kuliah, bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu yang tidak terasa semakin banyak, menikah, bekerja untuk keluarga, punya anak, dan selanjutnya dan selanjutnya.

Dalam keadaan seperti itu, teman bukan menjadi sebuah kebutuhan tapi sebuat pelengkap saja. Jika di masa mudamu, waktu-waktumu penuh dengan temanmu, bahkan lebih dari dua puluh empat jam. Maka semua itu akan berkurang di masa tuamu. Karena ada hal-hal yang lebih penting daripada teman-temanmu. Bertemu yang seperlunya saja, ketika ada waktu. Bahkan menyelipkan waktu untuk bertemu pun akan terasa susah. Pekerjaan di sini dan sana. Keluarga ingin ini dan ingin itu. Belum lagi jika harus sekolah, melanjutkan pendidikan yang tertunda. Dan macam-macam saja alasannya. Mungkin kau akan belajar melupakan dan terlupakan. Merelakan waktu-waktumu untuk segala waktumu untuk persahabatan tercerabut. Maka beruntunglah ibu-ibu arisan itu! Hahaha.

Oh, terima kasih juga untuk pencipta jejaring sosial dimanapun Anda berada, siapapun Anda. Walaupun terkadang jejaring sosial ini seperti terlalu "berisik" dan merecoki hidup. Tapi berkat jejaring-jejaring inilah, yang jauh pun terasa dekat. Oh, tentu jangan lupa berterima kasih pada pencipta telepon dan telepon seluler yang membuat segalanya menjadi cepat.

Maka, di masa transisi seperti ini, hal bagaimana yang akan kau lakukan untuk bersiap menghadapi perpisahan dengan teman-temanmu, dengan sahabat-sahabatmu? Yang bahkan sejak sekarang pun, mereka sudah sibuk dengan skripsinya masing-masing.


*tapi tolong jangan bilang kalau saya harus juga memulai skripsi saya. Tanpa diberi tahu pun, saya sudah tahu itu, lebih dari yang orang lain tahu. Dan jangan bilang saya tidak berusaha apapun untuk memulai skripsi saya. Otak saya kembang-kempis. :((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((

Sunday, June 6, 2010

Seberapa Besar?

Mari berpikir dangkal. Uhh, I love this part of me, DANGKAL. J

Ketika sedang berada di angkutan umum sepulangnya dari Gasibu siang tadi, saya berpikir dan menelaah diri saya sendiri. Apakah saya ini orang yang berkemauan keras, berkemauan biasa saja, berkemauan lemah, atau bahkan sama sekali tidak memiliki kemauan. Tapi menurut saya, tidak mungkin ada orang yang tidak berkemauan sama sekali, jadi pengklasifikasian yang terakhir dihilangkan saja.

Maka, kini hanya ada punya tiga grup: orang yang berkemauan keras, biasa saja, ataukah berkemauan lemah. Berada di diagram mana saya? Pikiran saya pun meloncat-loncat. Batin saya berperang, kalau boleh dibilang begitu.

***

Apa pasal tiba-tiba saya berpikir demikian? Jadi begini ceritanya, saya berjalan sejak pagi, sekitar pukul tujuh, saya berencana untuk mencari sepatu PX Style di Gasibu. Sepatu itu adalah merek sepatu murah yang cukup awet dan cukup nyaman. Beberapa gerai saya kunjungi, peluh bercucuran didera ramainya pasar yang hanya buka satu kali seminggu itu. Saya berpindah dari sayap utara Gasibu (arah Monumen Perjuangan) hingga ke sayap timur (arah Pusdai). Seakan tidak cukup melelahkan, saya berputar beberapa kali demi mencari sepatu yang saya inginkan.

Seorang ibu di tengah Gasibu menjual sepatu yang saya inginkan, tetapi ukurannya ternyata tidak ada yang pas. Saya beralih ke sayap Timur dan menemukan seorang Bapak menjual sepatu tersebut. Namun, ukuran saya tidak tersedia dan kiranya kualitas sepatu yang dia jual juga tidak terlalu bagus. Maka kembalilah saya ke sayap utara Gasibu. Sayangnya, si abang penjual itu menjual dengan harga yang tinggi. Jauh tinggi dari harga biasa. Sebagai perempuan, yang secara norma dinilai jago menawar, saya tidak terima dan beranjaklah saya dari Abang itu.

Saya berkeliling kesana-kemari. Hingga, kalau tidak salah ingat, saya mengunjungi masing-masing pedagang sepatu itu dua kali. Lalu ibu saya menelepon dan menanyakan saya ada dimana. Di saat itulah saya ingat bahwa saya sudah lelah dan harus segera pulang. Ibu berpesan, udah beli yang mana aja yang kamu mau, mahal sedikit nggak papa, atau cari aja nanti di tempat lain.

Mendengar suara ibu yang melahirkan saya itu (*lebay*), maka saya cepat-cepat memutuskan sepatu mana yang akan saya beli. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli sepatu di pedagang di sayap utara. Yang mahal. Tapi itupun saya tidak jadi membeli model yang saya cari sejak lama. Saya memilih model lain, yang ternyata lebih murah.

***

Jadi, apakah saya punya selfi-willing yang kuat atau bagaimana? Mengandalkan ingatan-ingatan itu, saya menyadari bahwa saya memiliki kemauan yang keras jika menginginkan barang yang saya ingin. Pokoknya apapun harus sampai dapat. Tapi hal ini tidak menjadikan saya sebagai seorang yang impulsif. Pokoknya, saya harus dapat sesuatu yang sesuai dengan keinginan saya, baik model, kualitas, maupun harga. Kemauan keras ini bertumbuh seiring ketidakmauan saya menyesal di akhir proses belanja. Di beberapa hal lain, misalnya belajar, kemauan keras ini juga masih memengaruhi. Eksesnya adalah saya menjadi orang yang cukup perfeksionis. Kadang berita yang saya tulis terlalu detail atau tugas yang saya buat kebanyakan literatur. Karena saya ingin semua informasi bisa tertampung dan menjadikan tugas tersebut baik. (walaupun hal ini juga kemudian berlawanan pula dengan sifat saya yang procrasinator.:p)

Namun, di beberapa hal, kemauan ini menjadi pudar. Entah karena dipengaruhi si malas atau apa. Misalnya, dalam mengulik masalah-masalah untuk usmas (hahaha. Tertawalah sepuas kalian.). Saya sulit berkonsentrasi pada satu hal dan menghambat saya untuk mempelajari hal-hal yang bisa dijadikan usmas, padahal it’s already June. Kemauan saya menjadi mudah terkikis jika menghadapi hambatan. Misalnya informasi yang terbatas, buku-buku yang sulit dicerna, dan masalah yang tidak pasti atau tidak kuat argumennya.

Beberapa orang di sekitar saya merupakan penghuni diagram berkemauan keras, biasa saja, dan berkemauan lemah. Terkadang, yang berkemauan keras, jika saya melihat mereka, mereka jadi nampak egois, ngotot, dan memaksakan kehendak mereka. Tidak masalah asal tidak lalu mengganggu saya. Kalau sudah sampai taraf yang mengesalkan, maka sarewelah. Haha. Mati aja lo! ;p Yang biasa saja, mungkin seperti saya, bergantung pada situasi-situasi yang dihadapi. Sedangkan mereka yang berkemauan lemah, malah mengesalkan karena malah seperti zombie.

Nah, ingin saya sekarang adalah saya menjadi orang yang berkemauan keras dan bisa mencapai hal-hal yang saya inginkan. Ya, siapa yang nggak mau ya? Semoga semogi momogi.

***

Jadi, saya mendua? Tentu saja. Tergantung situasi. Lihat saja contoh di Gasibu yang saya ceritakan tadi. Saya berkemauan keras sampai empat jam ngulik Gasibu demi dapet sepatu impian. Tapi tidak berkemauan keras karena begitu mudah berbalik hati ketika tidak dapat model sepatu yang sesuai keinginan. :D

Pointless mind.

Oh iya, sekalian pemberitahuan, bahwa rubik saya belum jadi. Sudah agak malas menguliknya. (Tuh kan, jadi saya berkemauan keras atau tidak? :p)

Saturday, June 5, 2010

Rubik Bikin Rumeuk


Dyah : Kak, bisa nyelesein rubik nggak?

Wenti : Nggak, susah banget. Tapi kalo manualnya tau.

Dyah : Itu mencerminkan IQ nggak sih?

Wenti : Iya deh kayaknya. Hahaha.

Dyah : Kok gue ngerasa goblok banget ya.

Wenti : Kita bukan goblok. Cuma males aja nguliknya.

Tadi siang saya menemani si ibu ke Kosambi. Ceritanya mau service blender di toko langganan. Tapi ternyata blendernya nggak kenapa-kenapa. Sehat wal-afiat, tetap bisa digunakan. Ibu saya main bawa aja ke tempat service setelah dikasih tahu sama orang kantin kalo blendernya diduga bermasalah.

Tapi, ya sudahlah, dibawa balik aja blendernya. Lalu Ibu memutuskan untuk beli gelas tiga lusin. Saya jadi korban, disuruh bantuin bawa. Masih untung nggak jadi beli enam lusin karena ternyata stoknya tidak memadai.

Kami akhirnya makan yamien di pelataran Kosambi. Seinget saya, dulu ada yamien yang enak, bahkan lebih enak dari Mie Naripan, yang ternyata setelah saya coba rasanya biasa saja. Akhirnya memberanikan diri nyoba yamien yang lain deh. Ternyata rasanya biasa aja. Setelah makan, saya ajak ibu ke penjual mainan. Siapa tahu ada rubik. Karena memang saya sudah berniat membeli mainan kotak itu sejak lama.

Begitu sampai di toko, si mata mulai mencari-cari benda kotak warna-warni. Dan, ternyata ada. Yes, ketemu. Yang jual ternyata engkoh-engkoh dan nggak bisa ditawar. Hiks. Maka berpindahlah uang sepuluh ribu rupiah pada engkoh-engkoh itu. Gara-gara ngebela-belain beli rubiks dulu, ibu dan saya lari-lari kehujanan – kayak di film India.

Sampai di rumah saya pun menunaikan beberapa kewajiban dan setelah itu langsung mengotak-ati rubiks yang tadi baru dibeli. Saya amat-sangat-penasaran-sekali dengan mainan mungil satu ini. Sejak dulu, saya pernah coba memainkan milik saudara saya. Tapi nggak pernah berhasil. Kemarin waktu saya sedang menunggu giliran di dokter gigi, ada sepasang kekasih juga main ini. Dan si wanitanya menyelesaikan teka-teki rubik dengan cukup cepat. Yang lelakinya kalah. GIRL POWER! J

Sekitar sebulan atau dua bulan yang lalu, saya sedang nongkrong asyik dengan si Gilang dan kawan-kawan lainnya. Datang beberapa ABG yang kemudian duduk di bangku sebelah. Sebelum pesan, si ABG ini mengeluarkan rubiks miliknya dan sempat menyelesaikan sekali sebelum ia memesan minuman. Di perpustakaan jurusan saya juga ada satu buah benda kotak ini. Teman-teman 2007 sedang mengobrol dengan Bob Howarth, dosen tamu dari Australia, ketika satu diantar mereka mengambil rubiks dan menyelesaikannya sambil menyimak konsversasi antara teman-temannya dan Bob. Bob dibuat heran dengan keajaiban kecil itu.

Mungkin populernya permainan ini juga tidak luput dari peran film The Pursuit of Happiness. Will Smith, sang ayah yang gagal dalam perkerjaan, ternyata bisa menyelesaikan teka-teki rubik di taksi ketika memohon pekerjaan kepada seseorang. Seseorang itu terheran-heran dan menyuruh Will Smith datang ke kantornya keesokan harinya.

Maka, saya penasaran luar biasa dengan benda kecil yang pas digenggam ini. Bagi saya, tidak mungkin warna yang sudah acak-acak itu bisa dirapikan kembali ke susunan semula. Tapi nyatanya, banyak yang bisa. Lalu saya terpacu untuk bisa. Pertanyaan saya, apa benar ya kemampuan menyelesaikan rubik berkaitan dengan IQ seseorang? Saya sih emang kecerdasannya terbatas. hahahaha. Kebanyakan MSG, kayak si Bening. :p

#inprogress. Ini hasil saya otak-atik. Belum jadi sih emang.

Setelah posting ini, saya bakal nyoba lagi sampai bisa. Semoga bisa. Setelah bisa, posting selanjutnya pasti tentang sejarah rubik. Sebenarnya bisa saja googling di Google (yaiyalah) bagaimana caranya menyelesaikan teka-teki rubik dengan benar. Tapi .. Tapi.. Tapi.. coba dulu deh. Kalau sampe besok-besok masih nggak bisa dan malah kebawa mimpi, baru deh googling. :)

Doakan saya ya teman-temaaaaaann... *pasang ikat kepala ala Jepang. Yosh.*


Bandung, le 5 juin 2010.